SUASANA duka masih terasa di rumah petak semi permanen berukuran
3 X 7 meter itu. Di ruang tamunya, masih terbentang tikar dan
kitab suci Al Qur'an di salah satu sudutnya. Kepala keluarga di
situ, Irham Nasution, 39 tahun, meningal akibat disiram cuka.
Wartawan harian Sinar Pembangunan (Medan) itu tampaknya masih
dibicarakan banyak orang, khususnya penduduk Rantau Prapat,
Kabupaten Labuhan Batu, 300 km dari Medan. Dari mulai wajah
sampai bagian pangkal pahanya hancur mengelupas dan berwarna
hitam Seperti orang terbakar. "Sampai saat ini saya belum
mengerti apa motifnya, sehingga orang begitu kejam membunuh
suami saya," ujar Asdiah kepada Nian Poloan dari TEMPO yang
mengunjunginya pekan lalu.
Ada hubungannya dengan pemberitaan? Berambut ikal, suka
memelihara kumis tebal dan berbadan tegap, dia memang juruwarta
yang rajin memberitakan kasus penyelewengan dan penyelundupan di
daerahnya.
Terakhir dia memberitakan kasus penyelundupan 9 bal kertas koran
melalui Labuhan ilik (kota pelabuhan di zaman Belanda, yang
sekarang sudah mati). Dia menyorot seorang oknum tentara yang
diduganya terlibat dalam peristiwa 1979 itu. Tapi seperti biasa,
Irham yang hanya tamat SMP "menulis lebih banyak berdasarkan
sentimen," cerita kawannya. Artinya pemberitaan wartawan ini
"menyerang" oknum, yang kebetulan tak disukainya. "Tapi dia
memang berani," komentar teman-temannya.
Di Rantau Prapat, kota kecil yang berpenduduk 15.000, ia juga
dikenal berkantung "tebal". "Padahal penghasilannya dari
korannya tak ada,"kata Nazran Nazir, seorang reporter (Waspada)
di sana. Dengan sepeda motor merk Honda CB 100 tahun 1975, dia
rajin masuk kampung ke luar kampung, tapi beritanya jarang
dimuat koran. Maka berkata pemimpin redaksinya, Asmas Tatang
Amara: "Dia memang jarang mengirim berita, tapi beritanya selalu
mengejutkan."
Polisi setempat belum berhasil mengungkapkan latar belakang
kasus pembunuhan ini. Namun ada dua orang penduduk Labuhan Bilik
yang dicurigai, Koptu Kasmanino dan istrinya Atik, sejak 10
September ditahan di Jl. Gandhi Medan. Koptu Kasmanino, anggota
Koramil, disebut-sebut banyak mencampuri usaha penyelundupan di
sana. Oknum inilah yang sering disorot wartawan setempat, dan
Irham.
Yang menarik ialah Kasmanino suka bergaul, bahkan sering minum
bersama wartawan di kedai kopi. Setelah itu biasanya berita
penyelundupan jarang dimuat koran. Baru sebulan terakhir ini
terdengar kabar bahwa Kasmanino mencari-cari Irham.
Pada malam yang naas itu, 1 September, setelah selesai mengetik
berita AMD (ABRI Masuk Desa) di rumah kontrakannya di Jl.
Siringo-ringo, Rantau Prapat, Irham memacu sepeda motor ke luar
rumah. Menurut Asdiah, sekitar pukul 20.00, suaminya pulang
dengan baju basah di badan. Dia mengerang kesakitan: "Mati aku,
As. Aku disiram cuka oleh 3 orang yang tak kukenal."
Malam itu juga Irham dibawa ke ru^ mah sakit umum setempat. Tiga
jam kemudian dia meninggal.
Benarkah Irham dibunuh gara-gara berita? "Saya lebih condong dia
dibunuh karena persoalan pribadi," kau Husni Hasibuan. Kini
menjadi anggota DPRD Labuhan Batu, Husni pernah juga menjadi
wartawan Sinar Pembangunan. Almarhum, katanya, sering meminta
"sesuatu" (amplop) dari tauke-tauke Cina dan mereka yang
terlibat kasus pidana. Misalnya penyelewengan oleh aparat Pemda
Kabupaten Labuhan Batu. Pernah, ceritanya lagi, Camat Bilah
Hulu, Drs. Sakti Harahap, tak tahan meladeni permintaan Irham
terus-menerus.
Jika dibanding dengan wartawan lainnya di Rantau Prapat,
kehidupan Irham memang lebih baik. Penghasilannya dari Sinar
Pembangunan tidak berarti. Masih ada penerbit lain di Medan yang
tak tetap membayar upah wartawannya.
Husni Hasibuan, ketika masih menjadi wartawan, pernah mengalami
nasib seperti Irham. Suatu malam,tahun 1976, rumahnya digedor
orang yang mengaku temannya. Ternyata begitu pintu dibuka,
kontan wajahnya terkena cuka api. Sampai sekarang kasus itu tak
terungkap, sementara Husni sendiri cacat di bagian matanya
(kabur) dan sebagian dadanya. Tapi Husni mengaku peristiwa itu
terjadi karena berita yang dibuatnya untuk Sinar Pembangunan.
Yaitu tentang penggelapan uang Pemda Labuhan Batu.
Makin Tak Aman
Wartawan Sinar Pembangunan yang lain, Hasiangan Simanjuntak BA
di Pematangsiantar juga jadi korban pembunuhan (tahun 1974),
gara-gara berita penyelewengan di BRI Unit Desa, Kabupaten
Simalungun. Ada 3 orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan
tersebut sempat dibawa ke pengadilan. Tapi ketiganya bebas, tak
terbukti bersalah.
Lain pula halnya dengan A.T. Ginting, wartawan Sinar Harapan
(Medan). Wartawan ini dibunuh (tahun 1975) dengan engkol mobil
oleh sopir atas suruhan majikannya sendiri. Si majikan
diberitakan melakukan penyelewengan di Kantor Dinas
Perindustrian Kabupaten Tanah Karo, Sum-Ut. Empat orang yang
terlibat kini masih menjalani hukuman.
Yang sekedar menerima bogem (tinju) karena pemberitaan sudah tak
sedikit. Ray Patty, misalnya, wartawan SP juga, langsung dipukul
oleh Liem Seng, seorang bandar judi di Medan. Persoalannya juga
sampai ke tangan polisi, tapi tak ada kelanjutannya-sampai
sekarang.
Dan yang terbaru adalah penikaman atas Azmi Thalib, 32 tahun,
wartawan KNI di Medan, 4 September. Motifnya belum jelas. Tapi
Syamsudin Manan, Kepala Perwakilan KNI Medan, (juga Pem-Red
Mimbar Umum) mengatakan usaha pembunuhan terhadap wartawannya
itu tak ada hubungannya dengan pemberitaan, tapi urusan lamaran
pekerjaan salah seorang adiknya.
Ketika sudah mulai bisa bicara sepotong-sepotong, Azmi pekan
lalu mengatakan percobaan pembunuhan terhadap dirinya "ada
hubungannya dengan bahan berita yang sedang saya uber." At)a
itu? "Nanti setelah sehat akan saya jelaskan semuanya," katanya.
Kalau begitu, makin tak aman jadi wartawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini