NAMANYA mulai dibicarakan orang sesaat sebelum pecahnya krisis
Pertamina. Oleh Dir-Ut Dr Ibnu Sutowo, waktu itu ia telah
ditunjuk sebagai Kepala Divisi Maju Teknologi Pertamina. Tapi
bintangnya makin menanjak, ketika Presiden Soeharto
mengangkatnya sebagai Dir-Ut Nurtanio di bulan April 1976.
Itulah Dr Bacharuddin Jusuf Habibie, 41, yang oleh
teman-temannya biasa dipanggil Rudy.
Lama tinggal di Jerman Barat, putera keempat dari keluarga
Habibie yang lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan itu, berhasil
meraih gelar Doktor Ing dari Universitas di Aachen, Jerman Barat
dengan angka rata-rata 10. Karirnya pun menanjak selama tinggal
di rantau itu. Sejak tahun 1974-- kira-kira dalam waktu yang
bersamaan ketika ia masuk di Pertamina--B.J.Habibie juga
diangkat sebagai Vice President dari perusahaan Messerschmitt
Bolkow-Blohm (MBB) di Jerman Barat dan hingga sekarang
merangkap sebagai Direktur Aplikasi Teknologi dari MBB.
Pernah kuliah sebentar di ITB di tahun 1954, kini ia juga duduk
sebagai Penasehat Presiden RI di bidang Teknologi Maju dan
Aeronautika. Bertubuh kecil tapi gesit, ia termasuk orang yang
aktif berfikir dan bicara. Kepada G.Y. Adicondro dari TEMPO yang
menemuinya pekan lalu, Dr Habibie antara lain bicara soal
teknologi dan matematika sampai pada soal militer, ekonomi dan
strategi pembangunan. Beberapa petikan dari wawancara itu:
Nurtanio, telah memilih helikopter buatan MBB BO-105 untuk
roduksi mulanya atas dasar lisensi. Kebetulan anda sendiri
masih memangku jabatan sebagai Vice Presid ent MBB. Apa latar
belakang pemilihan BO-105 itu?
Begini, ini jangan disalahtafsirkan. Selama saya bekerja di
Jerman Barat, saya tidak pernah bekerja pada bagian organisasi
MBB yang langsung atau tak langsung berhubungan dengan
penjualan. Segala tanggungjawab, komitmen saya kepada MBB adalah
sebagai seorang ahli mesin, seorang ilmiawan dalam bidang
teknologi. Kalau saya punya saran dalam bidang teknologi itu
salah, saya yang seharusnya digantung. Misalnya dalam Airbus
A-300 di mana saya punya kontribusi. Kalau pesawat itu jatuh --
Insya Allah tidak -- dan letak kesalahannya pada crack
propagation (perambatan retak dalam bahan), mereka bisa bilang:
gantung Habibie! Tapi kalau Airbus nggak laku, bukan salah
Habibie dong.
Kemudian soal BO-105 itu sendiri. MBB membuat 10 helikopter
BO-105 dalam sebulan. Satu heli harganya sekitar 600 ribu US
dollar. Jadi sebulan 6 juta dollar AS. Tapi program MBB bukan
cuma helikopter. BO-105 itu hanya sesuatu yang amat kecil bagi
MBB. Program di pahrik Hamburg di mana Airbus dibuat ini
nghasilkan 30 juta dollar AS sebulan. Di sana selain membuat 65%
dari saham Jerman dalam Airbus, juga dibuat pesawat Transan,
F-28, Multi-Role Combat Aircraft (MRCA), dan lain-lain. Makanya
ketika saya bilang mau pulang ke Indonesia, orang-orang di
bagian helikopter memang senang. Tapi pimpinan MBB di Hamburg,
di mana Habibie telah turut dalam pembuatan Airbus, dia kan
gondok? Tahu dia sampai bilang apa? Kalau kita tahu bahwa
saudara satu hari akan meninggalkan kami, saudara tak akan dapat
jabatan-jabatan yang sekarang saudara pegang.
Tapi kalau di Jerman ada yang gondok, di Indonesia orang juga
bertanya-tanya Di sana jadi vice president MBB, di sini jadi
Dir-Ut Nurtallio ....
Ini terpaksa. Saya terikat kontrak dengan MBB sampai 1981. Tapi
kalau jabatan saya di sini mengharuskan saya bekerja penuh di
Indonesia, saya diperkenankan tetap menjadi penasehat teknologi
pada MBB. Kepentingan MBB jelas. Mengikuti perkembangan
teknologi, setidak-tidaknya di dalam negeri (Indonesia). Di lain
pihak, kepentingan saya adalah mendapatkan arus informasi yang
tetap tentang teknologi terbaru di luar negeri.
Untuk siapa?
Untuk kita. Untuk perkembangan Nurtanio. Jadi ini timbal-balik.
Karena itu Presiden bilang oke. Biar ada kepentingan mereka kita
bisa mengerti, karena produknya (sedang) jalan. Toh ada
kepentingan kita juga.
Apa misalnya?
Coba you pikir. Tahu berapa kita keluarkan untuk konsultan asing
di Indonesia? Tanya sama Bappenas, berapa biaya Kaiser. Tanya
sama Pertamina. Ada yang 8 ribu dollar sebulan. Ada yang 12 ribu
dollar. Tapi rata-rata kita harus bayar konsultan asin 10 ribu
dollar sebulan. Sekarang, apa bedanya konsultan dengan yang
bukan sekedar konsultan. Seorang konsultan yang sudah dibayar
kerjanya hanya di permukaan, kwalitatif. Itu gampang. Sebab dia
tak perlu mengambil keputusan.
Sekarang perbedaannya dengan si Habibie yang masih di MBB.
Melalui sekretaris saya, saya bisa mendapat setiap informasi
dalam seluruh piramida teknologi. Kalau saya tiba-tiba keluar
dari MBB saya kehilangan semuanya itu. Sekarang cukup saya
telepon asisten saya, Herr Muller di Hotel Borobudur, coba telex
Hamburg. Anda tak bisa membayar orang yang demikian dengan uang
bukan?
Apakan anda bahagia dengan kesibukan sebanyak itu?
Terus terang, saya senang. Sejak kecil boleh tanya sama ibu
saya, saya paling senang matematika, fisika, dan mekanik
Kebetulan isteri saya sebagai seorang dokter juga punya
pengertian terhadap ilmu. Di Jerman pun kalau sedang
sinting-sintingnya saya bisa kerja sama komputer sampai jam dua
malam.
Tapi sejak semula saya punya satu pikiran tetap: mau kembali ke
Indonesia membantu pembangunan teknologi di sini. Setelah osisi
saya cukup kuat di MBB, dengan kredit dari perusahaan saya mulai
mengambil insinyur-insinyur muda dari Indonesia masuk ke MBB.
Seluruhnya ada 15 orang yang berhasil kaderisasi di sana.
Ketika saya diajak Pak Ibnu pulang ke Indonesia, mereka saya
ajak semua. Bersama-sama kami mendirikan Divisi Teknologi Maju
Pertamina ini, di mana Nurtanio hanya salah satu program di
bawahnya. Masih ada lagi Proyek Hujan Buatan, LNG, dan
lain-lain. Pokoknya, saya hanya memakai akal. Kepentingan saya
bukanlah politik. Tapi adalah mendapatkan pengetahuan bagaimana
membangun Indonesia. Dan sejak semula saya tahu, bekerja sendiri
tak mungkin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini