Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tantangan Berat Suku Bunga Rendah, Dosen dan Peneliti UII: Apakah Indonesia Terjebak dalam Ilusi Stabilitas?

Bank Indonesia turunkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen. Dosen dan peneliti UII sebut bunga ini bikin Indonesia terjebak dalam ilusi stabilitas?

17 Januari 2025 | 09.14 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Listya Endang Artiani, Dosen dan Peneliti, Universitas Islam Indonesia. Dok.Listya Endang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur pada 14-15 Januari 2025 menjadi tonggak penting sejarah kebijakan moneter Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak Oktober 2023, BI mempertahankan suku bunga acuan di angka 6-6,25 persen usai menurunkannya dari 6,25 persen pada September 2024 menjadi 6 persen. Langkah ini diambil untuk mengatasi inflasi inti yang bertahan di atas target 3±1 persen, yaitu 4,2 persen pada akhir kuartal III 2024. Di sisi lain, nilai tukar Rupiah menghadapi tekanan hebat karena melemah mencapai Rp16.019 per USD pada 16 Desember 2024 hingga Rp16.311 per USD pada 15 Januari 2025.

Namun, menurut Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, penurunan suku bunga ini bukan tanpa risiko. Secara historis, BI pernah menghadapi dilema seperti ini pada 2015-2016 ketika suku bunga acuan diturunkan dari 7,5 menjadi 4,75 persen. Meskipun langkah tersebut berhasil mendongkrak pertumbuhan kredit hingga 8,2 persen, inflasi Indonesia melonjak hingga 4,75 persen yang melebihi target bank sentral saat itu.

"Pengalaman ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter longgar dapat menjadi pedang bermata dua: memberikan dorongan pada konsumsi dan investasi, tetapi berisiko menciptakan tekanan inflasi baru yang dapat menggagalkan upaya stabilisas ekonomi," kata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo.co, Rabu,15 Januari 2024.

Pada konteks saat ini, penurunan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen memiliki dua sisi yang saling tarik menarik. Di satu sisi, kebijakan ini diharapkan mampu menggerakkan sektor riil yang stagnan, mempercepat pemulihan konsumsi rumah tangga, dan mendorong pembiayaan bagi sektor usaha kecil dan menengah (UMKM).

Menurut Listya, data menunjukkan bahwa kredit perbankan hanya tumbuh 7,5 persen pada 2024. Angka ini menunjukkan kredit perbankan berada jauh di bawah rata-rata pertumbuhan 9-10 persen pada periode sebelum pandemi. 

Kendati demikian, di sisi lain, kebijakan ini menghadirkan risiko arus keluar modal asing akibat spread suku bunga yang semakin kecil dibandingkan negara maju, seperti Amerika Serikat. Sebab, Federal Reserve mempertahankan suku bunga di kisaran 5,25-5,5 persen.

Listya Endang mengungkapkan, dalam dinamika ini, pertanyaan besar muncul: apakah pelonggaran moneter ini cukup untuk membangkitkan ekonomi domestik tanpa memicu inflasi yang berlebihan? Ataukah langkah ini hanya memberikan stabilitas semu yang rapuh terhadap guncangan global?

Sejarah mengajarkan bahwa kebijakan moneter longgar ini harus diimbangi dengan langkah fiskal proaktif dan reformasi struktural yang mendorong produktivitas. "Tanpa langkah tersebut, kebijakan tentang suku bunga rendah ini bisa menjadi jebakan yang justru memperlebar jurang ketimpangan dan stagnasi ekonomi," ujar Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu

Pilihan Editor: Suku Bunga Acuan BI 6 Persen, Dosen dan Peneliti UII Ungkap Dampak Positif dan Negatif di berbagai Sektor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus