Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Ia Pulang Dari Rantau

Dr. bacharuddin jusuf habibie, 41, meraih gelar doktor ing dari universitas di aachen, jerman barat. wawancara tempo dengan habibie mengenai teknologi, matematika, militer, ekonomi & strategi pembangunan.(eb)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Setelah Ia Pulang Dari Rantau
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
NAMANYA mulai dibicarakan orang sesaat sebelum pecahnya krisis Pertamina. Oleh Dir-Ut Dr Ibnu Sutowo, waktu itu ia telah ditunjuk sebagai Kepala Divisi Maju Teknologi Pertamina. Tapi bintangnya makin menanjak, ketika Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Dir-Ut Nurtanio di bulan April 1976. Itulah Dr Bacharuddin Jusuf Habibie, 41, yang oleh teman-temannya biasa dipanggil Rudy. Lama tinggal di Jerman Barat, putera keempat dari keluarga Habibie yang lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan itu, berhasil meraih gelar Doktor Ing dari Universitas di Aachen, Jerman Barat dengan angka rata-rata 10. Karirnya pun menanjak selama tinggal di rantau itu. Sejak tahun 1974-- kira-kira dalam waktu yang bersamaan ketika ia masuk di Pertamina--B.J.Habibie juga diangkat sebagai Vice President dari perusahaan Messerschmitt Bolkow-Blohm (MBB) di Jerman Barat dan hingga sekarang merangkap sebagai Direktur Aplikasi Teknologi dari MBB. Pernah kuliah sebentar di ITB di tahun 1954, kini ia juga duduk sebagai Penasehat Presiden RI di bidang Teknologi Maju dan Aeronautika. Bertubuh kecil tapi gesit, ia termasuk orang yang aktif berfikir dan bicara. Kepada G.Y. Adicondro dari TEMPO yang menemuinya pekan lalu, Dr Habibie antara lain bicara soal teknologi dan matematika sampai pada soal militer, ekonomi dan strategi pembangunan. Beberapa petikan dari wawancara itu: Nurtanio, telah memilih helikopter buatan MBB BO-105 untuk roduksi mulanya atas dasar lisensi. Kebetulan anda sendiri masih memangku jabatan sebagai Vice Presid ent MBB. Apa latar belakang pemilihan BO-105 itu? Begini, ini jangan disalahtafsirkan. Selama saya bekerja di Jerman Barat, saya tidak pernah bekerja pada bagian organisasi MBB yang langsung atau tak langsung berhubungan dengan penjualan. Segala tanggungjawab, komitmen saya kepada MBB adalah sebagai seorang ahli mesin, seorang ilmiawan dalam bidang teknologi. Kalau saya punya saran dalam bidang teknologi itu salah, saya yang seharusnya digantung. Misalnya dalam Airbus A-300 di mana saya punya kontribusi. Kalau pesawat itu jatuh -- Insya Allah tidak -- dan letak kesalahannya pada crack propagation (perambatan retak dalam bahan), mereka bisa bilang: gantung Habibie! Tapi kalau Airbus nggak laku, bukan salah Habibie dong. Kemudian soal BO-105 itu sendiri. MBB membuat 10 helikopter BO-105 dalam sebulan. Satu heli harganya sekitar 600 ribu US dollar. Jadi sebulan 6 juta dollar AS. Tapi program MBB bukan cuma helikopter. BO-105 itu hanya sesuatu yang amat kecil bagi MBB. Program di pahrik Hamburg di mana Airbus dibuat ini nghasilkan 30 juta dollar AS sebulan. Di sana selain membuat 65% dari saham Jerman dalam Airbus, juga dibuat pesawat Transan, F-28, Multi-Role Combat Aircraft (MRCA), dan lain-lain. Makanya ketika saya bilang mau pulang ke Indonesia, orang-orang di bagian helikopter memang senang. Tapi pimpinan MBB di Hamburg, di mana Habibie telah turut dalam pembuatan Airbus, dia kan gondok? Tahu dia sampai bilang apa? Kalau kita tahu bahwa saudara satu hari akan meninggalkan kami, saudara tak akan dapat jabatan-jabatan yang sekarang saudara pegang. Tapi kalau di Jerman ada yang gondok, di Indonesia orang juga bertanya-tanya Di sana jadi vice president MBB, di sini jadi Dir-Ut Nurtallio .... Ini terpaksa. Saya terikat kontrak dengan MBB sampai 1981. Tapi kalau jabatan saya di sini mengharuskan saya bekerja penuh di Indonesia, saya diperkenankan tetap menjadi penasehat teknologi pada MBB. Kepentingan MBB jelas. Mengikuti perkembangan teknologi, setidak-tidaknya di dalam negeri (Indonesia). Di lain pihak, kepentingan saya adalah mendapatkan arus informasi yang tetap tentang teknologi terbaru di luar negeri. Untuk siapa? Untuk kita. Untuk perkembangan Nurtanio. Jadi ini timbal-balik. Karena itu Presiden bilang oke. Biar ada kepentingan mereka kita bisa mengerti, karena produknya (sedang) jalan. Toh ada kepentingan kita juga. Apa misalnya? Coba you pikir. Tahu berapa kita keluarkan untuk konsultan asing di Indonesia? Tanya sama Bappenas, berapa biaya Kaiser. Tanya sama Pertamina. Ada yang 8 ribu dollar sebulan. Ada yang 12 ribu dollar. Tapi rata-rata kita harus bayar konsultan asin 10 ribu dollar sebulan. Sekarang, apa bedanya konsultan dengan yang bukan sekedar konsultan. Seorang konsultan yang sudah dibayar kerjanya hanya di permukaan, kwalitatif. Itu gampang. Sebab dia tak perlu mengambil keputusan. Sekarang perbedaannya dengan si Habibie yang masih di MBB. Melalui sekretaris saya, saya bisa mendapat setiap informasi dalam seluruh piramida teknologi. Kalau saya tiba-tiba keluar dari MBB saya kehilangan semuanya itu. Sekarang cukup saya telepon asisten saya, Herr Muller di Hotel Borobudur, coba telex Hamburg. Anda tak bisa membayar orang yang demikian dengan uang bukan? Apakan anda bahagia dengan kesibukan sebanyak itu? Terus terang, saya senang. Sejak kecil boleh tanya sama ibu saya, saya paling senang matematika, fisika, dan mekanik Kebetulan isteri saya sebagai seorang dokter juga punya pengertian terhadap ilmu. Di Jerman pun kalau sedang sinting-sintingnya saya bisa kerja sama komputer sampai jam dua malam. Tapi sejak semula saya punya satu pikiran tetap: mau kembali ke Indonesia membantu pembangunan teknologi di sini. Setelah osisi saya cukup kuat di MBB, dengan kredit dari perusahaan saya mulai mengambil insinyur-insinyur muda dari Indonesia masuk ke MBB. Seluruhnya ada 15 orang yang berhasil kaderisasi di sana. Ketika saya diajak Pak Ibnu pulang ke Indonesia, mereka saya ajak semua. Bersama-sama kami mendirikan Divisi Teknologi Maju Pertamina ini, di mana Nurtanio hanya salah satu program di bawahnya. Masih ada lagi Proyek Hujan Buatan, LNG, dan lain-lain. Pokoknya, saya hanya memakai akal. Kepentingan saya bukanlah politik. Tapi adalah mendapatkan pengetahuan bagaimana membangun Indonesia. Dan sejak semula saya tahu, bekerja sendiri tak mungkin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus