Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Angan-angan Swasembada Pangan Berkelanjutan

Eliza Mardian

Eliza Mardian

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia

Ada aspek krusial yang luput dalam pengembangan sektor pertanian. Ketimpangan struktural yang menghambar swasembada pangan.

19 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintahan baru selalu menjanjikan swasembada pangan.

  • Presiden Prabowo Subianto meluncurkan serangkaian kebijakan di sektor pangan untuk mencapai swasembada.

  • Masalah logistik memperburuk pembenahan sektor pangan.

HAMPIR dalam setiap pergantian pemerintahan calon presiden menjanjikan swasembada pangan. Jargonnya berubah-ubah, dari “Feed the World” hingga “Menjadi Lumbung Pangan Dunia”. Namun realitasnya selalu berbanding terbalik. Alih-alih swasembada tercapai, ketergantungan terhadap impor pangan justru kian membengkak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data menunjukkan ketergantungan yang mengkhawatirkan: kebutuhan bawang putih 97 persen dipenuhi dari impor, kedelai 95 persen, susu 80 persen, daging sapi/kerbau 54 persen, gula 64 persen, dan jagung 10 persen. Bahkan beras yang diklaim Kementerian Pertanian surplus pun masih diimpor untuk memenuhi cadangan pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akar masalah ini ternyata jauh lebih dalam dari sekadar angka produksi. Data menggambarkan tren mengkhawatirkan dalam struktur pertanian Indonesia. Proporsi petani berlahan sempit atau yang kurang dari setengah hektare meningkat dari 55,3 persen pada 2013 menjadi 62,05 persen pada 2023. Meski jumlah rumah tangga pertanian bertambah, dari 26,14 juta menjadi 28,42 juta, rata-rata luas lahan yang mereka kelola justru menyusut.

Fragmentasi lahan pun mengancam keberlanjutan usaha tani. Ini bukan fenomena alami, melainkan hasil serangkaian kebijakan yang tidak memihak petani kecil. Sistem warisan yang membagi lahan menjadi bagian-bagian kecil diperparah oleh lemahnya pelindungan dari alih fungsi, menciptakan spiral kemiskinan yang sulit diputus. Petani dengan lahan sempit terpaksa mencari penghasilan tambahan di luar bertani sehingga mereka tak berfokus lagi pada optimalisasi produksi. Akibatnya, produktivitas menurun, margin menipis, dan kemampuan investasi untuk peningkatan produksi makin terbatas.

Selain masalah lahan yang sempit, ketimpangan struktur pertanian makin mencolok. Rasio Gini kepemilikan lahan melonjak dari 0,56 pada 2003 menjadi 0,70 pada 2018 (Bachriadi, 2021). Angka ini memperlihatkan konsentrasi lahan yang makin tinggi di tangan segelintir pihak, sementara mayoritas petani harus bertahan dengan lahan terbatas. Tanpa akses ke faktor produksi utama ini, petani menghadapi hambatan serius dalam peningkatan produktivitas dan kapasitas produksi, yang berdampak langsung pada tingkat kesejahteraan mereka.

Di era Presiden Prabowo Subianto, swasembada pangan kembali menjadi agenda utama. Prabowo meluncurkan serangkaian kebijakan, dari transformasi kelembagaan yang mengelola pangan, regulasi pelepasan hutan, revitalisasi infrastruktur pengairan, regenerasi petani, riset dan pengembangan, penambahan jumlah penyuluh, pemastian status kepemilikan lahan, hingga integrasi dari hulu ke hilir untuk meningkatkan produksi pangan.  

Sekilas program-program ini terlihat komprehensif, mencakup berbagai aspek dari hulu hingga hilir. Namun ada aspek krusial yang masih luput, yakni penyelesaian masalah ketimpangan struktural dalam relasi produksi pertanian. Bagi petani, lahan bukan sekadar aset ekonomi. Ia memiliki dimensi sosial, budaya, politik, bahkan kepercayaan. 

Sosiolog Jan Breman dalam studinya pada 1985 menegaskan bahwa lahan adalah sumber keamanan dan stabilitas bagi petani. Reforma agraria menjadi sebuah keniscayaan. Reforma agraria yang diusung semestinya bukan lagi sekadar legalisasi lahan yang sudah dimiliki petani, melainkan redistribusi yang bermakna kepada petani berlahan sempit dan petani tanpa lahan. Efektivitas reforma agraria harus didukung program komprehensif berupa jaminan harga, akses pasar, kredit, sarana produksi, teknologi, hingga pendidikan dan pelatihan.

Vietnam telah membuktikan formula ini. Dari negara pengimpor beras, Vietnam bertransformasi menjadi pemain utama di pasar global. Kuncinya ada pada reformasi kepemilikan lahan yang memberikan kepastian jangka panjang bagi petani, investasi besar di sektor irigasi, dan sistem penyuluhan yang intensif. Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan mengukir kisah serupa. Reforma agraria yang mendobrak ketimpangan struktural mengantarkan mereka ke era "Keajaiban Asia Timur", periode pertumbuhan ekonomi spektakuler.

Di sisi lain, beberapa kebijakan pemerintah saat ini justru menunjukkan potensi kontradiksi. Pelepasan kawasan hutan untuk lahan pertanian berbenturan dengan komitmen penurunan emisi. Alih guna lahan dan kehutanan merupakan kontributor kedua terbesar emisi gas rumah kaca, mencapai 33,8 persen dari total emisi nasional. Meski lahan bekas hutan akan ditanami tanaman pangan atau perkebunan, kerusakan ekosistem alami akan menurunkan kemampuan penyerapan karbon secara signifikan.

Dampak ekologis konversi hutan bukan hanya itu. Rusaknya ekosistem hutan tropis yang merupakan rumah bagi ribuan spesies tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tapi juga mengganggu keseimbangan yang penting untuk pertanian berkelanjutan. Polinator alami akan makin berkurang, siklus air terganggu, dan resistansi hama meningkat ketika keseimbangan alami terganggu. Upaya meningkatkan produksi pangan melalui pembukaan hutan justru bisa menciptakan masalah baru bagi keberlanjutan pertanian itu sendiri.

Kebijakan pemindahan lumbung pangan, terutama lumbung beras, ke luar Jawa menambah kompleksitas masalah. Kasus Merauke dapat menjadi cerminan. Kawasan yang kini dipenuhi sawah justru dihuni masyarakat yang secara tradisional bukan pemakan nasi. Ini bukan sekadar soal preferensi, melainkan pengabaian hak masyarakat melestarikan pangan lokal.

Masyarakat adat yang terbiasa dengan pangan lokalnya dipaksa beradaptasi dengan sistem pertanian yang asing. Akibatnya, bukan hanya ketahanan pangan lokal yang terganggu, tapi juga pengetahuan tradisional dan varietas pangan setempat terancam punah.

Persoalan logistik pun tak kalah pelik. Biaya transportasi antarpulau yang dua kali lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga bakal mendorong harga pangan. Infrastruktur pelabuhan yang kurang memadai, armada pengangkutan yang terbatas, dan sistem penyimpanan yang kurang mendukung menambah kompleksitas distribusi pangan antarpulau. Belum lagi jika ada gangguan cuaca, fluktuasi harga bahan bakar, dan kendala teknis lain yang berpotensi menambah biaya hingga ke konsumen. 

Kita menginginkan swasembada pangan yang tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi dan luasan lahan, tapi juga berkelanjutan dan berkeadilan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada 1984-1988.

Namun prestasi ini tak bertahan lama. Jumlah produksi menurun akibat konversi lahan di Jawa, penurunan produktivitas, degradasi lahan, ketidakseimbangan antara biaya produksi dan pendapatan petani, serta buruknya mitigasi dampak El Niño 1998-1999 yang memicu krisis pangan. Pengalaman ini menunjukkan kelemahan pendekatan yang terlalu berfokus pada produksi, mengabaikan aspek struktural dan keberlanjutan.

Jika konsep swasembada yang saat ini masih saja mengabaikan aspek ketimpangan struktur relasi produksi dan aspek keberlanjutan, kegagalan yang sama akan terulang. Model swasembada berbasis lokalitas bisa menjadi solusi: mendekatkan kembali produksi dengan konsumsi sekaligus mengurangi jejak karbon dari transportasi pangan jarak jauh. Pendekatan ini tidak hanya menguntungkan dari sisi lingkungan, tapi juga mendorong pengembangan ekonomi lokal dan pelestarian keanekaragaman pangan daerah. 

Reorientasi paradigma swasembada dari sekadar target produksi menjadi pembangunan sistem pangan yang berkeadilan dan berkelanjutan menjadi keharusan. Dengan pendekatan sistematis dan kolaboratif, swasembada pangan bukan utopia. Ia adalah cita-cita realistis yang bisa diwujudkan secara bertahap dengan memastikan setiap langkah membawa perbaikan nyata bagi kesejahteraan petani.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus