Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Penghiliran Sumber Daya Alam dan Utopia Target Pertumbuhan

Andry Satrio Nugroho

Andry Satrio Nugroho

Head of Center of Industry, Trade and Investment at Institute For Development of Economics and Finance (Indef)

Hilirisasi sumber daya alam belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Andalan mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.

19 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Prabowo mengandalkan penghiliran komoditas untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen.

  • Program penghiliran 28 komoditas berjalan di tengah ketidakpastian.

  • Inefisiensi birokrasi bisa menghambat program penghiliran.

PRESIDEN Prabowo Subianto mengawali masa kepemimpinannya dengan target yang sangat ambisius: pertumbuhan ekonomi 8 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi syarat agar Indonesia tidak terjebak sebagai negara kelas menengah dan menjadi negara maju pada 2045. Target ini terdengar sebagai sesuatu yang utopis, mengingat ekonomi Indonesia hanya tumbuh tidak lebih dari 5 persen saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak ekonom ataupun praktisi mengatakan, selain konsumsi, sektor investasi mesti menjadi lokomotif ekonomi Indonesia. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, tapi struktur ekonomi saat ini yang didominasi konsumsi kurang-lebih 50 persen dengan investasi 30 persen rasanya sudah cukup ideal. Ketimbang mengubah struktur, ada baiknya pemerintah memperbaiki kualitas investasi yang juga berperan sebagai motor penggerak ekonomi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa yang dimaksud investasi berkualitas dan efisien? Cara paling mudah untuk mengukurnya adalah dengan melihat incremental capital-output ratio (ICOR) kita saat ini. Makin rendah ICOR, makin efisien suatu investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Indonesia pernah berhasil mencapai ICOR yang rendah, yakni 4 persen, pada 1987 atau era Presiden Soeharto. Ketika itu pertumbuhan ekonomi bahkan mampu melejit hingga 7 persen. Banyak yang menilainya sebagai buah strategi Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berfokus pada sektor pangan dan industri. 

Seusai krisis 1998, ICOR merangkak naik. Artinya, aliran investasi ke Indonesia belum tentu mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara optimal. Kini ICOR Indonesia sudah mencapai 6,3 persen, lebih tinggi dibanding negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang di bawah 5 persen. 

Menarik menyelisik bagaimana melihat investasi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen, seperti yang terjadi tahun lalu di Vietnam. Salah satu pemicunya adalah manuver negara itu menarik raksasa teknologi seperti Nvidia dan Apple. Vietnam kini sudah menjadi tujuan investasi perusahaan teknologi di Asia Tenggara. Sebagai contoh, Vietnam memiliki 174 proyek semikonduktor dengan nilai investasi US$ 11,6 miliar. 

Meskipun Vietnam belum mengambil takhta sebagai raja semikonduktor dunia atau hanya Asia, negara ini sudah menjadi pengekspor semikonduktor terbesar keempat ke Amerika Serikat setelah Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Yang menarik, Vietnam tidak memiliki bahan baku ataupun cadangan mineral kritis untuk bahan baku semikonduktor dan masih mengimpornya dari Cina, Jepang, dan Korea Selatan.

Kunci menurunkan ICOR adalah mendorong aliran investasi yang memiliki nilai tambah tinggi. Investasi di sektor hilir sudah pasti punya nilai tambah lebih tinggi jika dibandingkan dengan sektor hulu. Dalam kasus Vietnam, investasi sektor hilir seperti semikonduktor memiliki nilai tambah 15-20 kali lipat. Ini adalah pilihan strategis untuk menekan ICOR tetap rendah. 

Indonesia tergolong beruntung jika dibandingkan dengan Vietnam ataupun negara Asia Tenggara lain jika dilihat dari dua hal: kekayaan sumber daya alam serta pasar yang besar. Melihat modal tersebut, pemerintah ingin menghadirkan proses yang bernilai tambah tinggi di dalam negeri, yang biasa disebut hilirisasi atau penghiliran. 

Meski dianggap sebagai kebijakan yang sudah lama diinisiasi, penghiliran baru berjalan sejak berlakunya pelarangan ekspor bijih nikel. Hasilnya, selama satu dekade, struktur ekspor Indonesia yang didominasi batu bara dan sawit mulai berubah. Produk olahan nikel seperti feronikel menjadi penyumbang terbesar ketiga ekspor Indonesia.

Selain struktur ekspor, struktur industri domestik berubah berkat pertumbuhan industri logam dasar hingga dua digit setiap tahun. Perlahan tapi pasti, industri logam dasar merangkak naik masuk daftar lima subsektor industri manufaktur yang memiliki kontributor terbesar selain industri makanan dan minuman, kimia dan farmasi, elektronik, serta otomotif.

Di era Presiden Prabowo Subianto, penghiliran menyasar komoditas di luar mineral dan batu bara seperti minyak dan gas bumi, perkebunan, serta perikanan. Pemerintah bahkan memasang target ketercapaian target produksi hingga 2040 dalam Peta Jalan Hilirisasi Investasi Strategis 28 Komoditas. Namun penghiliran saat ini belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan sebagian besar masih berada dalam fase awal. 

Sebagai contoh, penghiliran nikel masih berada di fase pemurnian untuk mengolah bijih menjadi endapan hidroksida campuran (MHP) dan nikel sulfat atau menjadi feronikel serta nikel besi kasar. Fase selanjutnya berupa pengolahan nikel menjadi baja tahan karat, prekursor, katoda, sampai baterai kendaraan listrik belum mencapai target. Kondisi ini berbahaya karena proses penghiliran berjalan lambat, sementara deplesi cadangan nikel meningkat. Jika itu dibiarkan, sumber daya alam kita bisa-bisa telanjur habis, sementara penghiliran yang diharapkan hanya berjalan di fase awal. 

Untuk menghindari hal tersebut, Prabowo perlu membuat strategi untuk mempercepat penghiliran hingga produk akhir. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan. 

Pertama, menjaga biaya produksi tetap kompetitif, yang meliputi biaya energi dan logistik. Harga energi seperti gas bumi masih cukup mahal jika dibanding rerata harga di Asia Tenggara, yaitu di bawah US$ 5 per juta metrik British thermal unit (MMBTU). Pemberian harga gas bumi tertentu kepada industri selama ini juga tidak sesuai dengan volume yang dijanjikan. Pun, jika diberikan, harganya di atas US$ 6 per MMBTU. 

Kedua, pemerintah perlu melindungi pasar domestik dan menjamin daya beli masyarakat tetap kuat. Saat ini pasar domestik dikuasai produk impor dari negara yang  melakukan praktik dumping sehingga harga jualnya jauh di bawah harga pasar. Pasar Indonesia juga dibanjiri produk impor ilegal. Gempuran produk impor murah dan lemahnya daya beli masyarakat menjadi kombinasi yang sempurna untuk membuat produk dalam negeri makin tidak kompetitif. Padahal penghiliran akan berjalan cepat jika ditunjang dengan langkah untuk menciptakan permintaan. 

Ketiga, pemerintah harus berani memberikan disinsentif ketimbang hanya menyalurkan insentif baik fiskal maupun nonfiskal. Seperti yang terjadi pada penghiliran nikel. Untuk mengurangi ekspor produk fase awal penghiliran seperti feronikel, diperlukan instrumen bea keluar atau kuota ekspor terbatas, sekaligus mewajibkan produsen mengolahnya dulu di dalam negeri. Cara ini akan memancing investor membangun basis produksi di Indonesia.

Langkah Presiden Prabowo membuat Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional patut diapresiasi sebagai iktikad mewujudkan sinkronisasi kebijakan lintas kementerian. Namun upaya ini tidak cukup dan perlu ditunjang dengan reformasi kelembagaan lain untuk menarik investasi berkualitas sekaligus mempercepat penghiliran. 

Becermin pada Vietnam, buah yang didapatkan hari ini tidak dihasilkan dari kebijakan satu periode kepemimpinan saja. Vietnam bisa melakukan revolusi kelembagaan sebagai katalis investasi melalui dua hal: kampanye membakar korupsi dan efisiensi birokrasi.

Sejak 2016, koruptor di Vietnam terancam hukuman penjara seumur hidup hingga hukuman mati. Yang terbaru, korupsi yang menyeret wakil perdana menteri, menteri muda, hingga dua pemimpin provinsi partai berujung pemecatan. Meski pemecatan menyebabkan mesin birokrasi Vietnam mandek sejenak, upaya ini memberikan sinyal positif bagi investor dan komunitas internasional akan adanya jaminan kemudahan berinvestasi dan pengurangan biaya ketidakpastian akibat perilaku koruptif. 

Sedangkan efisiensi birokrasi terlihat di awal tahun ini dengan keberhasilan Vietnam melakukan perampingan struktur kementerian dari 20 kementerian menjadi 15 kementerian yang berdampak pada 100 ribu pegawai negeri sipilnya. 

Dalam soal ini, Presiden Prabowo menghadapi ujian. Ada risiko ketika koalisi gemuk pendukungnya di masa pemilihan presiden mengancam upaya efisiensi birokrasi. Tanpa upaya reformasi kelembagaan, mustahil lompatan besar investasi dan penghiliran akan terjadi. Target pertumbuhan ekonomi 8 persen pun akan makin terdengar utopis.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus