Menko Ekuin Radius Prawiro kini memegang lima kue besar bernilai US$ 30 milyar. Bagaimana kue tersebut akan dibagi? ADA lima kue besar kini di kantong Menko Ekuin Radius Prawiro -- masing-masing bernilai US$ 5.900 juta, US$ 5.600 juta, US$ 5.900 juta, US$ 6.200 juta, dan US$ 6.500 juta. Kelima kue tersebut merupakan kuota pinjaman luar negeri yang siap dibagikan mulai tahun anggaran berjalan (1991-1992) hingga tahun anggaran 1994-1995. Dipasrahi kue ekonomi segede itu, Radius Prawiro nampaknya cukup pintar untuk tak membagi-bagi berita (bukan kue) kepada pers. Beberapa kali TEMPO mencoba mewawancarainya, Radius pun berkelit, "Hari ini tidak ada berita. Sudah ya. Saya punya banyak pekerjaan rumah." Seperti diketahui, mulai tahun anggaran berjalan hingga 1995, jumlah pinjaman luar negeri dikenai kuota. Kuota tak ubahnya dengan kue yang senantiasa diperebutkan, seperti kuota ekspor kopi dan ekspor tekstil di Departemen Perdagangan beberapa tahun berselang. Apakah hal itu akan terulang? Belum jelas siapa yang nantinya akan membagi kuota pinjaman tersebut. Kuota pinjaman luar negeri untuk tahun anggaran berjalan memang telah dibagi sebagai berikut: Bank Indonesia sebanyak US$ 400 juta, bank-bank pemerintah sebesar US$ 1.000 juta, bank swasta sebesar US$ 500 juta, perusahaan swasta sebesar US$ 2.500 juta, dan BUMN sebesar US$ 1.500 juta. Untuk tahun anggaran mendatang, kuota US$ 5.600 juta secara garis besar sudah ditentukan sebagai berikut: US$ 500 juta untuk BI, US$ 500 juta untuk bank pemerintah, US$ 500 juta untuk bank swasta, US$ 2.600 juta untuk perusahaan swasta, dan US$ 1.500 juta untuk BUMN. Angka-angka tersebut agaknya berlaku untuk jumlah pinjaman yang bisa dicairkan. Sebab, Bapindo, seperti diungkapkan direktur utamanya, untuk tahun 1991 telah membuat kontrak pinjaman luar negeri sebesar US$ 500 juta. "Pinjaman ini akan jatuh tempo dalam waktu 3-5 tahun. Pencairan akan dilakukan bertahap, yakni US$ 10 juta untuk tahun 1991, US$ 50 juta pada tahun 1992, dan seterusnya," tutur Subekti. Namun, beberapa sumber mengungkapkan bahwa direktur utama dari sebuah bank pemerintah lainnya diduga kini pusing sekali. Bankir tersebut telah memberi lampu hijau kepada PT Chandra Asri (milik Prajogo Pangestu) untuk membeli peralatan untuk proyek olefin di Cilegon. LC-nya sebanyak US$ 700 juta telah dibuka, bahkan sekitar US$ 400 juta kabarnya sudah ditarik oleh pemasok barang. "Kini proyek tersebut ditunda. Lha, bankirnya mestinya senewen," kata seorang bankir pemerintah tanpa menyebutkan siapa yang dimaksud. Konon, yang dimaksud adalah Bank Bumi Daya. Namun, sampai berita ini diturunkan, pihak BBD diam seribu bahasa. Seorang bankir pemerintah lainnya juga mulai puyeng melihat ancaman pembatasan pinjaman luar negeri tadi. "Soalnya, bank kami sekarang mempunyai pinjaman luar negeri US$ 700 juta. Beberapa di antaranya mulai jatuh tempo tahun 1993. Untuk menarik pinjaman lokal (sekitar Rp 1,4 trilyun) mana mungkin. Dari pasar modal, juga masih harus menunggu undang-undang perbankan," katanya. Dari pernyataan itu jelas bahwa ada pinjaman luar negeri yang relatif berjangka pendek telah ditarik bank pemerintah untuk membiayai proyek-proyek raksasa berjangka panjang. Dan belum tentu proyek yang dibiayai itu menghasilkan dolar. Untuk membagi kuota US$ 500 juta untuk pinjaman bank-bank swasta, belum tentu mudah. BII (Bank Internasional Indonesia), misalnya, seperti dikatakan Vice President Hidajat Tjandradjaja, mempunyai pinjaman US$ 175 juta yang harus dibayar pada tahun 1992. Jika ada dua bank lain yang harus membayar pinjaman seperti BII tadi, jelas kuota tadi sudah habis. Padahal, jumlah bank devisa di Indonesia tak kurang dari 30 buah. Belum lama ini sebuah perusahaan grup Bakrie, yakni International Copper Investment Company Incorporated (ICICI) telah meneken pinjaman sekitar US$ 173 juta. Dana ini akan dipakai grup Bakrie untuk membeli 10% saham PT Freeport Indonesia Incorporated. Sementara ini, sejumlah perusahaan patungan asing juga dewasa ini tengah berniat melakukan investasi besar-besar. "Kami juga butuh pinjaman yang cukup besar," kata H. Ogasawara, presiden direktur dari PT East Jakarta Industrial Park, perusahaan patungan Jepang dengan PT Spinindo Mitradaya dan PT Gunung Cermai Inti untuk membangun sebuah kawasan industri di Bekasi. Ogasawara berpendapat, apa yang diumumkan Pemerintah dua pekan lalu masih sumir. "Kami masih menunggu keterangan lebih detail bagaimana pelaksanaan batasan pinjaman luar negeri yang US$ 2.500 juta untuk swasta," kata Ogasawara. Sementara itu, sebuah perusahaan patungan Jepang dengan Pemerintah di Sumatera kabarnya juga meminjam dolar yang cukup besar. Perusahaan tersebut, menurut sebuah sumber dari Tokyo, dalam dua tahur terakhir ini telah rugi sekitar US$ 56 juta. Tahun ini perusahaan tersebut diduga akan mencatat rugi lagi sampai US$ 50 juta lebih. Untuk menutup defisitnya, perusahaan tersebut akan mencari pinjaman baru setidaknya sekitar US$ 100 juta. Keluarnya kuota pinjaman luar negeri tadi diduga bakal menonjok agregat permintaan dolar di Indonesia. Setidaknya dari bank pemerintah dan bank-bank swasta. Dalam waktu mendatang mereka diduga akan berlomba-lomba menghimpun dana masyarakat dalam bentuk deposito dolar dengan bunga yang sangat menggiurkan. Atau membeli dolar dari BI untuk membayar utang-utangnya yang jatuh tempo. Dalam hal ini, siapkah pundi-pundi dolar di BI? Jika pinjaman luar negeri yang akan ditarik swasta nanti tidak dijual ke BI -misalnya dijual kepada bank-bank yang megap-megap kehausan dolar -bisa-bisa cadangan devisa BI jebol juga. Max Wangkar, Bambang Aji, Iwan Qodar, Leila S. Chudori (Jakarta), Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini