Armada Pertamina perlu diremajakan. Kini dipesan 17 kapal, dan hanya empat yang dibuat di dalam negeri. Pendanaannya? KEBUTUHAN bahan bakar minyak (BBM), yang meningkat dari tahun ke tahun, menyebabkan armada tanker Pertamina tampak kecil. Kendati dengan 170 kapal -- 60 di antaranya adalah milik sendiri -itu pun masih kurang. Pertamina memerlukan tambahan 17 kapal lagi, yang pengadaannya melibatkan 15 perusahaan swasta, termasuk Bimantara dan Humpuss. Pengadaan itu diatur melalui kontrak sewa Long Term Time Charter (LTTC), yang ditandatangani Rabu pekan lalu oleh Direktur Utama Pertamina Faisal Abda'oe dan pimpinan 15 perusahaan pelayaran nasional. Sesuai kontrak, 17 tanker yang berbobot antara 1.500 dan 35.000 DWT itu akan disewa selama 12 tahun oleh Pertamina. Kelak, masa sewa bisa diperpanjang tiga tahun jika kondisi kapal-kapal tersebut masih memadai. Menurut Widodo Pangestu, Direktur Muda Perkapalan-KomunikasiKebandaran Pertamina, kebijaksanaan menyewa dilakukan karena sebagian besar kapal yang dikuasai Pertamina sudah tua. Maka, untuk mengamankan suplai BBM di dalam negeri -yang tahun 1991 ini diperkirakan mencapai 36 juta kiloliter --mungkin saja "Kami membuat kontrak sewa kapal yang berikutnya." Namun, sebagai BUMN terkaya, mengapa Pertamina tidak membeli tanker saja? Ternyata, Pertamina mempunyai perhitungan ekonomis. Menurut Direktur Perkapalan Kartiyoso, selain perlu biaya perawatan yang cukup mahal, tanker yang dibeli akan jadi masalah di kemudian hari. Jika terjadi restrukturisasi pegawai, misalnya. Tenaga dari sektor ini sulit dipindahkan ke direktorat lain. Lagi pula, "Perkapalan kan bukan sektor usaha kami yang utama," katanya. Dari 17 kapal itu, bisa dirinci sebagai berikut. Kapal berbobot mati 1.500 dan 3.500 DWT masing-masing disewa tiga buah, 6.500 DWT dan 17.500 DWT masing-masing dua, dan yang 35.000 DWT tujuh buah. Grup Humpuss dan Bimantara (diwakili oleh PT Samudra Petrindo Asia) masing-masing mendapat order dua kapal berbobot mati 35.000 DWT. Bambang Trihatmojo, bos grup Bimantara dalam Business News menyatakan dua kapal itu akan dibuat di Jepang dengan total biaya US$ 70 juta. Ia tidak memberi gambaran, dana itu akan diperoleh dari mana. Namun, menurut penasihat perkapalan Bimantara Tim Cottew, investasi itu diperkirakan akan tertutup pada akhir masa kontrak, 15 tahun kemudian. Tidak jelas bagaimana perhitungan Cottew. Yang pasti, dari sewa maksimum selama 15 tahun (tarifnya 14,5 dolar per ton per bulan) sebuah kapal milik Humpuss atau Bimantara bisa mendatangkan pendapatan 91 juta dolar lebih. Kelihatannya, menyewakan kapal memang nyaman, tapi persoalannya tidak ringan. Untuk pengadaan kapal berbobot di bawah 10 ribu ton, para pengusaha itu mau tidak mau harus membeli dari galangan kapal di dalam negeri. Harganya berkisar antara 1.200 dolar dan 1.500 dolar per ton. Atau sekitar 200-500 dolar lebih mahal daripada kapal buatan luar negeri. Kendala lain adalah pendanaan. Soalnya, sebagai proyek yang berhubungan dengan BUMN, pengadaan tanker ini juga sangat bergantung persetujuan Tim Keppres 39. "Kalau Tim menolak, apa mau dikata?" kata Irawan Satjadipura, Direktur Pelaksana PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari, yang mendapat order membuat tiga kapal. Akankah Tim Keppres menyetujui proyek pengadaan kapal ini? "Saya baru akan sowan dulu pada Pak Radius Prawiro sebagai Ketua Tim Keppres 39," kata Subekti Ismaun, Dirut Bapindo. Menurut dia, bank yang dipimpinnya akan membiayai 60% dari total biaya pembuatan kapal tanker di dalam negeri. Budi Kusumah dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini