Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute of Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan ambruknya industri tekstil dalam negeri berpotensi berdampak negatif pada industri petrokimia. Sebab, bahan baku utama dari bermacam produk tekstil berasal dari minyak bumi yang diproduksi oleh industri petrokimia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hilirisasi industri tekstil jika ditarik sampai ujung, bisa masuk ke industri petrokimia. Karena produk-produk yang dihasilkan oleh petrokimia harapannya juga diserap oleh industri tekstil,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Jumat, 27 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andry menjelaskan, industri tekstil merupakan sebuah ekosistem yang terdiri dari hulu hingga hilir, sehingga apabila terjadi gangguan pada salah satu bagiannya, akan berpengaruh pada bagian yang lain.
"Sehingga, ketika industri tekstilnya sekarat, akan memberikan pengaruh terhadap industri petrokimia juga," kata dia.
Menurut dia, kolapsnya puluhan perusahaan tekstil yang mengakibatkan ribuan orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah. Namun, pemerintah seolah-olah membiarkan kondisi kritis industri tekstil dalam negeri terjadi hingga berlarut-larut.
“Padahal industri ini sudah berteriak, bukan hanya di tahun ini, tetapi juga di tahun-tahun sebelumnya,” kata dia.
Andry mengatakan, pemerintah hingga saat ini masih gagal mengatasi lonjakan impor yang menjadi penyebab utama lesunya industri tekstil dalam negeri. Bahkan, menurut dia, kebijakan relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang dikeluarkan pemerintah semakin menggerus daya saing industri tekstil.
Padahal, sebelumnya industri ini cukup tertolong dengan terbitnya Permendag Nomor 36 Tahun 2023 yang membatasi impor dengan adanya persyaratan tambahan berupa peraturan teknis (Pertek). Meski beberapa bulan terakhir berhembus kabar aturan tersebut akan direvisi, tetapi hingga saat ini wacana tersebut masih belum terealisasi.
Sebelumnya, sejumlah asosiasi industri tekstil dan pertekstilan (TPT) mengungkap sebanyak 60 perusahaan tekstil dalam negeri kolaps dalam dua tahun terakhir. Ketua Umum Asosiasi Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wirawasta mengatakan hal ini berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK) sekitar 250 ribu karyawan industri tersebut.
“Ada sekitar 250 ribu karyawan terkena PHK,” ujarnya saat ditemui Tempo di Jakarta Selatan, Kamis, 19 Desember 2024.
Redma menilai, lonjakan impor pakaian jadi menjadi salah satu faktor terbesar yang menyebabkan jatuhnya industri tekstil tanah air. Menurut dia, Permendag 8/2024 yang menghapus Pertek untuk perizinan impor pakaian jadi, terbukti menaikkan impor pakaian jadi hingga 18 kali lipat dibanding sebelumnya.
Dia mengatakan impor pakaian jadi tidak hanya berpengaruh pada produksi garmen saja. Lebih dari itu, dampaknya bisa sampai ke hulu produksi serat, benang, dan industri terkait lainnya. “Artinya ini mengganggu seluruh rantai industri, bukan produksi garmen saja,” kata dia.
Pilihan Editor: Yang Muda yang Sulit Mendapat Kerja