Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 12 kreditor utama PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) mengatakan belum mendapat panggilan rapat lanjutan atas penetapan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Empat perusahaan media keluarga Aburizal Bakrie memiliki utang pada 12 kreditur luar negeri itu sebesar Rp 8,79 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sampai hari ini belum,” kata Marx Adryan seperti dikutip Majalah Tempo pada Ahad, 6 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Marx, pada 4 November 2024, majelis hakim akan menggelar rapat terakhir untuk selanjutnya membuat putusan atas kasus PKPU VIVA. “Sebelum itu seharusnya ada rapat kreditor,” kata dia.
VIVA milik keluarga Aburizal Bakrie kini sedang menghadapi persoalan utang sebesar Rp 8,79 triliun hingga ditetapkan dalam PKPU. Kinerja keuangan induk usaha media yang meliputi PT Intermedia Capital Tbk (MDIA), PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV), dan PT Lativi Mediakarya (tvOne) pun terus memburuk.
Di pasar modal, saham Viva tak diperdagangkan karena ada pelanggaran. VIVA pun terkena sentimen buruk. Sejak Juli 2024, grafik saham VIVA tak bergerak. Datar di level 0. Dalam laporan majalah Tempo edisi Senin, 7 Oktober 2024, Bursa Efek Indonesia menghentikan perdagangan saham VIVA, antara lain karena belum menyampaikan laporan keuangan teraudit periode 2023.
Tempo telah menghubungi Direktur VIVA Niel R. Tobing pada Selasa, 8 Oktober 2024 untuk meminta tanggapan atas PKPU ini. Namun, Niel belum merespons pesan Tempo.
Kinerja Keuangan VIVA Terus Memburuk
VIVA dan beberapa anak usahanya tersebut terancam pailit. Sebanyak 12 kreditur menagih utang sebesar Rp 8,79 triliun kepada empat perusahaan itu. Jika tenggat penyelesaian utang melalui PKPU terlampaui, VIVA bakal dipailitkan. Majelis Hakim di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan waktu hingga 4 November kepada VIVA untuk bernegosiasi dengan para kreditur.
Dalam laporan keuangan konsolidasian interim VIVA terakhir pada 30 September 2023, perusahaan ini mencatatkan pendapatan sebesar Rp 906 miliar alias turun dari periode sebelumnya, yaitu Rp 1,32 triliun. Dari Rp 906 miliar itu, beban usaha perusahaan pun lebih tinggi, yaitu Rp 1,14 triliun.
Beban usaha terbesar VIVA berasal dari operasional perusahaan yang meliputi gaji karyawan, jasa profesional, transportasi, air, listrik, dan sejenisnya sebesar Rp 630,2 miliar. Walhasil, pada triwulan III atau 30 September 2024, VIVA mencatatkan rugi Rp 239 miliar.
Kondisi tersebut setali tiga pada 2022. Pada periode tersebut, VIVA malah membukukan rugi sebesar Rp 1,71 triliun. Jumlah ini membengkak sekitar 93,19 persen secara tahunan dari 2021 sebesar Rp 883,12 miliar. Pada periode ini, VIVA juga mencatatkan defisiensi ekuitas sebesar Rp 1,58 triliun atau meningkat dari total Rp 617,33 miliar di 2021.
Pendapatan VIVA pun juga menurun 6,26 persen pada 2022. Pada 2022, VIVA mencatatkan pendapatan usaha Rp 1,69 triliun, sedangkan di 2021 sebesar Rp 1,81 triliun. Penyebabnya ialah pendapatan dari sektor iklan yang turun 7,63 persen. Pada 2022, VIVA hanya mendapat Rp 1,65 triliun, sementara di 2021 sebesar Rp 1,79 triliun.
Padahal, beban usaha pada periode 2022 turun 0,44 persen atau Rp 1,65 triliun dari 2021 sebesar Rp 1,66 triliun. Beban usaha ini dihasilkan dari dua segmen, yaitu program dan penyiaran sebesar Rp 724,3 miliar dan operasional umum perusahaan Rp 933,7 miliar. Karena itu, VIVA pun akhirnya hanya bisa mencatatkan laba usaha Rp 40,48 miliar pada 2022. Angka ini anjlok 72,38 persen atau 146,6 miliar.