MODAL ludes, barang buatannya pun laku. Gaji suami sebagai tumpuan hidup hanya cukup untuk dua hari. Kejadian pada 1992 itu merupakan titik paling menentukan dalam kehidupan Siti Galwati dan keluarganya. Tapi Siti tak surut langkah. Kelak terbukti, pilihan perempuan desa itu tidak keliru.
Kini Siti, 49 tahun, termasuk pengusaha kecil sukses di Yogyakarta. Omzetnya Rp 8 miliar hingga Rp 12 miliar per tahun. Tapi tengoklah ke belakang. Ketika memulai bisnisnya, pada 1992, Siti teruruk masalah bertumpuk. Ketika itu ia punya usaha penjahitan (modiste) lumayan mapan. Pesanan mengucur laju, Siti jadi salah satu langganan pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Bantul, Yogyakarta.
Namun bisnis yang bagus itu membuat Siti tak bisa bernapas. Bahkan sering ia tak bisa memenuhi tenggat pesanan pelanggannya. "Saya malu karena sering ingkar janji," katanya. Mulailah ibu dua anak ini melirik usaha lain yang tak diburu waktu. Lalu, eh, ia malah melamar jadi buruh jahit tali tas kulit. Kebetulan pada masa itu tas kulit sedang laris manis.
"Hasilnya lumayan, saya bisa lebih santai," katanya. Tak puas hanya jadi buruh, Siti mencoba membuat tas sendiri. Dengan modal Rp 650 ribu, yang ia kumpulkan dari upah menjahit, Siti membuat 20 tas. Ia menawarkan barang buatannya itu dari toko ke toko di Yogyakarta. Siti juga menjajaki pasar ekspor. "Sulit sekali. Saya sampai minta bantuan suami, tetap tidak juga berhasil," kata lulusan sekolah pendidikan guru ini.
Ia sudah pula telanjur punya tiga karyawan. "Sampai gaji suami saya setiap bulan habis dalam waktu satu dua hari demi melanjutkan usaha ini," ujar Siti, mengenang masa sulit itu. Suaminya, guru SD Pancak Wetan, Pelem Sewu, Bantul, sempat meminta Siti berhenti karena hasilnya hanya angka-angka di atas kertas.
Pada saat kritis itulah, 1994, nenek tiga cucu ini bertemu dengan Warwick Puser, warga Australia yang sedang merintis usaha perdagangan di Yogyakarta. "Ini semua berkat Pak Warwick," katanya. "Saya dibina dan diajari mengkombinasikan kulit dengan bahan-bahan alami yang lain."
Siti kemudian menjadi pemasok Warwick. Suatu kali ia sempat kelabakan ketika mendapat pesanan Warwick senilai Rp 115 juta. Ia menemui pemilik toko tas di Malioboro. "Untung, ada orang baik yang percaya pada saya," katanya. Pesanan terselamatkan dan bisnis Siti menggelinding laju.
Dengan gagah Siti mendirikan Seaga Leather and Natural Handicraft of Indonesia, dan hingga kini jadi langganan PT Out of Asia, perusahaan milik Warwick. Menurut Warwick, produk Seaga sangat bagus. "Dari segi kualitas, pekerjaan Siti sangat bagus, pengerjaannya juga cepat," katanya.
Dari pinggiran Yogyakarta, produk Seaga kini menyebar ke seluruh penjuru dunia, sebagian terpajang di toko-toko ternama di Amerika Serikat dan Eropa, seperti Crate & Barrel dan Neiman Marcus. Bisnis Siti agak limbung ketika krisis moneter menghajar Indonesia pada pertengahan 1997. Tapi Siti berhasil lolos dengan diversifikasi bahan baku tas.
Dia memperbanyak penggunaan bahan baku alami lain seperti enceng gondok, gedebok pisang, mendong, dan rotan. Ia juga mulai mengembangkan desain sendiri, tak sekadar bergantung pada pesanan. Bingkai kaca produknya, misalnya, disukai pengusaha Kolombia, Amerika Selatan.
Dengan 57 karyawan dan delapan pemasok, Siti dapat memenuhi puluhan order dari berbagai perusahaan lokal di Semarang, Solo, Sukawati (Bali), Surabaya, dan Jakarta. Produknya mulai dari tas hingga boks berukuran besar. Di atas tanah orang tuanya seluas 2.000 meter persegi di Manding, Sabdodadi, Bantul, Siti kini memiliki bengkel dan ruang pamer.
L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini