Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tak Kopral Yang Menelpon

Pertemuan besar pemimpin redaksi & PWI se-Indonesia yang ke-3 di Jakarta, menyinggung lembaga telepon yang boleh mengendalikan pers, soal kebebasan pers, dan sikap oposisi.

19 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEPON di meja Asmas Tatang Amara, Wakil Pemimpin Redaksi Sinar Pembangunan (Medan), suatu hari berdering. Penelepon meminta agar kematian wartawan koran itu--Irham Nasution, yang disiram cuka getah di luar kota Rantau Prapat (350 km dari Medan) -- tidak disiarkan. Ketika Tatang berusaha mengetahui identitas penelepon, pembicara di seberang sana tiba-tiba memutuskan hubungan. Tatang tentu saja bagai diteror. Biasanya hanya instansi keamanan yang menyampaikan permintaan semacam itu. Sekali ini ia menduga telepon tersebut datang dari orang yang merasa dirugikan oleh tulisan Irham. Dalam pemberitaannya mendiang Irham memang pernah mengunglapkan usaha penyelundupan barang mewah lewat Labuhan Bilik dari Malaysia. (lihat cerita berikutnya). Dan dalam "Pertemuan Besar Pemimpin Redaksi dan PWI seluruh Indonesia" (9-1 1 September) di }lotel Sahid, Jakarta, PanKopkamtib Laksamana Sudomo kembali menyinggung lembaga telepon semacam itu. Hanya Kepala Staf Kodam atau Kepala Penerangan Kodam, menurut dia, yang boleh menelepon pers jika diperlukan. "Jangan lagi seorang kopral yang disuruh menelepon," katanya. Tak ada maksud Kopkamtib mengendalikan pers dengan lembaga telepon. "Sikap mengendalikan itu tidak baik, saudara (pers) tentu tidak mau dikendalikan." Tapi dengan alasan mengamankan pelacakan, misalnya, Kopkamtib pernah menghimbau agar pers menahan diri memberitakan penyerangan (11 Maret) Komando Sektor Kepolisian Kota 8606 di Cicendo, Bandung. Sebagian besar pers menaatinya. Hanya koran Mandala (Bandung) dan Sinar Indonesia Baru (Medan) karena salah pengertian, sempat memberitakan peristiwa tadi sehari kemudian. Ketika menangani pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla (28 Maret), pers sekali lagi diminta menahan diri. Sikap pers waktu itu beraneka ragam. Pendeknya, sebagian besar merasa kurang puas. Pers Indonesia, jika ingin tetap sehat, tampaknya memang harus banyak mendengarkan keinginan dan pesan pemerintah. Jadi, dengan tema Meningkatkan Peranan Pers untuk Mensukseskan Pemilu dan Pembangunan, pimpinan pers seluruh Indonesia buat ketiga kalinya dikumpulkan di Jakarta. Di situ, mereka kembali mendengarkan keinginan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, yang meminta pers tetap mengutamakan kepentingan nasional. Dia juga menganjurkan agar pers menghindarkan sikap oposisi terhadap pemerintah. Presiden Soeharto ketika menerima mereka di Istana Negara menekankan soal kebebasan. Kebebasan tersebut, seperti juga kekuasaan, demikian Presiden, tentu mempunyai batas. "Saya minta agar pers sendirilah yang pandai-pandai menggunakan kebebasan yang dipunyainya," katanya lagi. Namun antara pers dan pemerintahpun sering terjadi salah faham dalam menafsirkan kebebasan. Juga dalam istilah off-the-record (tidak untuk dikutip), misalnya, penguasa segera cenderung mengartikan suatu informasi tidak boleh disiarkan. Salah paham semacam ini terjadi dalam peristiwa Cicendo. Dalam situasi seperti itu, Menteri Penerangan Ali Moertopo tetap menolak anggapan bahwa pers Indonesia kini berwajah pucat. Hanya orang yang tak punya koran, menurut dia, yang bisa berpendapat demikian. "Mereka tak merasakan bagaimana (pimpinan) punya (rasa) tanggungjawab terhadap koran dan karyawan," lanjut Menpen. Sebagai salah satu alat sosial kontrol, menurut Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Prof. Emil Salim, peranan pers tak yerlu dipersoalkan lagi. Diakuinya peranan pers. Tapi informasi, katanya pula, jika dimanipulasikan, bisa memberitahukan g.lmbaran menyesatkan. Jadi, "wartawan jangan membuat ABS (Asal Berita Saja) tanpa mencoba mengetahui suatu masalah yang sebenarnya," katanya. Menteri Ekuin/Ketua Bappenas Prof. Widjojo Nitisastro dalam pertemuan itu berbicara mengenai kebijaksanaan moneter pemerintah. Di situ, ia mengemukakan pemerintah cukup mampu mengendalikan nilai tukar mata uang rupiah terhadap sejumlah mata uang asing yang kuat, terutama dollar AS. Dan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud juga memaparkan betapa pentingnya suatu kebijaksanaan ekonomi yang kuat. Semua itu menambah wawasan wartawan. Dan pertemuan besar tersebut akhirnya--ini berita--menanggapi tantangan Menteri Ali Moertopo. Semula KNPI, Gerakan Pemuda Ansor dan sejumlah organisasi pengusulkan agar Presiden Soeharto jadi Bapak Pembangunan Nasional serta dipilih kembali sebagai presiden. Sekali ini Pemimpin Redaksi dan PWI se-Indonesia juga "memberi dukungan sepenuhnya kepada pernyataan-pernyataan tersebut," dan menyerahkan "proses selanjutnya kepada MPR," (lihat Nasional).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus