Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJUAL kayu dan mengurus atlet adalah dua kegiatan yang berbeda, tapi bisa dilakukan secara bersamaan oleh Bob Hasan. Ia menjadi ketua umum Asosiasi Panel Kayu Lapis Indonesia-(Apkindo), ketua umum Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI), ketua umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI).
Mottonya orisinil: "Mengurus perusahaan adalah semacam hobi. Mengurus atletik dan golf lebih merupakan tugas." Tapi, dari "hobi" Bob bisa jadi raja kayu lapis, dari "tugas" ia pernah terpilih sebagai Pembina Olahraga Terbaik dari SIWO/PWI Jaya serta dari Pemerintah RI.
Pria kelahiran Semarang, 60 tahun lalu itu memang penggemar olahraga. Perawakannya sedang tapi kekar, olahraganya yang utama, golf. Paling tidak, tiga kali seminggu ia mengayun-ayunkan tongkat golf, antara lain dengan Presiden Soeharto di lapangan golf Rawamangun. Pada pagi hari, dan ini rutin, ia jogging bersama istrinya, Pertiwi.
Adalah sukses di bisnis yang mengantar Bob ke sukses di olahraga. Ia mampu mengirim atlet berlatih ke Amerika Serikat, Australia, Jerman Barat. Bob juga sukses mengorganisir lomba lari "Bali 10 K" dan baru-baru ini "Lari 1 Mil" di Senayan--event yang membuat namanya dikenal seluruh atlet top dunia sekaligus menandingi kepopuleran Antonio Samaranch, Ketua Olimpiade Internasional.
Dari mana ia mulai? Pada 1960-an Bob sebenarnya sudah terbilang sukses di bisnis sektor angkutan laut. Di awal Orde Baru, 1967, ia meloncat ke bisnis kayu dengan mendirikan PT Kalimanis Plywood, yang kemudian menjadi holding company untuk kelompok bisnisnya, yakni Pasopati Group.
Menurut daftar Anatomy of Indonesian Conglomerates, saat ini Bob membawahkan lebih dari 70 perusahaan. Dengan omset penjualan Rp 900 milyar per tahun, ia memutar uang dalam bisnis kayu gelondongan dan kayu gergajian (PT Kalhold Utama), angkutan laut (PT Karana Lines), kebun teh (PT Teh Nusamba Indah), sampai usaha katering (PT Pangan Sari Utama).
Memang, di bisnis kayu Bob bukan yang terbesar, tapi dialah barangkali warga Indonesia pertama yang membuat pengusaha Jepang ketakutan. Karena Bob, jumlah pengusaha plywood Jepang menciut sampai tinggal separuhnya. Ditinjau dari penguasaan pasar luar negeri, Bob bisa dibilang sukses. Akhir-akhir ini, Bob sibuk mengembangkan proyek hutan tanaman industri (HTI).
Sekitar 300 kepala keluarga di Kalimantan Timur bekerja di proyek itu. "Kepala keluarga menjadi karyawan HPH dan diberi fasilitas balai pertemuan dan listrik energi surya. Itulah HTI model transswakarsa," katanya bangga.
***
Siapa sangka Prajogo Pangestu akan menjadi raja kayu yang disegani. Kini ia kondang dengan nama Prajogo Pangestu, bos Barito Pacific Group. Empat puluh sembilan tahun silam, Prajogo dilahirkan sebagai anak penyadap getah di Desa Sungai Sambas, Kecamatan Bekayang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Karena penghasilan dari getah karet tak seberapa, ayahnya, Phang Sui On, terpaksa merangkap jadi tukang jahit di pasar Sungai Betung. Tapi, Prajogo dilahirkan di bawah Shio Ma, Tahun Kuda. Dalam kepercayaan Cina, orang yang lahir pada tahun itu punya kemauan keras.
Sejak kecil A Phen--panggilan akrabnya--dikenal rajin. Pagi-pagi buta sebelum bertolak ke sekolah, Phen membantu orangtuanya menyadap karet. Sifat ini cocok dengan namanya, Djun Phen, yang dalam bahasa Khek berarti "burung besar terbang tinggi menguak awan mendung".
Gabungan Shio Ma dan "burung menguak mendung" itulah yang mengantar Prajogo ke tangga sukses, kendati ia cuma mengantongi ijazah SMP. Dengan tenaga kuda dan tanpa keluhan, ia berusaha menyibak mendung yang menggayut di atas keluarganya. Lepas dari SMP Nan Hua, sekolah berbahasa Cina di Singkawang, ia mengadu nasib ke Jakarta.
Tapi, hoki-nya belum bagus. Ia lalu pulang ke Kalimantan, menjadi sopir angkutan umum Singkawang-Pontianak. Itu pun tak berlangsung lama. Lalu ia berkongsi menjual keperluan dapur seperti terasi atau ikan asin. Ibarat pepatah, "berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian", pada 1960-an ia berkenalan dengan Bong Sun On, orang Sarawak yang masuk ke Kalimantan Barat ketika penyelundupan kayu merajalela.
Bong kini dikenal dengan nama Boerhan Oeray, bos Djayanti Group, pengusaha HPH dengan areal terbesar. Berhubung waktu itu penebangan hutan masih menganut sistem persil dan petak rakyat, Pemerintah sulit mengontrol manipulasi jumlah tebangan. Pengusaha kayu bagaikan menggiring duit menyusur Sungai Kapuas. Burhan Oeray yang mendirikan PT Djayanti pun kebanjiran rezeki. Dan Prajogo, tentu saja kecipratan.
Sejak itu, hoki Prajogo mulai berbinar. Djayanti pindah ke Banjarmasin, dan pada 1975 Burhan menunjuk Prajogo untuk menjadi general manager PT Nusantara Plywood di Surabaya. Satu tahun kemudian, anak Singkawang itu sudah merasa mampu berdiri sendiri. Ia membeli CV Pacific Lumber Company dan mengubahnya menjadi PT Barito Pacific Lumber Company. Barito Pacific pun berkembang pesat.
Gelondong-gelondong kayu ditebang dari hutan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Maluku, dan Sumatera Selatan. Kini, dalam daftar Anatomy of Indonesian Conglomerate Barito menjadi induk 58 anak perusahaan yang bergerak di bidang penebangan kayu, bank (Andromeda Bank), sampai perkebunan cokelat (PT Lestari Unggul Jaya). Belakangan grup ini menyerbu ke bidang industri kertas dan petrokimia.
Omsetnya mencapai Rp 700 milyar per tahun. Prajogo menggalang kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Ny. Sitti Hardianti Rukmana. Mereka mendirikan PT Tanjung Enim Pulp & Kertas. Dengan investasi Rp 5 triliun, perusahaan ini diproyeksikan tumbuh menjadi pabrik pulp dan kertas terbesar di Indonesia. Konon, Barito Pacific menguasai kira-kira 5 juta hektar HPH, kedua terbesar di Indonesia.
Tapi tiga bulan lalu, Barito dituduh telah "menyerobot" areal HPH milik PT Dayak Besar Vincent dan hutan negara. Karena perbuatan itu, Pemerintah mendenda Barito Rp 11,2 milyar. Ternyata, Barito cuma bersedia membayar 1/10-nya. Belakangan, Winfried Tonken, Direktur Riset dan Pengembangan Barito Pacific, membantah. "Konsesi milik kami hanya 1,9 juta hektar. Sisanya adalah kerja sama antara Barito dan pemegang HPH lain."
Kini, di balik kebesaran namanya, posisi keuangan Prajogo konon tak seperti ia harapkan. Menurut sumber TEMPO, usaha kayu lapis Prajogo cenderung rugi. Seharusnya, semua mesin produksinya menghasilkan 2,4 juta meter kubik per tahun. "Ternyata, cuma 1,5 juta meter kubik. Penyebabnya antara lain bahan baku kurang dan kontrol produksi kurang jalan," ujar sumber itu.
Juli lalu, Prajogo mengirimkan satu unit pemadam kebakaran ke Bengkayang, tanah kelahirannya. Teman sekampung, dari Singkawang, banyak pula yang direkrut jadi pagawainya. Ia termasuk orang pertama yang bersedia melepas sahamnya senilai Rp 4,85 milyar kepada koperasi. Prajogo juga termasuk orang pertama yang menggarap HTI.
Sejak 1987, Barito Pacific memulainya di Kalimantan Timur seluas 2.000 hektare. "HTI penuh dengan warna politik, ekonomi, sosial, dan budaya," kata ayah tiga anak, yang tutur katanya lembut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Priyono B. Sumbogo, Budi Kusumah, Djunaini K.S., Linda Djalil, Bambang Aji, Iwan Qodar Himawan, Dwi S. Irawanto berkontribusi dalam penulisan artikel ini.