Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Tak Ada Waktu Bersukaria

Mari kembali menginjak bumi setelah hiruk-pikuk pemilihan presiden selesai. Presiden terpilih kita sungguh tak punya waktu untuk bersukaria terlena kemenangan. Presiden Joko Widodo harus tancap gas mendorong gerak ekonomi Indonesia yang mulai melemah.

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang pengunjung memotret layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (28/6/2019). ANTARA/Puspa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jokowi punya bekal yang baik setelah pemilihan umum berjalan aman dan lancar. Rekayasa jahat kerusuhan 22 Mei lalu gagal menimbulkan gejolak besar sesuai dengan keinginan sang dalang. Ini membuktikan betapa demokrasi Indonesia dengan segala kekurangannya ternyata masih stabil.

Akhir Mei lalu, lembaga pemeringkat S&P memberi apresiasi dengan mendongkrak peringkat kredit Indonesia menjadi BBB. Aliran dana investasi portofolio dari luar pun masuk dengan deras. Kemungkinan turunnya bunga The Federal Reserve turut pula menambah sentimen positif itu.

Persoalannya, pelbagai gelagat baik itu bisa dengan mudah tereliminasi oleh persoalan lama yang belum terobati. Yang terbesar adalah begitu besarnya ketergantungan Indonesia pada bahan bakar impor. Ketergantungan ini secara konstan menggali lubang defisit yang amat besar pada neraca transaksi berjalan Indonesia.

Ini sungguh sebuah ironi. Makin laju ekonomi bergerak, makin besar kebutuhan bahan bakar minyak, dan makin besar pula defisit neraca transaksi berjalan. Ujungnya, kurs rupiah tetap saja tertekan.

Selama ini, defisit itu tertutupi oleh arus masuk dana investasi portofolio. Dalam jangka pendek, mungkin tak ada persoalan. Tapi itu bukanlah solusi ideal. Terutama karena dana portofolio sungguh labil dan kerap menimbulkan gejolak jika sentimen pasar global berubah. Ketergantungan pada dana portofolio sebagai ganjalan juga mencerminkan lemahnya struktur ekonomi Indonesia lantaran perolehan dolar masuk tidak berasal dari kegiatan ekonomi riil.

Suatu ekonomi yang hidupnya tertolong oleh aliran dana ke pasar finansial tidak akan pernah kokoh secara fundamental. Salah satu sebabnya, dana itu tidak banyak merembes ke ekonomi rumah tangga secara luas. Sementara itu, ekonomi Indonesia bergantung pada konsumsi rumah tangga.

Survei Financial Times sebulan sebelum pemilu menyimpulkan bahwa mayoritas koresponden rumah tangga Indonesia secara umum sangat optimistis situasi politik tetap stabil. Namun survei itu juga menemukan bahwa optimisme tersebut tidak mendapat dukungan daya beli di tingkat rumah tangga.

Begitu pula kemauan konsumen mengambil kredit untuk memenuhi kebutuhan yang bernilai besar, seperti mobil atau properti. Itu tecermin pada turunnya Future Borrowing Index, yang juga diukur oleh Financial Times, menjadi 44,9—titik terendah semenjak dimulainya penghitungan. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia juga menunjukkan penjualan mobil per akhir kuartal I 2019 (selama setahun) malah turun hingga minus 6,6 persen. Pada periode yang sama tahun lalu, penjualan mobil masih tumbuh positif 5,8 persen.

Lemahnya keinginan berutang tentu tak lepas dari masih tingginya bunga kredit di Indonesia. Bunga kredit enggan turun karena likuiditas perbankan malah mengetat. Loan-to-deposit ratio (LDR) perbankan nasional meningkat menjadi 93,6 persen pada April 2019. Setahun sebelumnya, posisi LDR masih di bawah 90 persen.

Terus menanjaknya LDR dapat menjadi sinyal awal bahwa ekonomi sedang tertekan. Likuiditas perbankan merupakan “bahan bakar” penggerak ekonomi. Jika likuiditas mengetat, gerak pertumbuhan ekonomi tentu melamban. Itu sebabnya, para analis sudah mulai menghitung ulang target pertumbuhan ekonomi tahun ini. Target versi pemerintah 5,3 persen sepertinya sangat sulit tercapai.

Walhasil, tak ada waktu bersukaria bagi Jokowi. Kemenangannya yang sudah sah setelah putusan Mahkamah Konstitusi merupakan peluit tanda start. Pemerintah harus segera memulai pembenahan ekonomi secara struktural sebelum terlambat.

 

Peringkat Kredit Indonesia

 

​Standard & Poor's

Rating ​BBB      Outlook​ Stable

Fitch Ratings

​Rating BBB     Outlook Stable

Moody's Investor Service ​

Rating Baa2     Outlook ​Stable

Japan Credit Rating Agency

Rating ​BBB     Outlook ​​Stable

Kurs

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus