Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Merakit-Rakit Dahulu, Menjual ...

Pau hussein sastranegara di bandung kedatangan tamu dari muangthai. mereka mengunjungi pabrik pt. industri pesawat terbang murtanio yang menempati 8 hanggar disisi utara kompleks pau. (eb)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGKALAN Angkatan Udara Hussein Sastranegara di Bandung baru-baru ini kedatangan banyak tamu. Helilopter, pesawat terbang F-27 punya Pertamina dan pesawat lainnya mendarat dan lepas landas di lapangan militer yang biasanya sepi itu. Persiapan latihan perang-perangan ? Ternyata tidak. Sasaran kunjungan para tamu -- ada jenderal, komodor, diplomat dalam dan luar negeri bulcan instalasi TNI/AU yang ada di situ. Melainkan pabrik PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio yang menempati 8 hangar di sisi utara kompleks PAU tersebut. Terselip dalam agenda kunjungan PM Muangthai Kriangsak ke Indonesia, beberapa menteri dan pimpinan AB Muangthai sempat melihat-lihat kegiatan Nurtanio. Diantar oleh Dir-Ut Nurtanio, Dr. B.. Habibie serta Preskom Nurtanio, Marsekal (U) Saleh Basarah, para tamu penting dari Muangthai itu melihat dan menaiki heli B0105 dan pesawat Aviocar C-212 yang sedang dirakit. Kunjungan delegasi Muangthai beberapa hari kemudian disusul dengan kunjungan tim DPA dipimpin oleh ketuanya, Wilopo SH. Lalu, minggu lalu Dir-Ut PT Merpati Nusantara, Marsekal (U) Ramli beserta stafnya datang sendiri ke Nurtanio menerima pesawat Aviocar kedua yang dibeli pemerintah buat Merpati. BERBAGAI kegiatan itu mungkin lebih berbau promosi. Meski tak ayal karyawan produksi pun ada yang terpaksa lembur hari Sabtu dan Minggu yang resminya libur bagi Nurtanio. Kesibukan itu bisa lebih meningkat lagi April nanti. Sebab menurut rencana, Nurtanio akan mengadakan demonstrasi penembakan dari helikopter BO-105 yang dilengkapi roket dan mitralyur. "Pejabat teras Hankam negara Asean akan kami undang semua," kata Dr Habibie. Begitulah potret kesibukan PT Nurtanio sekarang, suatu penjelmaan yang radikal dari Lipnur (Lembaga Industri Penerhangan Nurtanio) milik TNI/AU yang parungan dengan Divisi Teknologi Maju Pertamina dua tahun lalu. Lipnur sendiri -- yang kini sudah lebur secara tuntas ke dalam PT Nurtanio -- sebelumnya boleh dianggap sebagai puncak prestasi orang-orang AURI dalam merintis industri penerbangan di Indonesia. Sejarahnya sebenarnya sudah mulai 32 tahun lalu, di sebuah bekas gudang kapuk di Magetan, dekat Madiun. Di sanalah, di tengah blokade Belanda, Biro Rencana dan Konstruksi TRI-Udara yang dimotori oleh pemuda Wiweko Supono (kini Dir-Ut Garuda) dan almarhum Nurtanio Pringgoadisuryo berhasil membuat beberapa pesawat layang jenis Zogling. Sambil bereksperimen, memancing minat dirgantara di kalangan pemuda Indonesia. Dari pesawat layang tak bermotor meningkat ke pesawat terbang bermesin. Sebuah sepeda motor Harley Davidson dipreteli mesinnya, dan dengan lapisan badan dari kain blacu tenunan dalam negeri lahirlah pesawat terbang bermesin pertama buatan Indonesia. Pesawat udara itu mula-rnula dibap.is dengan tanda WEL-X tapi kemudian dikenal dengan nomor registrasi RI-X. Beberapa kali sempat diterbangkan sebelum bengkel AURI itu tutup lantaran peristiwa Madiun, "pesawat itu seluruhnya hasil disain dan konstruksi kami sendiri," tutur Komodor Muda (U) Purnawirawan Wiweko Supono. Baru tahun 1953, kegiatan yang dirintis di Madiun itu diberi wadah yang sedikit lebih keren di lapangan terbang AURI Husein Sastranegara, Bandung, di bawah pimpinan Mayor (U) Nurtanio Pringgoadisuryo, Komandan Depot Perawatan Teknik Udara AURI perencanaan dan konstruksi pesawat terbang. Pada 1 Agustus 1954, diterbangkanlah pesawat serba logam pertama yang berkursi tunggal, hasil utakatik Nurtanio dengan ke-15 anak buahnya. Si Kumbang, begitu nama pesawat terbang bermesin itu, direncanakan sebagai pesawat terbang anti-gerilya (counter insurgency -- COIN) sesuai dengan situasi negara RI waktu itu. Bermotor ipsy Queen 200 TK, Si Kumbang sekarang nongkrong sebagai monumen di depan gedung utama PT Nurtanio. Prestasi pembuatan pesawat terbang serba logam itu kemudian melahirkan pesawat latih dasar seperti Belalang 85 yang kemudian disempurnakan menjadi Belalang 90. Pesawat bermotor Continental 90 TK itu pernah berjasa melatih calon-calon penerbang Akademi AU serta Pusat Penerbangan AD. Hampir berbarengan dengan lahirnya Belalang (1958), terciptalah pula pesawat terbang olahraga Kunang 25 bermesin mobil VW yang mudah dibeli di pasaran. Pesawat ini pernah menunjukkan kemampuannya terbang lintas Pulau Jawa, dan kini disimpan di Museum TNI/AU di Jakarta. Produksi helikopter pun pernah dilakukan ahli-ahli teknik AURI itu dengan menciptakan protatipe Kepik dan Manyang--serta girokopter Kolentana. BERDASARKAN pengalamannya sendin, pimpinan AURI pun mulai melihat keluar negeri --di mana teknologi penerbangan sudah berkembang dengan pesat. Akhir 1961, satuan yang dipimpin oleh Nurtanio ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) berdasarkan SK Menteri/KSAU Suryadarma (alm) setahun sebelumnya. Tahun 1961 itu juga, LAPIP mewakili pemerintah RI telen kontrak kerjasama dengan pabrik pesawat terbang Polandia, Cekop. Kontrak itu meliputi kerjasama dalam pembangunan pabrik pesawat terbang di PAU Husein Sastranegara, pendidikan dan latihan bagi karyawan LAPIP, serta pembelian lisensi pesawat Polandia PZL-104 Wilga. Seluruhnya dibiayai dengan kredit pemerintah Polandia. Itulah 'loncatan' pertama yang dilakukan AURI dalam pengembangan industri pesawat udara di Indonesia. Pusat kegiatan AURI waktu itu banyak yang sudah dipindahkan dari Husein Sastranegara ke Halim Perdanakusuma, Jakarta. Sehingga hangar-hangar kosong di Andir, termasuk modal dasar pihak AURI dalam pemanfaatan kredit Polandia itu. Karena tak perlu lagi riset dan pengembangan proto tipe baru, mulailah produksi besar-besaran pesawat terbang 4 kursi PZL-104 Wilga yang lebih dikenal dengan Gelatik. Pesawat itu dipilih, karena tergolong pesawat STOL (short lake-off and landing) sehingga tak memerlukan landasan yang panjang. Sifat itu dianggap cocok dengan kondisi Indonesia waktu itu. Di samping itu, sang Gelatik dianggap serba guna. Dapat digunakan untuk angkutan penumpang dan barang (meski sangat terbatas, tentunya), survei dan pemotretan udara, aplikasi di bidang pertanian dan kehutanan, PPPK, serta olahraga dirgantara (menarik pesawat layang atau terjun payung). Marsekal Pertama (U) Nurtanio Pringgoadisuryo masih menyaksikan anak buahnya menggunakan proyek Gelatik itu sebagai pijakan latihan pertama ke arah produksi yang komersiil. Sayang 21 Maret 1966 perintis industri dirgantara Indonesia itu tewas dalam kecelakaan pesawat terbang di daerah Kiara-condong, Bandung Selatan. Untuk menghormati jasa-jasanya, LAPIP diubah namanya menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio, disingkat Lipnur. Sepeninggal Nurtanio, Lipnur hanya menghasilkan satu prototipe-baru. Yakni LT-200, sejenis pesawat latih dasar yang diarahkan ke pasaran dalam negeri dan Asean. Pesawat latih ini sempat juga diproduksi secara massal, berdampingan dengan Gelatik. Namun terutama sang Gelatik itulah yang sempat memperkenalkan nama Lipnur ke luar. Dewasa ini armada Satuan Udara Pertanian yang merupakan proyek kerjasama Departemen Pertanian dan Hankam --khususnya TNI/AU--masih diperkuat dengan beberapa pesawat Gelatik yang bermotor baling-baling tunggal itu. Juga. beberapa perusahaan perkebunan, perusahaan carter udara serta Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara (LPPU) di Curug memiliki beberapa pesawat rancangan Polandia itu. Kini, semenjak lebur ke dalam PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, semua program Lipnur dulu berhenti dengan seketika. Selusin pesawat Gelatik bercat kuning--beberapa di antaranya dilengkapi motor penyemprot--diparkir berderet di rumput di depan pabrik. "Nggak ada pasaran," ujar seorang petugas Humas PT Nurtanio. Juga di dalam pabrik, jigs (kerangka untuk merakit pesawat) Gelatik dan LT-200 sudah disingkirkan dengan rapi di pojok ruang Divisi General Workshop. Mau diapakan? "Akan kita hadiahkan kepada ITB, untuk praktek," sahutnya datar. MEMANG, di hangar-hangar AA bekas Lipnur itu jigs Gelatik dan LT-200 dulu harus memberikan tempat kepada jigs pesawat terbang C-212 Aviocar serta helikopter BO-105. Sebab PT Nurtanio yang merupakan wadah baru bagi orang-orang eks-Lipnur dulu sampai saat ini memang belum membangun hangar baru. Mungkin nanti, kalau perakitan helikopter berikutnya, Puma, akan dimulai dalam semester dua tahun ini oleh Divisi 'Rotary Wing' PT Nurtanio. Kabarnya, lisensi helikopter pengangkut barang dan penumpang itu sudah dibeli dari Aerospatiale, itu fabrikan pesawat terbang supersonik Concorde di Perancis. Lisensi BO-105 dan C-212 Aviocar sendiri sudah dibeli oleh Pertamina di masa Ibnu Sutowo di tahun 1975, sebelum PT Nurtanio - terbentuk. Lisensi pembuatan BO-105 ditandatangani dengan Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB) dari Hamburg, lerman Barat. Sedang lisensi C-212 Aviocar yang mirip pesawat pengangkut militer Hercules, cuma lebih kecil, ditandatangani dengan pabrik Construcciones Aeronauticas, S.A. (CASA) di Madrid, Spanyol. Pesawat pengangkut 19 penumpang itu kabarnya dulu juga buatan MBB di Jerman Barat. Tapi karena dipandang kurang menguntungkan ketimbang pesawat MBB lainnya, lisensi C-212 Aviocar itu pun dijual kepada CASA. Raja Spanyol Juan Carlos termasuk seorang pemegang sahamnya. CASA selanjutnya menuai lisensi produksi pesawat itu ke Indonesia. Begitulah ceritanya, sampai produk dua negara Eropa Barat yang sama-sama anggota NATO itu mulai dirakit di Bandung. Semenjak diresmikan oleh Presiden Soeharto, 23 Agustus 1976, sudah 17 helikopter BO-105 itu selesai dirakit dan dijual dari Bandung, serta 7 pesawat sayap tetap (fixed wing) Aviocar. Kecepatan perakitannya adalah dua pesawat sayap berputar (rotary wing) sebulan, serta sebuah pesawat sayap tetap. Para teknisi Nurtanio yang semakin berpengalaman akan berusaha agar setiap bulan dapat diproduksi dua helikopter dan dua pesawat sayap tetap. Ini untuk mengejar sasaran produksi sebanyak 100 Aviocar dan 100 BO-105 yang akan selesai seluruhnya tahun 1980. Prosesing yang dilakukan di Nurtanio sendiri masih terbatas pada pemotongan lembaran aluminium berikut pemboran dan pengelingan sesuai dengan 'cetakan' yang tersedia. Yang dirancang dan dibuat sendiri oleh teknisi Nurtanio baru kursi pesawat Aviocar. Sederhana--dari kerangka pipa, dengan jok tekstil tebal. "Tak ada pabrik pesawat terbang di duma yang membuat kursi pesawatnya sendiri, kecuali Nurtanio," kata seorang anggota direksi Nurtanio bangga. Tapi sementara itu, Dr Habibie menjuluki program perakitan Aviocar dan BO-105-nya suatu "wahana untuk pengalihan teknologi." Lantas apa bedanya dengan perakitan mobil dan motor yang setelah 10 tahun tetap tak lebih daripada perluasan pabrik-pabrik multinasional di Jepang dan Eropa? Dr. B.J. Habibie mengakui, di luar negeri pabrik pesawat terbang memang mulai dulu dengan penjajakan pasaran. Lalu riset, yang dilanjutkan dengan pembuatan tiga prototip pesawat baru yang mau dilemparkan ke pasaran. Satu prototip sengaja dibebani gaya-gaya sampai rusak kalau perlu. Satu lagi diisi instrumentasinya untuk diuji kemampuan berfungsi peralatan avionics tersebut. Dan satu prototip lagi diterbangkan dengan misi tertentu. Baru kalau ketiga prototip tersebut oke ban produksi komersiil mulai berjalan. "Begitulah jalan yang seharusnya, toh", tukas Habibie. Tapi yang disarankannya untuk Nurtanio agak lain. "Kita nggak bisa mulai dari penelitian pasaran dan sebagainya. Terlalu lama. Karena itu saya sarankan pasarannya ditentukan saja, dan minta pemerintah memproteksi pasaran itu. Lalu langsung ke tahap produksi." Maksudnya, langsung saja produksi model yang sudah jadi dari luar negeri, secara komersiil. Baginya itu justru perlu untuk mengalihkan teknologi yang bakal dipakai dalam pengembangan prototip Nurtanio - atau Habibie--sendiri. ITULAH mungkin perbedaan cara kerja PT Nurtanio dengan Lapip yang hanya memproduksi hasil rancangannya sendiri tempo hari. Lapip baru pada tahap-tahap terakhir mau merakit prototip Polandia lantaran paket kredit negara sosialis tersebut. Masalahnya sekarang Apakah dengan cara mulai dari buntut itu, kita memperoleh tipe-tipe pesawat yang betul-betul diperlukan oleh konsumen di Indonesia? Dan berapa 'biaya proteksi pemerintah' bagi pasaran Nurtanio itu? "Sebenarnya kita lebih memerlukan pesawat-pesawat pertanian. Dan untuk penerbangan perintis Twin-Otter buatan Kanada yang sudah 10 tahun dipakai Merpati lebih cocok," ucap seorang purnawirawan AURI. Namun pendapat itu berbeda dengan konsep Habibie. Ia condong menomersatukan pesawat terbang dan helikopter yang "dapat memenuhi kebutuhan militer maupun sipil untuk penumpang maupun barang untuk perang maupun pembangunan." Itu sebabnya dia menyarankan agar penerbangan perintis tak menggunakan Twin-Otter lagi, melainkan Aviocar. Alasannya: "Twin Otter tak dapat memenuhi fungsi sebagai pesawat barang sebab tak punya pintu ventral di pantatnya. Berbeda dengan Aviocar yang bisa mendrop barang dengan payung sementara terbang. Kan belum tentu kita dapat mendarat di daerah-daerah terpcnii?" Prinsip "Dwifungsi" itu pulalah yang menjadi pertimbangannya dalam memilih helikopter BO-105. Seraya berbicara soal bagaimana industri penerbangan harus menjawab tantangan skenario perang yang disusun para jenderal dia mengingatkan pentingnya helikopter bagi "Air mobility" Maksudnya "kelincahan menggerakkan angkatan bersenjata dari satu tempat ke tempat lain dalam kondisi yang bagaimana pun pada bulan apapun sepanjang tahun." Untuk itu, dibutuhkan tiga macam helikopter satu helikopter besar untuk mengangkut pasukan, satu helikopter pandu dan satu helikopter pengawal lengkap dengan persenjataan. "Nah, BO-105 dapat dipakai sebagai helikopter pandu dan pengawal. Sedang helikopter Puma--yang akan mulai dirakit Nurtanio tahun ini juga--untuk transport" ujar Habibie. Dia menambahkan bahwa Puma yang sama juga dapat dipakai dalam pembangunan (konstruksi) "BO-105 yang sama dapat dipakai untuk industri minyak geologi perkebunan dan keperluan non-militer lainnya." Dilihat dari daftar pembelinya, BO-105 buatan Nurtanio itu memang lebih banyak dibeli untuk kepentingan ABRI. Berbeda dengan Aviocar yang lebih banyak digunakan dalam penerbangan perintis dan Pelita (Pertamina). Meskipun ada juga dua Aviocar yang dibeli untuk TNI/AU sendiri. Nah, "untuk melayani langganan saya itulah," Habibie sudah memikirkan pendirian divisi baru di samping ketiga divisi yang sudah ada di Nurtanio. Yakni "Divisi Sistem Persenjataan."Ujar ahli aeronautika yang juga mampu menyebut semua sistem senjata NATO di luar kepala. Misalnya ada tentara yang bilang mau beli helikopter BO-105 dan tanya senjatanya mana? Pakai roket apa? Apakah Sura? atau Snia? Makanya saya bilang oke deh, saya akan bikin divisi sistem persenjataan. Rencananya dari roket helikopter sampai roket jarak sedang sajalah. Paling banter untuk menutup Selat Malaka yang 200 km itu. Dan dari sistem persenjataan kita bisa bergerak ke satelit. Bantu-bantu satelit Palapa begitulah angan-angan Habibie, yang diam-diam sudah mulai dijuluki 'Wernher von Braun Indonesia'. Namun sampai saat ini dia belum mengajukan rencana konkrit untuk mendirikan divisi baru itu. Walaupun menurut Habibie "dari pihak Angkatan Bersenjata sudah menawarkan lokasi di daerah Proyek Menang." HIDUP berkat proteksi sepenuhnya dari pemerintah Habibie tampaknya tak begitu risau menjual produk-produk Nurtanio itu di dalam negeri. Dari sudut penjualan itu pun Habibie sangat mementingkan pasaran militer. Katanya Bagi militer yang menentukan pada pesawat terbang adalah misi militernya. Militer tidak melihat mahal-murahnya tapi mission-nya. "Sebab apa gunanya lebih murah 10% pada waktu tender tapi setelah perang kita kalah? Tak ada gunanya, kan?" Sebaliknya, untuk keperluan sipil justru biaya itu yang penting. Terutama biaya operasi langsung (direct opertinest). Ongkos eksploitasi itu tak selalu ditentukan oleh harga pembelian. Tapi juga biaya suku cadang (onderdil) biaya agar pesawat itu bekerja dengan baik Serta biaya perawatan setelah dijual. Jadi mungkin saja ada pesawat yang harga pembeliannya mahal, tapi biaya eksploitasinya lebih rendah daripada pesawat yang harga pembeliannya murah. Atau "Ada orang yang menjual pesawatnya dengan harga rendah, tapi dia tarik kembali duitnya dari biaya onderdil," kata Habibie. Toh dlam memberi proteksi kepada Nurtanio itu beban sudah mulai terasa pada selisih harga penjualan Aviocar di Bandung dibanding dengan di Madrid. Di Bandung, menurut seorang staf Dirut bidang pemasaran, sebuah pesawat A-212 Aviocar harganya sekitar $AS175 juta Tapi kalau mau langsung impor dari Madrid kabarnya cuma $AS800 ribu, tanpa suku cadang. Jadi kalau pakai suku cadang akan jatuh di seputar $AS 1 juta kira-kira sama deh dengan Twin otter" kata sebuah sumber di Bandung. Ia kemudian menunjuk pada perakitan mobil di sini yang harganya bisa dua kali dibanding pasaran Malaysia misalnya. Di samping itu tentunya masih perlu diselidiki apakah betul pergantian standar penerbangan perintis dari Twin Otter ke Aviocar dalam jangka panjang dapat ditebus oleh biaya onderdil yang murah serta servis dan tutun mesin (overaul) C-212 di Bandung. Seorang ahli teknik penerbangan mengharapkan: "Janganlah kelemahan kontrak LAPIP dengan Polandia tempo hari terulang lagi dengan lisensi C.ASA ini." Maksudnya, dulu Lapip/Lipnur mau saja membeli lisensi PZL-104 Wilga ("Gelatik") tanpa menguji pesawat itu secermat-cermatnya terlebih dahulu. Ternyata, keunggulan Gelatik dalam penyemprotan dari udara tidaklah sehebat apa yang dinyatakan Cekop. Kabut pestisida yang disemprotkan sambil terbang rendah, hanya jatuh di atas rumpun tanaman. Karena konstruksi sayapnya yang tinggi, obat semprot itu 'tertiup' ke atas dan tidak meresap di bawah dedaunan tempat serangga hama bertengger. Di samping itu, roda pendaratan depan yang ditunjang kaki-kaki yang panjang sering patah kalau si penerbang tak dapat serentak mendaratkan roda depan dan roda belakang di landasan. Berbagai kelemahan konstruksi Gelatik itu memang baru ketahuan setelah bertahun-tahun operasi untuk menunjang sektor pertanian. Makanya, ada saran agar Pemerintah, khususnya Dirjen Industri Logam dan Mesin, mengkaji secara mendalam setiap jenis pesawat terbang baru yang mau diperkenalkan ke Indonesia. Sementara itu siapa tahu ciptaan Lapip/Lipnur sendiri masih bisa dikembangkan. Begitu pula Gelatik yang kini sudah lebih jelas diketahui kelemahannya. Habibie sendiri dan kawan-kawannya, yang tekadnya kembali bekerja di Indonesia mengagumkan, agaknya kelak perlu lebih memperhatikan pesawat pertanian. Itu termasuk salah satu impian almarhum Nurtanio Pringgoadisuryo serta rekan-rekannya di AURI, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus