Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dewan Banding, Perlu Tidak ?

Ketua GINSI, Daryatmo, berharap agar gagasan pemerintah membentuk "dewan banding" -untuk menyelesaikan perselisihan antara importir dan sgs- segera diwujudkan. menurut Radius, Dewan Banding tak perlu.

24 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH lama, rupanya, para importir merasa dirugikan oleh SGS (Societe Generale de Surveillance). Tapi baru pekan lalu mereka menggebrak perusahaan Swiss itu, yang sejak 1985 mengambil alih scbagian tugas Ditjen Bea Cukai. "Hampir semua importir, yang jadi anggota GINSI, sudah cukup babak belur karena ulah SGS," kata Daryatmo, Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI). Lalu eks Ketua MPR/DPR, yang pernah menjadi Kepala Staf Kopkamtib, itu secara terbuka membeberkan penderitaan kaumnya. Importir, misalnya, terpaksa membayar bea masuk lebih tinggi, karena harga barang impor itu dinilai surveyor SGS -- di negeri asal barang -- lebih tinggi dari harga beli importir. Bea masuk itu ditentukan dari tarif, sesuai dengan CCCN (Customs Cooperation Council Nomcnclature). Menurut Daryatmo, untuk jumlah dan kualitas barang yang sama, tapi hanya berbeda waktu pengiriman, CCCN-nya bisa berbeda. Harga yang diteken SGS dalam LKP (laporan kebenaran pemeriksaan) impor barang tersebut jadi mahal, bahkan ada yang ditaksir sampai 10 kali lipat lebih mahal. "Jadi, bedanya tidak tanggung-tanggung," kata Daryatmo pada TEMPO. Lain lagi bicara Nyoman Moena, Direktur Utama PT (Persero) Sucofindo, BUMN di bawah naungan Departemen Perdagangan yang menjadi rekan kerja SGS. Surveyor yang kantor pusatnya di Swiss itu menganggap laporan GINSI masih terlalu sumir. "Kurang terinci," kata Moena. Soal ricuh harga barang impor, yang sama asalnya dan sama barangnya, bisa saja terjadi. Penyebabnya, menurut Moena, tanggal kontrak berbeda, atau cara pembeliannya: tunai atau kredit beli ketengan atau dalam partai besar. Di samping itu, "Kalau pembungkusnya mewah, harganya tentu jadi mahal," tutur Moena kepada Gunung Sardjono dari TEMPO. Tapi diakui Moena, SGS juga bisa salah. Misalnya bila SGS memiliki harga yang lebih rendah dari harga Importir, maka harga importir itulah yang dipakai. "Jadi, 'kan berarti SGS itu bisa salah," tambah Moena. Perusahaan Daryatmo sendiri pernah mengalaminya. Presiden direktur beberapa perusahaan antara lain PT Kartika Kresno Sakti, PT Adi Perkasa Buana -- Daryatmo pernah impor pakan udang lima kontainer dari Taiwan. Sewaktu barang dimasukkan ke kontainer SGS menyaksikan di Taiwan. Lalu peti kemas dipakem dengan dua segel: satu segel dari perusahaan pelayaran, satu dari SGS. Entah di mana salahnya, ketika sampai di Tanjungpriok, dua peti kemas dinyatakan hilang segelnya. Menurut Daryatmo, mungkin karena ulah perusahaan pakan udang lain, yang kongkalikong dengan pegawai SGS. Dan ia mengalami segel hilang beberapa kali. "Sekarang ini saya kena lagi, dari 10 kontainer 5 di antaranya dinyatakan hilang segelnya," ujarnya geram. Tapi Nyoman Moena membantah. "Saya yakin SGS tak mungkin berbuat begitu," tutur Moena membela. Reputasi SGS yang punya jaringan di 140 negara di dunia, rupanya, sedang diuji. Dengan perpanjangan masa kerja tiga tahun sejak 1987, peran sertanya dipandang selaras Inpres No. 4/1985, yang bermaksud mengurangi ekonomi biaya tinggi. Tapi Daryatmo ingin menyelesaikan masalah para importir yang dirugikan SGS. Ia sudah menghadap Presiden Soeharto, dan berharap agar gagasan pemerintah membentuk Dewan Banding -- untuk menyelesaikan perselisihan antara importir dan SGS segera diwujudkan. Bekas Menteri Perdagangan Rachmat Saleh juga pernah menyampaikan gagasan sepertmtu, d hadapan Komisi VII DPR, tahun lalu. Apa pendapat pemerintah ? Menurut Menko Ekuin Radius Prawiro, Dewan Banding itu tak perlu. "Itu cukup diselesaikan oleh Direktorat Impor Departemen Perdagangan," kata Radius, tak lama sesudah ia menghadap Presiden Soeharto, pekan lalu. Menurut Nyoman Moena, semua itu sudah ada aturan mainnya. Begitu barang impor tiba -- katakanlah di Tanjungpriok dibuka bersama-sama. SGS, pemilik barang, dan Bea Cukai menyaksikan isi peti kemas yang jadi masalah. Setelah barangnya jelas, barulah CCCN-nya ditetapkan. "Nah, itu penyelesaiannya," tutur Moena. Tapi Daryatmo rugi. Untuk tiap kontainer yang dibuka, mesti bayar 60 dolar AS. Dan barang itu harus diangkut kembali dengan empat truk ke tempat pembeli barang. Jatuhnya lebih mahal ketimbang mengangkut langsung kontainernya. Belum lagi risiko nama. "Mantan Kaskopkamtib disangka menyelundup, 'kan celaka," kata Daryatmo, serius. Suhardjo Hs.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus