Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tergiur Blok Gendut di Libya

Pertamina berencana mengakuisisi 27,9 persen saham Medco Energi. Saham keluarga Panigoro menipis. Harga penawaran terlampau mahal?

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada pesta meriah, Jumat petang dua pekan lalu, ketika Pertamina dan Medco Energi mengikat janji. Tanpa pewarta. Padahal hari itu merupakan titik awal menuju proyek besar menyatukan Pertamina dengan Medco. Bertempat di Bimasena, Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Direktur Utama Pertamina (Persero) Galaila Karen Agustiawan bersama Komisaris Utama PT Medco Energi Internasional Tbk. Hilmi Panigoro meneken principles of agreement.

Hilmi bertindak sebagai pemilik Encore International Limited. Perusahaan yang berbasis di British Virgin Island ini memiliki 60,6 persen saham Encore Energy Pte. Ltd., induk Medco Energi. Rencananya, Pertamina akan masuk ke Medco melalui Encore, dengan membeli saham keluarga Panigoro. "Pertamina akan pegang kontrol Medco," kata Arifin Panigoro, pendiri Medco, kepada Tempo, Rabu pekan lalu (lihat wawancara Arifin, "Saya Takkan Tinggal Diam").

Pertamina dan Medco bersepakat melanjutkan proses ke periode eksklusif hingga 30 November. Ini adalah tenggat bagi Pertamina untuk merampungkan administrasi, termasuk meneliti dan menilai aset. Bila mulus, proses ini akan berujung pada perjanjian jual-beli. Selanjutnya, Pertamina akan menjadi pemegang saham tak langsung Medco Energi 27,9 persen.

Pertamina optimistis aksi korporasi tersebut akan memperkuat bisnis hulu. Perseroan, kata Karen, akan terlibat secara agresif dalam mengembangkan lapangan. "Jadi bukan sekadar sebagai portfolio tapi mengelola portfolio," kata dia kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Ini merupakan upaya menggenjot produksi untuk mencapai target satu juta barel per hari pada 2015.

Sinergi kedua perusahaan minyak dan gas nasional tersebut, menurut juru bicara Pertamina Mochammad Harun, akan memperkuat kemampuan teknis, keuangan, manajemen, dan sumber daya. Melalui sinergi ini, "Pertamina berharap mendapatkan tambahan produksi minyak, setidaknya 10 ribu barel per hari," ujar Harun.

l l l

IDE mengawinkan Medco dengan Pertamina, menurut Arifin, sebenarnya tercetus dua tahun lalu, ketika Direktur Utama Pertamina dijabat Ari Sumarno. Adalah Adam Schwarz, Direktur Mckinsey-penasihat Pertamina-yang melontarkannya. Di sebuah seminar, kata Arifin, Schwarz bertanya tentang kemungkinan membentuk Indonesia Incorporated. Kebetulan, kedua perusahaan memiliki sederet proyek bersama, misalnya di Lapangan Simenggaris, Kalimantan, dan Lapangan Senoro, Sulawesi.

Arifin bersemangat sekali. Ide membikin Indonesia Incorporated itu pun lantas ia sampaikan saat memberi kuliah umum di ITB, Bandung, Oktober 2008. Menurut Arifin, tren pemain baru industri perminyakan dunia saat ini adalah perusahaan pelat merah. Sedangkan Hilmi, sang adik, menilai hal ini sebagai gejala nasionalisme sumber daya.

Di Arab Saudi, misalnya, semua lapangan minyak dan gas digarap Aramco. Tak ada asing. Meksiko dan Venezuela melakukan hal serupa. Misalnya Petro China, Petronas, dan Petrobras. Karena itu Medco mendukung upaya membesarkan Pertamina menjadi perusahaan minyak dan gas kelas dunia, mewakili Indonesia. Salah satunya, dengan mensinergikan Medco dan Pertamina. Targetnya, perusahaan baru nanti bisa menjelajahi dunia menggunakan bendera Indonesia. Ini jauh lebih menguntungkan. Sebab, pemerintah berbagai negara lebih afdol melakukan negosiasi dengan perusahaan negara ketimbang swasta.

Lantas dilakukan pembicaraan intensif antara Panigoro dan Ari Sumarno untuk menjajaki merger. Seorang sumber Tempo beberapa kali melihat Arifin datang ke kantor pusat Pertamina di Jalan Perwira, Jakarta Pusat.

Namun berembus kabar tak sedap. Medco diduga merapat ke perusahaan negara menjelang dua wilayah kerjanya kedaluwarsa. Blok A akan berakhir masa kontraknya pada 2011, sedangkan Blok South Central Sumatra akan habis pada 2013. Bila pemerintah menolak memperpanjang, ladang itu akan jatuh ke Pertamina. "Bisa juga disebut begitu, tapi sekarang tidak lagi karena (masa kontraknya) sudah diperpanjang," kata Arifin. Hilmi memastikan, tiga pekan lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh telah meneken perpanjangan untuk 20 tahun ke depan.

Tapi impian merger dengan Pertamina sempat lenyap lantaran Ari keburu "digusur" dari kursi Direktur Utama Pertamina. Medco kembali membuka wacana bersinergi kepada direktur baru. Karen mengangguk setuju. Studi pun berlanjut, kali ini tanpa Mckinsey.

Medco mengiming-imingi sejumlah aset. Di dalam negeri, perusahaan ini mengoperasikan sepuluh blok minyak dan gas, serta memiliki saham di tiga blok. Di luar negeri, ada 20 aset yang tersebar di Amerika Serikat, Oman, Yaman, Tunisia, Libya, dan Kamboja. Dari aset-aset tersebut, perseroan mencatat total cadangan minyak dan gas melonjak dari 98,3 menjadi 225,4 juta barel ekivalen (lihat tabel).

Lonjakan cadangan minyak dan gas itu kabarnya berasal dari cekungan Ghadames, Libya (lihat "Berharap Berkah Ghadames"). Malah, kata Hilmi, telah ditemukan cadangan baru sekitar 450 juta barel. Tapi angka ini baru perkiraan. Dalam dunia minyak dan gas, istilahnya P2 alias cadangan terukur. Menurut Hilmi, perlu pengeboran lagi untuk menentukan angka P1 alias cadangan terbukti.

Nah, isi perut Blok Libya yang gendut itulah yang membikin Pertamina ngiler. "Libya itu sudah terbukti benar, tinggal rencana pengembangan, dan tunggu produksi," kata Karen. Tak sedikit pula aset lain yang memikat, seperti ladang di Oman. Di dalam negeri, aset yang menggiurkan, menurut Karen, antara lain Lapangan Senoro dan Rimau. "Ada beberapa aset menarik, tapi mungkin karena kendala dana, pengembangan menjadi tidak optimum."

Pertamina juga mengincar personel Medco yang siap pakai. Perseroan akan memerlukan banyak ahli perminyakan untuk menggarap proyek besar di dalam dan luar negeri. Medco memang menjanjikan hampir 3.000 sumber daya terlatih. Karena itu, menurut Hilmi, Medco tergolong perusahaan dengan ongkos produksi paling efisien. "Bukan sombong, cara-cara operasi efisien kami nomor satu."

Dalam laporan keuangan per paruh pertama tahun ini, Medco mencatat laba bersih US$ 12,1 juta, meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 9,6 juta. Beban usaha turun dari US$ 62,46 juta menjadi US$ 62,18 juta karena biaya penjualan bisa ditekan dari US$ 142,9 juta menjadi US$ 129,2 juta.

Berbekal aset dan kinerja itulah keluarga Panigoro tampil pede di hadapan Pertamina. Mereka menawarkan 55 persen sahamnya di Encore Energy sekitar US$ 700 juta. Tapi Pertamina masih menimbang-nimbang. Tim internal perseroan mengklarifikasi aset sebagai dasar melakukan valuasi. "Kami belum bicara harga, baru masuk ke prinsip kesepakatan," kata Karen.

Namun sumber Tempo menilai harga yang disodorkan terlalu mahal. Pertimbangannya, ada beberapa aset yang berisiko. Misalnya Blok A, yang berlokasi di Nanggroe Aceh Darussalam. "Ada potensi pemerintah daerah bakal cawe-cawe," kata dia.

Sejumlah analis sepakat harga bisa ditekan lagi. Menurut Norico Gaman, analis BNI Securitas, harga saham Medco saat ini cuma Rp 5.000 per lembar. Ia yakin harga tak akan beranjak lebih dari Rp 5.000. Syaiful Adrian dari Ciptadana Sekuritas mengatakan, dengan angka lifting minyak yang cenderung menurun, harga penawaran terlalu premium.

Toh, Pertamina telah menyiapkan duit. Menurut Harun, anggaran investasi untuk sektor hulu tahun ini Rp 29,5 triliun, separuh lebih bujet belanja modal perseroan yang mencapai Rp 44,5 triliun. Namun, Harun menambahkan, dana untuk membeli saham Encore Energy tak mesti dirogoh dari dompet pribadi. Pertamina bisa saja menggunakan pembiayaan internal dan eksternal seperti dari lembaga keuangan atau perbankan.

Yang pasti, kata Hilmi, Pertamina berkomitmen akan membayar tunai. Apa yang akan dilakukan keluarga Panigoro dengan dana lebih dari Rp 6 triliun itu? Mereka akan bermigrasi, mengembangkan bisnis energi terbarukan, seperti perkebunan, biofuel, termasuk panas bumi. Sebaliknya, bisnis energi tak terbarukan seperti minyak dan gas dilepaskan. "Kami akan bergeser, masuk ke green energy," kata Hilmi. Nantinya, keluarga pendiri Medco cuma memegang 6 persen Encore Energy, atau sekitar 1 persen di Medco. "Enggak apa-apa."

Menurut Noriko, Medco memiliki masalah dalam bisnis minyak dan gas di dalam negeri. Salah satunya memiliki utang yang cukup besar gara-gara berinvestasi saat harga minyak sedang loyo. Ia menilai Medco kesulitan mengembangkan bisnis emas hitam, karena itu berupaya melepaskan diri dan beralih menggarap bisnis lain. Dengan dana segar dari Pertamina, mereka bisa menggarap sektor nonmigas. Toh, negosiasi belum kelar. Menurut Arifin, bila sampai tenggat akhir November tak ada kecocokan harga, "Perjanjian batal."

Retno Sulistyowati, Yandhrie Arvian, Fery Firmansyah

Kinerja PT Medco Energi Internasional Tbk.

 Semester I 2009 (US$)Semester I 2010 (US$)
Total aset2,07 miliar2,06 miliar
Total kewajiban1,36 miliar1,32 miliar
Pendapatan311 juta397 juta
Laba bersih9,6 juta12,1 juta

Total cadangan (P1)98,3 MMBOE225,4 MMBOE
Produksi minyak36,67 MBOPD30,63 MBOPD
Penjualan gas98,95 MMSCFD145,47 MMSCFD
Total minyak dan gas53,58 MBOEPD55,49 MBOEPD

Rig di kilang minyak PT Medco Energi Internasional.

Blok atau Daerah Operasional Medco

Blok A, Nanggroe Aceh Darussalam, tahap eksplorasi dan pengembangan, dimiliki 100%.

Merangin, Sumatera Selatan, tahap eksplorasi, dimiliki 100%.

Lematang, Sumatera Selatan, operasi komersial pada 2003, dimiliki 100%.

Rimau, Sumatera Selatan, operasi komersial pada 2005, dimiliki 100%.

Bawean, Jawa Timur, lepas pantai, operasi komersial pada 2008, dimiliki 100%.

Jeruk, Jawa Timur, lepas pantai.

Tomori, operasi komersial pada 2005, dimiliki 100%.

Tarakan, operasi komersial mulai dilakukan pada 1992, dimiliki 100%.

Simenggaris, tahap eksplorasi, dimiliki 100%.

Sembakung, operasi komersial pada 2005, dimiliki 100%.

Nunukan, tahap eksplorasi, dimiliki 100%.

Bengara, tahap eksplorasi, dimiliki 95%.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus