Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR sepakat memasukkan RUU Pengampunan Pajak atau tax amnesty dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2025.
Pengampunan pajak hanya akan menguntungkan pengemplang pajak karena mereka membayar pajak dengan tarif lebih murah.
Direktorat Jenderal Pajak menegaskan pengampunan pajak belum disepakati oleh pemerintah.
PROGRAM pengampunan pajak atau tax amnesty bakal bergulir lagi tahun depan. Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk memasukkan rancangan undang-undang (RUU) tentang pengampunan pajak atau tax amnesty dalam prioritas Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2025. DPR menetapkan usulan perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dalam rapat paripurna 19 November 2024.
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan substansi dari pengampunan pajak masih akan dibahas dengan pemerintah. “Teknikal substansinya belum ada. Kami baru membicarakan soal akan ada tax amnesty. Itu saja soal teknisnya nanti dibicarakan,” ucap Misbakhun.
Pengampunan pajak ditawarkan pemerintah kepada wajib perorangan atau badan. Pengampunan dilakukan setelah wajib pajak mengungkap harta yang sebelumnya belum atau belum sepenuhnya dilaporkan dengan cara membayar uang tebusan.
Tax amnesty pernah dilaksanakan pada 2 Juni 2016 sampai 31 Maret 2017. Kemudian pada 2022, pemerintah kembali menerapkan amnesti pajak lewat Program Pengungkapan Sukarela alias tax amnesty jilid II. Pengampunan pajak kedua dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Wakil Ketua Komisi XI Fauzi Amro mengatakan DPR mengusulkan tax amnesty karena program yang sebelumnya belum berhasil menggaet wajib pajak dari luar negeri. Dengan adanya pengampunan pajak, ia berharap defisit anggaran 2025 yang sudah ditetapkan Rp 616,2 triliun bisa berkurang pada 2026. “Secara substansi, negara butuh pendapatan cashflow dalam rangka penyampaian Astacita Pak Prabowo,” kata Fauzi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan meluncurkan program pengampunan pajak, pemerintah memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela. Langkah itu dilakukan melalui pembayaran pajak penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta, sehingga tujuannya adalah untuk meningkatkan kepatuhan sukarela para wajib pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pemerintah meluncurkan tax amnesty menuai berbagai kritik, termasuk dari kalangan pengusaha. Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, berpandangan bahwa pengampunan pajak akan memberikan rasa ketidakadilan terhadap wajib pajak yang telah patuh.
Menurut Ajib, pengampunan pajak yang berulang kali juga berisiko membuat masyarakat meremehkan kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan. Sebab, jika tidak patuh, ada kemungkinan pemerintah membuka kembali pengampunan pajak.
Sejumlah wajib pajak antre dipanggil menuju bilik tax amnesty di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, 2017. TEMPO/Tony Hartawan
Sejumlah ekonom juga mengkritik rencana ini, terutama karena implementasi pengampunan pajak sebelumnya tak berhasil menggenjot rasio pajak secara signifikan. Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Dzulfian Syafrian, hal itu karena kegagalan pemerintah menangkap pelaku besar atau pengemplang pajak level kakap yang memilih tetap menyembunyikan aset mereka di negara tax havens.
Dzulfian berpandangan, tax amnesty di Indonesia terkesan sebagai insentif sesaat ketimbang langkah strategis untuk memperkuat basis pajak secara sistematik guna menutup kekurangan penerimaan pajak kala itu. "Sementara itu, program ini justru lebih banyak menyasar wajib pajak level teri yang kontribusinya relatif minim terhadap penerimaan negara," ujarnya.
Pengampunan pajak pertama, yang berlangsung mulai 1 Juni 2016 sampai 31 Maret 2017, hanya berhasil menggaet 956 ribu wajib pajak dari target 2 juta partisipan. Tercatat deklarasi harta sebesar Rp 4.855 triliun dan uang tebusan sebesar Rp 135 triliun.
Kebijakan pengampunan pajak pertama juga dinilai gagal karena dana yang direpatriasi hanya sebanyak Rp 147,1 triliun dari target Rp 1.000 triliun. Rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) pun justru turun, dari 10,36 persen menjadi 9,89 persen pada 2017.
Sedangkan dalam pengampunan pajak jilid II pada 2022, tercatat harta yang dideklarasikan mencapai Rp 594 triliun dan pembayaran kewajiban terkumpul Rp 61,1 triliun. Jumlah wajib pajak pribadi dan badan yang ikut Program Pengungkapan Sukarela mencapai 247.918.
Rasio pajak pada 2022 naik menjadi 10,39 persen dari 9,21 persen pada 2021. Namun rasio pajak turun pada 2023 menjadi 10,23 persen dari PDB. Angkanya bahkan masih lebih rendah dibanding pada awal Presiden Joko Widodo menjabat pada 2015, yaitu 10,76 persen dari PDB. Kinerja penerimaan perpajakan dalam satu dekade ini juga stagnan, bahkan menurun.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menjelaskan penyebab program pengampunan pajak gagal meningkatkan rasio pajak. Ia menegaskan, semestinya tax amnesty hanya menjadi program jangka pendek. "Sehingga, ketika kebijakan tax amnesty sering diterapkan, efek kontradiktif dapat terjadi," ujarnya.
Prianto menilai kebijakan ini hanya akan menguntungkan para pengemplang pajak karena mereka membayar pajak dengan tarif lebih murah daripada tarif normal. Sedangkan masyarakat yang sudah patuh pajak akan melihatnya sebagai ketidakadilan karena telah membayar sesuai dengan ketentuan normal.
Ketidakadilan yang dirasakan oleh para wajib pajak yang patuh, menurut Prianto, akan membuat mereka kehilangan motivasi untuk membayar pajak. Walhasil, program ini justru dapat menyebabkan rasio pajak tidak meningkat.
Ekonom dari Center of Reform on Economics, Yusuf Rendy Manilet, berpandangan bahwa pengulangan tax amnesty dalam waktu relatif singkat, yaitu dua tahun, tidak ideal. Sebab, biasanya program pengampunan pajak dilakukan hanya sekali atau dengan interval waktu yang cukup lama.
Apalagi pada program pengampunan pajak yang pertama, menurut Yusuf, masyarakat menangkap pesan bahwa program itu hanya dilakukan satu kali dan tidak akan dilakukan kembali. Sehingga pengampunan pajak berulang kali hanya akan menunjukkan inkonsistensi pemerintah.
Untuk meningkatkan rasio pajak, Yusuf mengingatkan pemerintah harus lebih dulu mengevaluasi pengampunan pajak sebelumnya. Misalnya memperbaiki sistem administrasi dan database pajak berdasarkan data yang dikumpulkan dari program pengampunan pajak sebelumnya.
Setelah pengampunan pajak bergulir, Yusuf pun menekankan pemerintah harus meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap wajib pajak yang tidak patuh. Hal ini penting untuk menjaga kredibilitas dan efektivitas sistem perpajakan.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyatakan bahwa tax amnesty merupakan instrumen yang penting bagi pemerintah. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti mengatakan pengungkapan pajak sukarela bertujuan meningkatkan penerimaan negara dan memperluas basis pajak.
Ihwal kegagalan program pengampunan pajak sebelumnya dalam menaikkan rasio pajak, Dwi menilai keberhasilan program ini tidak hanya tergantung pada jumlah dana yang terkumpul. Menurut dia, keberhasilannya juga perlu dilihat dari dampak jangka panjang terhadap kepatuhan pajak dan perbaikan sistem perpajakan secara keseluruhan.
Kendati demikian, Dwi menegaskan bahwa rencana program pengampunan pajak belum disepakati oleh pemerintah. "Terkait Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty, kami akan mendalami rencana tersebut," ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ilona Estherina Piri berkontribusi dalam penulisan artikel ini