Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Manusia Berkelahi, Gajah Mati

Masalah perburuan liar di kenya, yang mengakibatkan musnahnya gajah dan badak. hal ini disebabkan adanya perang tanduk afrika antara somalia dengan ethiopia diperbatasan somalia dengan kenya. (ling)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANG di Tanduk Afrika yang kini berlangsung antara Somalia dengan Ethiopia, mengambil bentuk lain di perbatasan Somalia dengan Kenya Di hutan-hutan di situ, dikabarkan pemerintah Somalia mengirim para pemburu liar. Mereka menembaki apa saja hewan yang nampak. Tapi, berbeda dengan laimnya pemburu, mereka tak mengumpulkan kulit atau gading hasil buruan itu. Tujuan mereka hanya untuk memancing tindakan balasan pemerintah Kenya sambil juga untuk mengenali wilayah perbatasan itu bila terjadi perang nanti. Korban pertama dari serbuan diamdiam ini tentulah gajah. Tapi tentu bukan cuma itu hewan nyaris punah di sana. Sebab lain adalah korupsi-- suatu perkara yang tak kalah hangatnya akhir-akhir ini. Contohnya kejadian berikut. Menasses Otto Keiller, bekas perwira Kenya yang memimpin Satuan Anti-Pemburu Liart pada suatu hari menahan sebuah mobil Mercedes. Di dalamnya ditemukan 30 gading gajah. Si pengendara ditahan. Tapi tiba-tiba Keiller diberi tahu oleh "orang atas" agar ia membebaskan tahanannya -- dan ia sendiri dimarahi. Dalam kejadian lain, seorang wanita diajukan ke pengadilan karena ketahuan memiliki 50 gading. Ia, seorang warga suku Kikuyu yang berkuasa, dibebaskan. Sementara itu seorang anggota suku Giryama dipenjarakan karena memiliki tiga buntut jerapah. Dendam Suku Massai Akibat dari semua itu ialah tidak terkontrolnya perburuan dan musnahnya pelbagai hewan liar yang dilindungi, terutama gajah atau badak. Taman Nasional Amboseli, yang luasnya 150 mil persegi dan merupakan daerah satwa liar yang terbanyak menghasilkan uang, tiga tahun yang lalu merupakan tempat para turis melihat-lihat badak. Ada sekitar 70 badak di sana, dan setiap hari para wisatawan dapat menyaksikan 20 atau 30 ekor berkeliaran. Kini tak seekor pun yang nampak. Semula memang yang memburu adalah orang-orang suku Massai. Mereka dulu penghuni wilayah yang kini telah diadikan taman itu. Antara lain untuk membalas sakit hati mereka kepada pemerintah yang menggusur mereka dari sana, mereka pun menombaki badak-badak yang kini mengambil alih tempat itu. Untung kemudian pemerintah Kenya sadar, dan membayar kontan uang pesangon dan kompensasi kepada mereka. Menurut Dr. David Western, ahli zoologi dari Universitas Nairobi yang menelaah Amboseli dan suku Massai sikap suku ini belakangan sudah berubah. Mereka kini ikut melaporkan kalau ada pemburu liar. Pemburu liar memang tak sedikit. Di bagian utara Kenya, seperti kata Otto Keiller, ada gerombolan bersenjata yang memakai bedil yang sangat Inodern. senapan mesin dan truk. "Kami tak berurusan dengan orang kecil yang rnencoba memberi makan keluarganya," kata Keiller. "Lebih buruk lagi. Kami menghadapi gerombolan yang terdiri dari 10 sampai 20 orang bersenjata. Mereka menembaki hewan apa saja. Mereka dilindungi orang-orang penting di Nairobi." Orang penting yang banyak dituduh adalah John Mutinda. Ia kepala Bagian Pengelolaan dan Konservasi Satwa Liar, satu bagian dari Kementerian Pariwisata dan Satwa Liar. Ia mengurus taman-taman nasional, program anti perburuan liar dan program pengawasan perburuan. Wartawan ilmu Boyce Rensberger pernah menulis dalam Tbe New York Times Magazine 6 Nopember 1977 "Tak diragukan lagi bahwa hampir setiap orang yang ta.hu perkara di belakang layar satwa liar di Kenya yakin bahwa Mutinda terlibat jauh dalam melindungi para pemburu liar." Tapi ternyata Mutinda tak sendirian. Bahkan desas-desus mengatakan bahwa keluarga Presiden Kenya Jomo Kenyatta, terutama isteri dan puterinya, Margaret Kenyatta, sudah lama berdagang Gading yang asal-usulnya tak jelas. Gading itu diekspor dalam jumlah ratusan ton ke Hongkong dan tempat-tempat lain. Bukti-bukti dokumen tentang ini sudah pernah disiarkan oleh pers Amerika dan Inggeris. Pemerintah memang mengakui bahwa keluarga Presidennya berdagang gading, tapi ditambahkan bahwa usaha itu legal karena berdasarkan izin -- sebelum izin untllk ekspor gading oleh swasta dilarang di tahun 1973. Sementara itu akhir-akhir ini dikabarkan bahwa keluarga Presiden lenyatta sudah meninggalkan perdagangan gading, dan beralih ke perdagangan kopi, yang lagi maju. Margaret Kenyatta -- wakil Kenya untuk Program l ingkungan PBB -- juga agak terdesak untuk meneruskan bisnis gadingnya, karena kritik dari luar kepadanya. Di Atas Kritik Kriik dari pers Kenya sendiri lebih ditujukan kepada Menteri Pariwisata, Mathews Ogutu. Harian terkemuka The Nation menuduh sang menteri sebagai tokoh gagal untuk menyelamatkan merosotnya satwa liar di Kenya. Dalam satu editorial di halaman muka--satu kejadian yang jarang -- harian itu menuntut mundurnya Ogutu. Ogutu rupanya terpojok, dan untuk melepaskan diri dari kritik, ia mengumumkan suatu larangan yang disambut baik oleh para konservasionis: larangan total untuk berburu hewan. Tindakan ini menyebabkan Kenya kehilangan sekitar $ 1,4 juta dari penghasilannya,yang berasal dari lisensi perburuan dan bisnis yang terjadi sebagai kaitannya. Kritik tetap ada kepada langkah Ogutu ini. Larangan total itu menyebabkan beberapa pemilik tanah peternakan ranch), yang dulunya bisa hidup dari memungut uang perburuan terbatas, kini kehabisan sumber, sehingga--seperti yang di Galana Ranch di bagian timur Kenya--mereka tak bisa lagi membiayai regu anti pemburu liar mereka sendiri yang menjaga tetapnya jumlah populasi satwa buruan. Sementara itu toko-toko tandamata yang menjual gading, kulit dan tanduk hewan tidak diapa-apakan .... Itu tidak berarti pemerintah Kenya tak punya orang-orang yang menyadari perlunya tindakan yang lebih kokoh untuk menjaga kelestarian satwa yang dilindungi. Kamora, sekretaris tetap pada kementerian Satwa Liar, tokoh yang dikenal melawan korupsi di kalangannya, menegaskan "Hewan-hewan punya hak untuk hidup sebagai bagian dari basis perekonomian Kenya." Lalu ia menambahkan: "Saya optimis bahwa satwa liar akan terus di situ bahkan sampai seratus tahun." Menurut Kamora, Kenya telah menyediakan anggaran tambahan $19,4 juta untuk dibelanjakan sampai dengan 1981, bersama dengan pinjaman Bank Dunia sebanyak $17 juta untuk mengembangkan satuan anti pemburu liar yang lebih kuat dan memperbaiki praktek pengelolaan satwa liar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus