Pasar Jepang lesu, eksportir kayu lapis Indonesia kelabakan. Dan muncul pesaing baru, Malaysia, dengan harga lebih murah. PRAJOGO Pangestu dan seorang konglomerat yang lain kena penalti? Itulah bisik-bisik yang kini beredar di kalangan anggota Asosiasi Panel Kayu Lapis Indonesia (Ankindo). Ia disebut-sebut telah "menyerobot" kuota. Tunggal Yudi, salah satu anak perusahaan grup Barito, pada kuartal I tahun ini dinyatakan kelebihan kuota ekspor 4.350 m3. Sedangkan pada kuartal II, juga dengan tujuan Eropa, Tunggal Yudi kelebihan 6.000 m3. Dari dua kesalahan itu saja, Prajogo harus membayar denda 1 juta dolar lebih (setiap kelebihan satu meter kubik terkena sanksi 100 dolar). Kini, di kuartal ketiga, bersama seorang rekan pengusaha kayu lapis, Prayogo kembali dituding melanggar kuota. "Berapa besar denda yang harus dia tanggung masih dibicarakan di asosiasi," kata sumber itu. Di satu sisi, Barito dan rekannya gemar melanggar kuota. Tapi, di sisi lain, kejadian itu sekaligus menggambarkan betapa sengitnya persaingan yang terjadi di pasar plywood internasional. Berbicara tentang pasar kayu lapis, tentu kita harus melongok pasar Jepang. Negeri yang mengkonsumsi 8 juta m3 plywood setahun ini juga menampung sebagian besar produk Indonesia. Tiap tahun diperkirakan tak kurang dari 4 juta kubik kayu lapis Indonesia yang dilempar ke sini. Malangnya, pasar Jepang sudah tidak lagi menguntungkan. Harga FOB kini jatuh pada 220 dolar. Jika dibandingkan ongkos produksi, "kami rugi 90 dolar dari setiap kubiknya," kata seorang pengusaha. Lalu mengapa menjual ke sana? Menurut beberapa sumber TEMPO, pasar Jepang tetap dipertahankan (berdasarkan kebijaksanaan Apkindo), karena ini merupakan pangsa terbesar bagi Indonesia. Di samping itu, para pengusaha terikat kontrak kuota yang berupa kewajiban ekspor. Tapi, yang merisaukan mereka, karena Nippindo -perusahaan patungan antara Bob Hasan (95%) dan Mazaki (5%) -sebagai distributor tunggal produk kayu lapis Indonesia di Jepang, menentukan harga jual akhir. "Ini sudah tidak benar," kata seorang pengusaha. Satu setengah tahun lalu, Nippindo didirikan oleh anggota Apkindo, dengan harapan bahwa pasar di Jepang stabil. Ketika itu mereka diwajibkan mendukung gagasan ini dengan membeli saham Nippindo seharga 50 ribu dolar per lembar. Tapi beberapa bulan kemudian, Bob Hasan selaku komisaris perusahaan ini (presdir-nya Mazaki) mengembalikan saham itu ke anggota Apkindo. Dalam waktu singkat Bob menguasai saham Nippindo 95%. Sejak itu pula, kuota yang diperoleh para pengusaha tak lagi terjamin. Malah pangsa kayu lapis Indonesia di Jepang menurun tajam. Padahal, anjloknya harga kayu lapis di Jepang hanya sampai pada angka rata-rata 240 dolar per kubik. "Itu berarti Nippindo mengutip keuntungan 20 dolar dari setiap kubik," ujar seorang pengusaha. Entah benar entah tidak. Yang pasti, lesunya pasar Jepang telah merangsang eksportir berpaling ke RRC, AS, dan Timur Tengah. Di sini, harga lumayan bagus (di atas 300 dolar per kubik). Dan dari pasar-pasar inilah, para eksportir memperoleh pendapatan untuk menombok kerugian yang diderita di Jepang. Tapi kerugiannya terlampau besar. "Kalau ditotal, tahun ini seluruh industri kayu lapis akan merugi gara-gara harga di Jepang," begitu kata yang empunya cerita. Tapi perlu diingat, untuk menembus pasar di luar Jepang juga bukan perkara gampang. Pesaing paling berat, selain Siberia dan Papua Nugini, adalah Malaysia. Negeri tetangga ini, kendati produksi per tahunnya hanya 1,1 juta kubik, sanggup memasang harga 15 dolar di bawah yang ditawarkan Indonesia. Itulah sebabnya, Apkindo dituntut melakukan penelitian dan pengembangan pasar. Ini penting, agar produsen eksportir kayu lapis bisa tahu jenis produk apa yang dibutuhkan para konsumen di luar Jepang. Menjelang era globalisasi, tuntutan itu terdengar wajar. Soalnya, kejayaan kayu lapis Malaysia juga berawal dari R & D. Dan tidak sulit untuk dilaksanakan. Apkindo memiliki dana cukup banyak. Bukankah dari setiap kubik kayu lapis yang diekspor, asosiasi yang tak memiliki bendahara ini mengutip 10 dolar? Budi Kesumah, Max Wangkar, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini