ANGKA statistik yang mulai keluar dengan indikator 1977
menunjukkan betapa ekonomi dunia masih belum pulih dari resesi
yang paling parah sejak malaise 1930. Pengangguran dan inflasi
masih merajalela di negara industri, sementara dunia usaha
masih terus lesu. Permintaan komoditi ekspor dari negara
berkembang lemah dan tak menentu, dan inilah yang menyebabkan
Indonesia masih was-was prospek ekonominya pada 1978 ini.
Sejak 1975 para pemimpin negara industri sudah mengadakan tiga
kali pertemuan puncak untuk mencoba mengangkat ekonomi dunia
dari resesi. Selama itu mereka gagal untuk menghasilkan apa yang
mereka inginkan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi mereka rata-rata berkisar sekitar 3% atau
4%7 satu tingkat yang jauh lebih rendah dibanding sebelum 1973.
Yang tidak diduga adalah pertumbuhan ekonomi Jerman Barat yang
hanya 274%.
Ekonomi Jerman Barat, bersama Jepang, paling kuat di antara
negara industri. Jerman Barat selama ini diharapkan berperan
sebagai "lokomotif" yang lewat kekuatannya bisa menarik
pertumbuhan ekonomi negara lain. Karena itu Jerman Barat
mendapat tekanan keras dari rekan-rekannya untuk melakukan
kebijaksanaan stimulatif. Kebijaksanaan ini menghasilkan
ekspansi moneter dan fiskal tapi bisa menyulut inflasi. Orang
Jerman tidak akan pernah hlpa inflasi yang mengamuk pada tahun
1930-an yang merupakan unsur penting dalam melahirkan Hitler.
Secara psichologis orang Jetman makanya selalu melawan sesuatu
tindakan yang bisa meriskir satu inflasi.
Karenanya, pada pertemuan anggota Organisasi Kerjasama dan
Pembangunan Ekonomi (OECD) -- satu organisasi yang beranggotakan
11 negara maju --belum lama ini di Paris tekanan terhadap Jerman
untuk melakukan tindakan stimulatif mulai berkurang. Ide adanya
satu atau dua negara yang berperan sebagai lokomotif sudah
berkurang, dan suatu konsensus rupanya tercapai bahwa beban
untuk mengakhiri resesi harus dipikul secara bersama oleh semua
negara maju.
Juga agak mengejutkan dari statistik akhir 1977 adalah tingkat
pertumbuhan ekonomi AS yang mencapai 5,7%. Tingkat ini, sedikit
di luar dugaan para pengamat ekonomi umumnya, ternyata masih
lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Jepang. Faktor utama di
belakang tingkat pertumbuhan ekonomi AS adalah prestasi
ekspornya yang cukup lumayan karena dibantu oleh merosotnya
dollar AS, terutama terhadap beberapa mata-uang yang kuat
seperti Mark dan Yen. Harga barang AS di luar negeri menjadi
murah dan ini memperbesar ekspor AS. Sebaliknya harga barang
Jerman di pasaran AS menjadi mahal, hingga sulit bersaing dan
ini sedikit menghambat ekspor Jerman.
Kalau diingat bahwa 30# Pendapatan Kotor Domestik (GDP) Jerman
berasal dari ekspornya, jelaslah betapa ekonominya bisa
terpukul. Inilah sebabnya kenapa tahun lalu ekonomi Jerman hanya
tumbuh dengan 2,4% saja. Bagi Perdana Menteri Helmut Schmidt,
ini berarti bertambahnya pengangguran di Jerman, yang belum
pernah setinggi sekarang ini. Schmidt sadar bahwa ini akan
punya implikasi serius mengingat tulangpunggung partai Sosial
Demokratnya adalah ormas-ormas buruh.
Jepang Digedor
Bagaimana dengan Jepang? Ekonominya terus tumbuh, sekalipun
dengan separuh tingkat pertumbuhan sebelum 1973, tapi masih
lebih baik dari pertumbuhan negara industri lainnya surplus
neraca perdagangannya terus menggunung. Ini disebabkan taktik
dagang Jepang yang masih tetap licik seperti sediakala Menutup
pintu bagi barang negara lain, tapi menggunakan segala
cara--termasuk banting harga--untuk melempar barangnya di luar
negeri. Begitu besarnya cadangan devisa Jepang hingga, kata
seorang penjabat perdagangan AS, "diperlukan delapan tahun untuk
menghabiskan cadangan devisa Jepang." Namun sesudah digedor
berkali-kali, akhirnya Jepang harus mengalah.
Dalam perundingan perdagangan dengan AS baru-baru ini di Tokyo,
Jepang berjanji untuk menghapuskan berbagai hambatan perdagangan
baik berupa tarip dan non-tarip. Bahkan lebih dari itu. Sebagai
uluran tangan untuk negara berkembang, Jepang akan menghadiahkan
berbagai keringanan bagi barang mereka dalam memasuki Jepang.
Jepang bahkan akan membeli beberapa komoditi strategis lebih
besar dari yang dibutuhkan sekedar untuk membelanjakan dollar
surplusnya. Jepang juga sadar bahwa kalau mereka terap
bersikeras dalam taktik dagangnya, orang lain akan kesal, dan
munkin akan bertindak lebih kasar lagi terhadap Jepang. Ini
berarti pengekangan ekspor Jepang, dan masalah bagi PM Fukuda
dalam politik domestiknya.
Maka sampai di mana kans pertemuan puncak di Ronn nanti yang
direncanakan bulan Juli?: Para kepala negara industri jelas tak
akan punya banyak waktu untuk berbincang-bincang tentang
pembatasan percobaan nuklir, atau hak-hak azazi manusia, atau
penanggulangan teror, seperti yang mereka lakukan di pertemuan
puncak London, Puerto Rico, dan Rambouillet.
Kini berkembang satu pendapat bahwa tak pantas kalau keadaan
ekonomi dunia dibicarakan tanpa mengikut-sertakan Arab Saudi.
Memang sudah ada pihak yang mengusulkan agar pertemuan di Bonn
nanti juga dihadiri oleh raksasa minyak itu. Dan memang dalam
hal GNP Arab Saudi tak kalah, bahkan unggul dari beberapa negara
yang selama ini hadir di pertemuan puncak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini