TELEPON di meja Asmas Tatang Amara, Wakil Pemimpin Redaksi
Sinar Pembangunan (Medan), suatu hari berdering. Penelepon
meminta agar kematian wartawan koran itu--Irham Nasution, yang
disiram cuka getah di luar kota Rantau Prapat (350 km dari
Medan) -- tidak disiarkan. Ketika Tatang berusaha mengetahui
identitas penelepon, pembicara di seberang sana tiba-tiba
memutuskan hubungan.
Tatang tentu saja bagai diteror. Biasanya hanya instansi
keamanan yang menyampaikan permintaan semacam itu. Sekali ini ia
menduga telepon tersebut datang dari orang yang merasa dirugikan
oleh tulisan Irham. Dalam pemberitaannya mendiang Irham memang
pernah mengunglapkan usaha penyelundupan barang mewah lewat
Labuhan Bilik dari Malaysia. (lihat cerita berikutnya).
Dan dalam "Pertemuan Besar Pemimpin Redaksi dan PWI seluruh
Indonesia" (9-1 1 September) di }lotel Sahid, Jakarta,
PanKopkamtib Laksamana Sudomo kembali menyinggung lembaga
telepon semacam itu. Hanya Kepala Staf Kodam atau Kepala
Penerangan Kodam, menurut dia, yang boleh menelepon pers jika
diperlukan. "Jangan lagi seorang kopral yang disuruh menelepon,"
katanya. Tak ada maksud Kopkamtib mengendalikan pers dengan
lembaga telepon. "Sikap mengendalikan itu tidak baik, saudara
(pers) tentu tidak mau dikendalikan."
Tapi dengan alasan mengamankan pelacakan, misalnya, Kopkamtib
pernah menghimbau agar pers menahan diri memberitakan
penyerangan (11 Maret) Komando Sektor Kepolisian Kota 8606 di
Cicendo, Bandung. Sebagian besar pers menaatinya. Hanya koran
Mandala (Bandung) dan Sinar Indonesia Baru (Medan) karena
salah pengertian, sempat memberitakan peristiwa tadi sehari
kemudian. Ketika menangani pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla
(28 Maret), pers sekali lagi diminta menahan diri. Sikap pers
waktu itu beraneka ragam. Pendeknya, sebagian besar merasa
kurang puas.
Pers Indonesia, jika ingin tetap sehat, tampaknya memang harus
banyak mendengarkan keinginan dan pesan pemerintah. Jadi, dengan
tema Meningkatkan Peranan Pers untuk Mensukseskan Pemilu dan
Pembangunan, pimpinan pers seluruh Indonesia buat ketiga kalinya
dikumpulkan di Jakarta. Di situ, mereka kembali mendengarkan
keinginan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, yang meminta pers
tetap mengutamakan kepentingan nasional. Dia juga menganjurkan
agar pers menghindarkan sikap oposisi terhadap pemerintah.
Presiden Soeharto ketika menerima mereka di Istana Negara
menekankan soal kebebasan. Kebebasan tersebut, seperti juga
kekuasaan, demikian Presiden, tentu mempunyai batas. "Saya minta
agar pers sendirilah yang pandai-pandai menggunakan kebebasan
yang dipunyainya," katanya lagi.
Namun antara pers dan pemerintahpun sering terjadi salah faham
dalam menafsirkan kebebasan. Juga dalam istilah off-the-record
(tidak untuk dikutip), misalnya, penguasa segera cenderung
mengartikan suatu informasi tidak boleh disiarkan. Salah paham
semacam ini terjadi dalam peristiwa Cicendo.
Dalam situasi seperti itu, Menteri Penerangan Ali Moertopo tetap
menolak anggapan bahwa pers Indonesia kini berwajah pucat. Hanya
orang yang tak punya koran, menurut dia, yang bisa berpendapat
demikian. "Mereka tak merasakan bagaimana (pimpinan) punya
(rasa) tanggungjawab terhadap koran dan karyawan," lanjut
Menpen.
Sebagai salah satu alat sosial kontrol, menurut Menteri
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Prof. Emil Salim,
peranan pers tak yerlu dipersoalkan lagi. Diakuinya peranan
pers. Tapi informasi, katanya pula, jika dimanipulasikan, bisa
memberitahukan g.lmbaran menyesatkan. Jadi, "wartawan jangan
membuat ABS (Asal Berita Saja) tanpa mencoba mengetahui suatu
masalah yang sebenarnya," katanya.
Menteri Ekuin/Ketua Bappenas Prof. Widjojo Nitisastro dalam
pertemuan itu berbicara mengenai kebijaksanaan moneter
pemerintah. Di situ, ia mengemukakan pemerintah cukup mampu
mengendalikan nilai tukar mata uang rupiah terhadap sejumlah
mata uang asing yang kuat, terutama dollar AS. Dan Menteri Dalam
Negeri Amirmachmud juga memaparkan betapa pentingnya suatu
kebijaksanaan ekonomi yang kuat. Semua itu menambah wawasan
wartawan.
Dan pertemuan besar tersebut akhirnya--ini berita--menanggapi
tantangan Menteri Ali Moertopo. Semula KNPI, Gerakan Pemuda
Ansor dan sejumlah organisasi pengusulkan agar Presiden Soeharto
jadi Bapak Pembangunan Nasional serta dipilih kembali sebagai
presiden. Sekali ini Pemimpin Redaksi dan PWI se-Indonesia juga
"memberi dukungan sepenuhnya kepada pernyataan-pernyataan
tersebut," dan menyerahkan "proses selanjutnya kepada MPR,"
(lihat Nasional).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini