Ratusan investor antre mendapatkan konsesi HTI. Di kertas, HTI dibikin di hutan kurus, kenyataannya ada yang berdampingan dengan HPH. SEBUTLAH kata HTI, niscaya banyak pengusaha yang akan berdecak. Soalnya, program hutan tanaman industri (HTI) itu kini dipandang sebagai lahan bisnis empuk. "Yang minta sudah ratusan," kata Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap. Ia menambahkan ada sekitar 350 calon investor kini antre untuk mendapatkan izin konsesi HTI. Namun, Departemen Kehutanan tak lantas jual mahal. Maklum, instansi ini punya kepentingan menggelar HTI sebanyak -banyaknya. Sebab, hutan buatan ini diyakini bisa mendatangkan banyak manfaat, antara lain menyelamatkan lahan kritis, menyulap hutan kurus jadi produktif, dan menyediakan bahan baku bagi industri bubur kertas (pulp), kayu pertukangan, papan partikel serta papan serat. Berjubelnya peminat HTI toh masih dianggap tak cukup menjamin menggelindingnya program usaha hutan buatan itu. Maka, Hasjrul minta semua pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), yang punya usaha industri perkayuan ikut membuka HTI. "Minimun 3.500 sampai 5.000 ha, dan dikaitkan dengan transmigrasi swakarsa," tambahnya. Menteri Hasjrul tak cuma main imbau saja. Untuk program HTI Departemen Kehutanan meminjamkan dana reboisasi (DR), yang dipungut dari pengusaha HPH, sebagai kredit tanpa bunga. Kabarnya, dompet DR kini berisi hampir Rp 1 trilyun, dan angka ini akan terus menggelembung karena potensi pengumpulan DR setiap tahun lebih dari Rp 400 milyar. Porsi DR dalam struktur modal HTI ditentukan 32,5%. Ini bukan satu-satunya perangsang. Untuk proyek usaha hutan buatan ini, Pemerintah akan menyertakan pula modal sebanyak 14%. Total, modal gampang yang didapatkan mereka sebesar 46,5%. Sisanya, urusan pengusaha bersangkutan, dengan ketentuan equity mereka minimal 21%. Adapun yang 32,5% lagi silakan pinjam sendiri di bank, yang kalau lagi mujur bisa mendapat dana murah dari bank pemerintah dengan bunga 9% setahun, seperti dinikmati konglomerat papan atas Prajogo Pangestu untuk proyek HTI di Sumatera Selatan. Proyek HTI ini sebenarnya bukan gagasan baru. Abbas Adhar, Direktur Utama PT ITCI (International Timber Corporation Indonesia), mengklaim telah menerapkan usaha hutan buatan itu di Kalimantan Timur sejak 1974 ketika anjuran HTI belum terdengar. "Kami melakukannya atas inisiatif sendiri," kata Abbas, yang telah menggarap HTI sekitar 20.000 ha. Secara bertahap ITCI menanam pelbagai jenis pohon kayu lunak yang tumbuhnya cepat, seperti akasia, sengon (albizia), dan eucalyptus. Pohon sengon ditanam ITCI pada 1978, bahkan sudah dipanen tahun lalu. "Kayunya dipakai sebagai bahan baku block board," tutur Abbas. Inhutani I, BUMN di Departemen Kehutanan, pun telah memulai proyek HTI sejak hampir 10 tahun lalu, dengan tanaman kayu lunak sengon, akasia, eucalyptus, dan kayu keras semacam mahoni atau meranti. "Kami telah menanam 30.000 ha, lalu kami setop," kata Direktur Utama Inhutani I, Soeroso Siswodarsono. Alasannya, sebagai usaha perintisan jumlah itu dianggap sudah cukup, dan berhasil. Sukses Inhutani itu sebetulnya dimaksudkan untuk merangsang swasta masuk ke HTI. Tapi, pada awalnya, swasta tak banyak yang berani berspekulasi membangun HTI. Maka, target 1,5 juta ha yang dipatok untuk Pelita V berjalan alot, dan kabarnya realisasinya paling banter 10-15%. Lalu keluarlah beleid baru penggunaan dana reboisasi dan penyertaan modal pemerintah lewat BUMN semacam Inhutani. Sejumlah swasta menyambar umpan Pemerintah itu dengan cepat. Prajogo Pangestu, bos Barito Pacific Group, terjun lewat PT Enim Musi Persada. Kini Enim Musi punya kavling untuk HTI seluas 300.000 ha di Sumatera Selatan. Investasi ditanamkan Rp 600 milyar untuk HTI, dan Rp 4,4 trilyun untuk pabrik pulp dan kertas. Pengusaha Bob Hasan juga tak mau ketinggalan. Djayanti Group, milik Bob, mendapat jatah 200.000 ha di Tanjungredep, Kalimantan Timur. Investasi yang disiapkan Rp 1,35 trilyun, untuk usaha HTI dan pabrik kertasnya. Grup Astra, lewat PT Astra Cellulose, mendapat jatah 300.000 ha di Merauke. Bahkan di Kalimantan Timur saja kini ada 30 investor yang mulai menggarap HTI. Banyak pengusaha memang melihat bisnis HTI punya masa depan menggiurkan. Abbas Adhar memperkirakan, dari 200.000 ha HTI yang dikelolanya, bisa dipanen 10.000 ha per tahun, dan itu akan menghasilkan kayu lunak 2 juta m3 dengan harga US$ 30 per m3. Total, hasil panennya US$ 60 juta -padahal modal yang diperlukan cuma US$ 200 juta. "Dalam tempo lima tahun setelah panen modal bisa kembali," ujarnya. Panen pertama itu bisa diperoleh delapan tahun setelah tanam. Melihat prospek yang cerah itu, banyak pihak yang mempertanyakan manfaat pinjaman tanpa bunga dari dana reboisasi tersebut. Dalam soal ini, Hasjrul lebih suka melihatnya dari segi tanggung jawab reboisasinya. "Mestinya itu tugas Pemerintah. Kalau ada swasta mau melaksanakannya, apa tidak wajarnya kalau kita berikan insentif," ujarnya. Para pengusaha yang kini antre itu memang tak bisa langsung mendapatkan konsesi HTI itu. Mereka harus sabar menunggu hasil survei petugas Departemen Kehutanan untuk memperoleh lokasi HTI. Soalnya, tak semua hutan bisa disulap jadi HTI. Hasjrul menetapkan hanya lahan kritis atau hutan-hutan kurus yang boleh dijadikan hutan buatan. "Yang produktivitas kayu komersilnya di bawah 20 m3 per ha," katanya. Kayu yang ada di lokasi boleh ditebang dan dijual, hasilnya untuk mengisi dompet pengusaha. Setelah mendapatkan lokasinya, baru pengusaha itu mendapatkan surat izin percobaan penanaman (IPP). Mereka diminta membuat percobaan penanaman pada areal terbatas, biasanya 1.000 sampai 2.000 ha per tahun, untuk masa 3 tahun. Hasil percobaannya dinilai. Jika rapornya bagus, perusahaan itu baru boleh menggelar HTI yang sebenarnya. Selama masa uji coba, segala macam biaya ditanggung investor. Tapi bukan berarti pengusaha tak mendapatkan apa-apa. Seorang bekas petugas lapangan HTI di Kalimantan Selatan menuturkan, lahan untuk HTI itu kadang berupa hutan yang rapat. "Potensi kayunya bisa mencapai 50 m3 per ha, bahkan lebih," ujarnya. Menurutnya, di Kalimantan, areal HTI itu banyak berdampingan dengan areal HPH dari pemegang konsesi yang sama. Kelebihan produksi di areal HTI mudah diklaim sebagai hasil HPH, begitu pula sebaliknya. Biaya penanaman HTI sebesar US$ 1.000 per ha, seperti disebut dalam proposal pengusaha, menurut sumber TEMPO itu, agak kelewat tinggi. "Pada kenyataannya, biayanya bisa jatuh di bawah US$ 500," katanya. Dengan adanya selisih perhitungan ini, pengusaha dimungkinkan untuk tidak perlu menyetor modal awal yang 21% itu, dan bisa membatasi kredit komersialnya. Dana reboisasi, penyertaan modal Pemerintah, dan hasil penjualan kayu boleh jadi sudah cukup untuk menggerakkan HTI mereka. Namun, bukan berarti pengusaha bisa modal dengkul. Untuk percobaan penanaman, yang biasanya meliputi areal 6.000 ha untuk tiga tahun, juga perlu modal tak sedikit. Setidaknya dia harus membeli satu buldoser, sebuah grader, enam traktor, dan truk-truk angkut. Seluruhnya mencapai Rp 1,6 milyar, belum ongkos buruh dan pegawai. Proyek HTI ada yang dikaitkan dengan program transmigrasi, ada yang tidak. Untuk sementara, transmigran HTI jangan berharap mendapat tanah 2 hektar sebagai hak milik. Mereka dipekerjakan di sana sebagai karyawan, ditambah hak atas tanah pertanian 0,25 hektar. Putut Trihusodo, Dwi S. Irawanto, Indrawan, dan Andi Reza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini