PANGKALAN Angkatan Udara Hussein Sastranegara di Bandung
baru-baru ini kedatangan banyak tamu. Helilopter, pesawat
terbang F-27 punya Pertamina dan pesawat lainnya mendarat dan
lepas landas di lapangan militer yang biasanya sepi itu.
Persiapan latihan perang-perangan ?
Ternyata tidak. Sasaran kunjungan para tamu -- ada jenderal,
komodor, diplomat dalam dan luar negeri bulcan instalasi TNI/AU
yang ada di situ. Melainkan pabrik PT Industri Pesawat Terbang
Nurtanio yang menempati 8 hangar di sisi utara kompleks PAU
tersebut. Terselip dalam agenda kunjungan PM Muangthai Kriangsak
ke Indonesia, beberapa menteri dan pimpinan AB Muangthai sempat
melihat-lihat kegiatan Nurtanio. Diantar oleh Dir-Ut Nurtanio,
Dr. B.. Habibie serta Preskom Nurtanio, Marsekal (U) Saleh
Basarah, para tamu penting dari Muangthai itu melihat dan
menaiki heli B0105 dan pesawat Aviocar C-212 yang sedang
dirakit.
Kunjungan delegasi Muangthai beberapa hari kemudian disusul
dengan kunjungan tim DPA dipimpin oleh ketuanya, Wilopo SH.
Lalu, minggu lalu Dir-Ut PT Merpati Nusantara, Marsekal (U)
Ramli beserta stafnya datang sendiri ke Nurtanio menerima
pesawat Aviocar kedua yang dibeli pemerintah buat Merpati.
BERBAGAI kegiatan itu mungkin lebih berbau promosi. Meski tak
ayal karyawan produksi pun ada yang terpaksa lembur hari Sabtu
dan Minggu yang resminya libur bagi Nurtanio. Kesibukan itu bisa
lebih meningkat lagi April nanti. Sebab menurut rencana,
Nurtanio akan mengadakan demonstrasi penembakan dari helikopter
BO-105 yang dilengkapi roket dan mitralyur. "Pejabat teras
Hankam negara Asean akan kami undang semua," kata Dr Habibie.
Begitulah potret kesibukan PT Nurtanio sekarang, suatu
penjelmaan yang radikal dari Lipnur (Lembaga Industri
Penerhangan Nurtanio) milik TNI/AU yang parungan dengan Divisi
Teknologi Maju Pertamina dua tahun lalu. Lipnur sendiri -- yang
kini sudah lebur secara tuntas ke dalam PT Nurtanio --
sebelumnya boleh dianggap sebagai puncak prestasi orang-orang
AURI dalam merintis industri penerbangan di Indonesia.
Sejarahnya sebenarnya sudah mulai 32 tahun lalu, di sebuah bekas
gudang kapuk di Magetan, dekat Madiun.
Di sanalah, di tengah blokade Belanda, Biro Rencana dan
Konstruksi TRI-Udara yang dimotori oleh pemuda Wiweko Supono
(kini Dir-Ut Garuda) dan almarhum Nurtanio Pringgoadisuryo
berhasil membuat beberapa pesawat layang jenis Zogling. Sambil
bereksperimen, memancing minat dirgantara di kalangan pemuda
Indonesia. Dari pesawat layang tak bermotor meningkat ke
pesawat terbang bermesin. Sebuah sepeda motor Harley Davidson
dipreteli mesinnya, dan dengan lapisan badan dari kain blacu
tenunan dalam negeri lahirlah pesawat terbang bermesin pertama
buatan Indonesia.
Pesawat udara itu mula-rnula dibap.is dengan tanda WEL-X tapi
kemudian dikenal dengan nomor registrasi RI-X. Beberapa kali
sempat diterbangkan sebelum bengkel AURI itu tutup lantaran
peristiwa Madiun, "pesawat itu seluruhnya hasil disain dan
konstruksi kami sendiri," tutur Komodor Muda (U) Purnawirawan
Wiweko Supono.
Baru tahun 1953, kegiatan yang dirintis di Madiun itu diberi
wadah yang sedikit lebih keren di lapangan terbang AURI Husein
Sastranegara, Bandung, di bawah pimpinan Mayor (U) Nurtanio
Pringgoadisuryo, Komandan Depot Perawatan Teknik Udara AURI
perencanaan dan konstruksi pesawat terbang. Pada 1 Agustus 1954,
diterbangkanlah pesawat serba logam pertama yang berkursi
tunggal, hasil utakatik Nurtanio dengan ke-15 anak buahnya. Si
Kumbang, begitu nama pesawat terbang bermesin itu, direncanakan
sebagai pesawat terbang anti-gerilya (counter insurgency --
COIN) sesuai dengan situasi negara RI waktu itu. Bermotor ipsy
Queen 200 TK, Si Kumbang sekarang nongkrong sebagai monumen di
depan gedung utama PT Nurtanio.
Prestasi pembuatan pesawat terbang serba logam itu kemudian
melahirkan pesawat latih dasar seperti Belalang 85 yang kemudian
disempurnakan menjadi Belalang 90. Pesawat bermotor Continental
90 TK itu pernah berjasa melatih calon-calon penerbang Akademi
AU serta Pusat Penerbangan AD. Hampir berbarengan dengan
lahirnya Belalang (1958), terciptalah pula pesawat terbang
olahraga Kunang 25 bermesin mobil VW yang mudah dibeli di
pasaran. Pesawat ini pernah menunjukkan kemampuannya terbang
lintas Pulau Jawa, dan kini disimpan di Museum TNI/AU di
Jakarta. Produksi helikopter pun pernah dilakukan ahli-ahli
teknik AURI itu dengan menciptakan protatipe Kepik dan
Manyang--serta girokopter Kolentana.
BERDASARKAN pengalamannya sendin, pimpinan AURI pun mulai
melihat keluar negeri --di mana teknologi penerbangan sudah
berkembang dengan pesat. Akhir 1961, satuan yang dipimpin oleh
Nurtanio ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Persiapan
Industri Penerbangan (LAPIP) berdasarkan SK Menteri/KSAU
Suryadarma (alm) setahun sebelumnya. Tahun 1961 itu juga, LAPIP
mewakili pemerintah RI telen kontrak kerjasama dengan pabrik
pesawat terbang Polandia, Cekop. Kontrak itu meliputi kerjasama
dalam pembangunan pabrik pesawat terbang di PAU Husein
Sastranegara, pendidikan dan latihan bagi karyawan LAPIP, serta
pembelian lisensi pesawat Polandia PZL-104 Wilga. Seluruhnya
dibiayai dengan kredit pemerintah Polandia.
Itulah 'loncatan' pertama yang dilakukan AURI dalam pengembangan
industri pesawat udara di Indonesia. Pusat kegiatan AURI waktu
itu banyak yang sudah dipindahkan dari Husein Sastranegara ke
Halim Perdanakusuma, Jakarta. Sehingga hangar-hangar kosong di
Andir, termasuk modal dasar pihak AURI dalam pemanfaatan kredit
Polandia itu. Karena tak perlu lagi riset dan pengembangan proto
tipe baru, mulailah produksi besar-besaran pesawat terbang 4
kursi PZL-104 Wilga yang lebih dikenal dengan Gelatik.
Pesawat itu dipilih, karena tergolong pesawat STOL (short
lake-off and landing) sehingga tak memerlukan landasan yang
panjang. Sifat itu dianggap cocok dengan kondisi Indonesia waktu
itu. Di samping itu, sang Gelatik dianggap serba guna. Dapat
digunakan untuk angkutan penumpang dan barang (meski sangat
terbatas, tentunya), survei dan pemotretan udara, aplikasi di
bidang pertanian dan kehutanan, PPPK, serta olahraga dirgantara
(menarik pesawat layang atau terjun payung).
Marsekal Pertama (U) Nurtanio Pringgoadisuryo masih menyaksikan
anak buahnya menggunakan proyek Gelatik itu sebagai pijakan
latihan pertama ke arah produksi yang komersiil. Sayang 21 Maret
1966 perintis industri dirgantara Indonesia itu tewas dalam
kecelakaan pesawat terbang di daerah Kiara-condong, Bandung
Selatan. Untuk menghormati jasa-jasanya, LAPIP diubah namanya
menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio, disingkat Lipnur.
Sepeninggal Nurtanio, Lipnur hanya menghasilkan satu
prototipe-baru. Yakni LT-200, sejenis pesawat latih dasar yang
diarahkan ke pasaran dalam negeri dan Asean. Pesawat latih ini
sempat juga diproduksi secara massal, berdampingan dengan
Gelatik. Namun terutama sang Gelatik itulah yang sempat
memperkenalkan nama Lipnur ke luar.
Dewasa ini armada Satuan Udara Pertanian yang merupakan proyek
kerjasama Departemen Pertanian dan Hankam --khususnya
TNI/AU--masih diperkuat dengan beberapa pesawat Gelatik yang
bermotor baling-baling tunggal itu. Juga. beberapa perusahaan
perkebunan, perusahaan carter udara serta Lembaga Pendidikan
Perhubungan Udara (LPPU) di Curug memiliki beberapa pesawat
rancangan Polandia itu.
Kini, semenjak lebur ke dalam PT Industri Pesawat Terbang
Nurtanio, semua program Lipnur dulu berhenti dengan seketika.
Selusin pesawat Gelatik bercat kuning--beberapa di antaranya
dilengkapi motor penyemprot--diparkir berderet di rumput di
depan pabrik.
"Nggak ada pasaran," ujar seorang petugas Humas PT Nurtanio.
Juga di dalam pabrik, jigs (kerangka untuk merakit pesawat)
Gelatik dan LT-200 sudah disingkirkan dengan rapi di pojok ruang
Divisi General Workshop. Mau diapakan? "Akan kita hadiahkan
kepada ITB, untuk praktek," sahutnya datar.
MEMANG, di hangar-hangar AA bekas Lipnur itu jigs Gelatik dan
LT-200 dulu harus memberikan tempat kepada jigs pesawat terbang
C-212 Aviocar serta helikopter BO-105. Sebab PT Nurtanio yang
merupakan wadah baru bagi orang-orang eks-Lipnur dulu sampai
saat ini memang belum membangun hangar baru. Mungkin nanti,
kalau perakitan helikopter berikutnya, Puma, akan dimulai dalam
semester dua tahun ini oleh Divisi 'Rotary Wing' PT Nurtanio.
Kabarnya, lisensi helikopter pengangkut barang dan penumpang itu
sudah dibeli dari Aerospatiale, itu fabrikan pesawat terbang
supersonik Concorde di Perancis.
Lisensi BO-105 dan C-212 Aviocar sendiri sudah dibeli oleh
Pertamina di masa Ibnu Sutowo di tahun 1975, sebelum PT Nurtanio
- terbentuk. Lisensi pembuatan BO-105 ditandatangani dengan
Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB) dari Hamburg, lerman Barat.
Sedang lisensi C-212 Aviocar yang mirip pesawat pengangkut
militer Hercules, cuma lebih kecil, ditandatangani dengan pabrik
Construcciones Aeronauticas, S.A. (CASA) di Madrid, Spanyol.
Pesawat pengangkut 19 penumpang itu kabarnya dulu juga buatan
MBB di Jerman Barat. Tapi karena dipandang kurang menguntungkan
ketimbang pesawat MBB lainnya, lisensi C-212 Aviocar itu pun
dijual kepada CASA. Raja Spanyol Juan Carlos termasuk seorang
pemegang sahamnya. CASA selanjutnya menuai lisensi produksi
pesawat itu ke Indonesia.
Begitulah ceritanya, sampai produk dua negara Eropa Barat yang
sama-sama anggota NATO itu mulai dirakit di Bandung. Semenjak
diresmikan oleh Presiden Soeharto, 23 Agustus 1976, sudah 17
helikopter BO-105 itu selesai dirakit dan dijual dari Bandung,
serta 7 pesawat sayap tetap (fixed wing) Aviocar. Kecepatan
perakitannya adalah dua pesawat sayap berputar (rotary wing)
sebulan, serta sebuah pesawat sayap tetap. Para teknisi Nurtanio
yang semakin berpengalaman akan berusaha agar setiap bulan dapat
diproduksi dua helikopter dan dua pesawat sayap tetap. Ini untuk
mengejar sasaran produksi sebanyak 100 Aviocar dan 100 BO-105
yang akan selesai seluruhnya tahun 1980.
Prosesing yang dilakukan di Nurtanio sendiri masih terbatas pada
pemotongan lembaran aluminium berikut pemboran dan pengelingan
sesuai dengan 'cetakan' yang tersedia. Yang dirancang dan dibuat
sendiri oleh teknisi Nurtanio baru kursi pesawat Aviocar.
Sederhana--dari kerangka pipa, dengan jok tekstil tebal. "Tak
ada pabrik pesawat terbang di duma yang membuat kursi pesawatnya
sendiri, kecuali Nurtanio," kata seorang anggota direksi
Nurtanio bangga.
Tapi sementara itu, Dr Habibie menjuluki program perakitan
Aviocar dan BO-105-nya suatu "wahana untuk pengalihan
teknologi." Lantas apa bedanya dengan perakitan mobil dan motor
yang setelah 10 tahun tetap tak lebih daripada perluasan
pabrik-pabrik multinasional di Jepang dan Eropa?
Dr. B.J. Habibie mengakui, di luar negeri pabrik pesawat terbang
memang mulai dulu dengan penjajakan pasaran. Lalu riset, yang
dilanjutkan dengan pembuatan tiga prototip pesawat baru yang mau
dilemparkan ke pasaran. Satu prototip sengaja dibebani
gaya-gaya sampai rusak kalau perlu. Satu lagi diisi
instrumentasinya untuk diuji kemampuan berfungsi peralatan
avionics tersebut. Dan satu prototip lagi diterbangkan dengan
misi tertentu. Baru kalau ketiga prototip tersebut oke ban
produksi komersiil mulai berjalan. "Begitulah jalan yang
seharusnya, toh", tukas Habibie.
Tapi yang disarankannya untuk Nurtanio agak lain. "Kita nggak
bisa mulai dari penelitian pasaran dan sebagainya. Terlalu lama.
Karena itu saya sarankan pasarannya ditentukan saja, dan minta
pemerintah memproteksi pasaran itu. Lalu langsung ke tahap
produksi." Maksudnya, langsung saja produksi model yang sudah
jadi dari luar negeri, secara komersiil. Baginya itu justru
perlu untuk mengalihkan teknologi yang bakal dipakai dalam
pengembangan prototip Nurtanio - atau Habibie--sendiri.
ITULAH mungkin perbedaan cara kerja PT Nurtanio dengan Lapip
yang hanya memproduksi hasil rancangannya sendiri tempo hari.
Lapip baru pada tahap-tahap terakhir mau merakit prototip
Polandia lantaran paket kredit negara sosialis tersebut.
Masalahnya sekarang Apakah dengan cara mulai dari buntut itu,
kita memperoleh tipe-tipe pesawat yang betul-betul diperlukan
oleh konsumen di Indonesia? Dan berapa 'biaya proteksi
pemerintah' bagi pasaran Nurtanio itu?
"Sebenarnya kita lebih memerlukan pesawat-pesawat pertanian. Dan
untuk penerbangan perintis Twin-Otter buatan Kanada yang sudah
10 tahun dipakai Merpati lebih cocok," ucap seorang purnawirawan
AURI. Namun pendapat itu berbeda dengan konsep Habibie. Ia
condong menomersatukan pesawat terbang dan helikopter yang
"dapat memenuhi kebutuhan militer maupun sipil untuk penumpang
maupun barang untuk perang maupun pembangunan." Itu sebabnya
dia menyarankan agar penerbangan perintis tak menggunakan
Twin-Otter lagi, melainkan Aviocar. Alasannya: "Twin Otter tak
dapat memenuhi fungsi sebagai pesawat barang sebab tak punya
pintu ventral di pantatnya. Berbeda dengan Aviocar yang bisa
mendrop barang dengan payung sementara terbang. Kan belum tentu
kita dapat mendarat di daerah-daerah terpcnii?"
Prinsip "Dwifungsi" itu pulalah yang menjadi pertimbangannya
dalam memilih helikopter BO-105. Seraya berbicara soal
bagaimana industri penerbangan harus menjawab tantangan skenario
perang yang disusun para jenderal dia mengingatkan pentingnya
helikopter bagi "Air mobility" Maksudnya "kelincahan
menggerakkan angkatan bersenjata dari satu tempat ke tempat lain
dalam kondisi yang bagaimana pun pada bulan apapun sepanjang
tahun."
Untuk itu, dibutuhkan tiga macam helikopter satu helikopter
besar untuk mengangkut pasukan, satu helikopter pandu dan satu
helikopter pengawal lengkap dengan persenjataan. "Nah, BO-105
dapat dipakai sebagai helikopter pandu dan pengawal. Sedang
helikopter Puma--yang akan mulai dirakit Nurtanio tahun ini
juga--untuk transport" ujar Habibie. Dia menambahkan bahwa Puma
yang sama juga dapat dipakai dalam pembangunan (konstruksi)
"BO-105 yang sama dapat dipakai untuk industri minyak geologi
perkebunan dan keperluan non-militer lainnya."
Dilihat dari daftar pembelinya, BO-105 buatan Nurtanio itu
memang lebih banyak dibeli untuk kepentingan ABRI. Berbeda
dengan Aviocar yang lebih banyak digunakan dalam penerbangan
perintis dan Pelita (Pertamina). Meskipun ada juga dua Aviocar
yang dibeli untuk TNI/AU sendiri. Nah, "untuk melayani langganan
saya itulah," Habibie sudah memikirkan pendirian divisi baru di
samping ketiga divisi yang sudah ada di Nurtanio. Yakni "Divisi
Sistem Persenjataan."Ujar ahli aeronautika yang juga mampu
menyebut semua sistem senjata NATO di luar kepala. Misalnya ada
tentara yang bilang mau beli helikopter BO-105 dan tanya
senjatanya mana? Pakai roket apa? Apakah Sura? atau Snia?
Makanya saya bilang oke deh, saya akan bikin divisi sistem
persenjataan.
Rencananya dari roket helikopter sampai roket jarak sedang
sajalah. Paling banter untuk menutup Selat Malaka yang 200 km
itu. Dan dari sistem persenjataan kita bisa bergerak ke satelit.
Bantu-bantu satelit Palapa begitulah angan-angan Habibie, yang
diam-diam sudah mulai dijuluki 'Wernher von Braun Indonesia'.
Namun sampai saat ini dia belum mengajukan rencana konkrit untuk
mendirikan divisi baru itu. Walaupun menurut Habibie "dari pihak
Angkatan Bersenjata sudah menawarkan lokasi di daerah Proyek
Menang."
HIDUP berkat proteksi sepenuhnya dari pemerintah Habibie
tampaknya tak begitu risau menjual produk-produk Nurtanio itu di
dalam negeri. Dari sudut penjualan itu pun Habibie sangat
mementingkan pasaran militer. Katanya Bagi militer yang
menentukan pada pesawat terbang adalah misi militernya. Militer
tidak melihat mahal-murahnya tapi mission-nya. "Sebab apa
gunanya lebih murah 10% pada waktu tender tapi setelah perang
kita kalah? Tak ada gunanya, kan?"
Sebaliknya, untuk keperluan sipil justru biaya itu yang penting.
Terutama biaya operasi langsung (direct opertinest). Ongkos
eksploitasi itu tak selalu ditentukan oleh harga pembelian. Tapi
juga biaya suku cadang (onderdil) biaya agar pesawat itu bekerja
dengan baik Serta biaya perawatan setelah dijual. Jadi mungkin
saja ada pesawat yang harga pembeliannya mahal, tapi biaya
eksploitasinya lebih rendah daripada pesawat yang harga
pembeliannya murah. Atau "Ada orang yang menjual pesawatnya
dengan harga rendah, tapi dia tarik kembali duitnya dari biaya
onderdil," kata Habibie.
Toh dlam memberi proteksi kepada Nurtanio itu beban sudah mulai
terasa pada selisih harga penjualan Aviocar di Bandung dibanding
dengan di Madrid. Di Bandung, menurut seorang staf Dirut bidang
pemasaran, sebuah pesawat A-212 Aviocar harganya sekitar $AS175
juta Tapi kalau mau langsung impor dari Madrid kabarnya cuma
$AS800 ribu, tanpa suku cadang. Jadi kalau pakai suku cadang
akan jatuh di seputar $AS 1 juta kira-kira sama deh dengan Twin
otter" kata sebuah sumber di Bandung. Ia kemudian menunjuk pada
perakitan mobil di sini yang harganya bisa dua kali dibanding
pasaran Malaysia misalnya.
Di samping itu tentunya masih perlu diselidiki apakah betul
pergantian standar penerbangan perintis dari Twin Otter ke
Aviocar dalam jangka panjang dapat ditebus oleh biaya onderdil
yang murah serta servis dan tutun mesin (overaul) C-212 di
Bandung.
Seorang ahli teknik penerbangan mengharapkan: "Janganlah
kelemahan kontrak LAPIP dengan Polandia tempo hari terulang lagi
dengan lisensi C.ASA ini." Maksudnya, dulu Lapip/Lipnur mau saja
membeli lisensi PZL-104 Wilga ("Gelatik") tanpa menguji pesawat
itu secermat-cermatnya terlebih dahulu. Ternyata, keunggulan
Gelatik dalam penyemprotan dari udara tidaklah sehebat apa yang
dinyatakan Cekop. Kabut pestisida yang disemprotkan sambil
terbang rendah, hanya jatuh di atas rumpun tanaman. Karena
konstruksi sayapnya yang tinggi, obat semprot itu 'tertiup' ke
atas dan tidak meresap di bawah dedaunan tempat serangga hama
bertengger. Di samping itu, roda pendaratan depan yang ditunjang
kaki-kaki yang panjang sering patah kalau si penerbang tak dapat
serentak mendaratkan roda depan dan roda belakang di landasan.
Berbagai kelemahan konstruksi Gelatik itu memang baru ketahuan
setelah bertahun-tahun operasi untuk menunjang sektor pertanian.
Makanya, ada saran agar Pemerintah, khususnya Dirjen Industri
Logam dan Mesin, mengkaji secara mendalam setiap jenis pesawat
terbang baru yang mau diperkenalkan ke Indonesia. Sementara
itu siapa tahu ciptaan Lapip/Lipnur sendiri masih bisa
dikembangkan. Begitu pula Gelatik yang kini sudah lebih jelas
diketahui kelemahannya.
Habibie sendiri dan kawan-kawannya, yang tekadnya kembali
bekerja di Indonesia mengagumkan, agaknya kelak perlu lebih
memperhatikan pesawat pertanian. Itu termasuk salah satu impian
almarhum Nurtanio Pringgoadisuryo serta rekan-rekannya di AURI,
bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini