NY. Phoa Ting Goan pandai meracik, meramu berbagai macam jamu
dari akar-akaran, daun-daunan dan tumbuh-tumbuhan lainnya.
Karena itu dia mendapat julukan Nyonya Dukun di Wonogiri.
Suaminya, karena pekerjaannya sebagai kasir di kantor cukai
candu, disebut Baba Tukang Uang. Satu-satunya anak mereka
bernama Poa Tjong Kwan, karena berbakat wiraswasta, mendirikan
perusahaan kecil yang, tentu saja, menjual jamu Jawa dan
rempah-rempah. Dari usaha kecil-kecilan itu lahir cap Djago.
Minggu lalu, 60 tahun kemudian di Semarang, cap Djago itu
merayakan hari jadinya. Resepsinya di Wisma Pancasila
berlangsung meriah, dengan band musik Djago sendiri. Dari
Jakarta akhir minggu ini, menurut rencana, akan didatangkannya
pula Orkes Simfoni Remaja pimpinan Rudy Laban untuk melanjutkan
perayaan HUT Djago ini.
Kini cap Djago sudah diusahakan secara industri oleh keturunan
Poa. Sesuai dengan zaman, pabriknya dilengkapi dengan
laboratorium. Produknya pun sudah meningkat ke kapsul. Kampanye
promosinya sampai ke seluruh pelosok Indonesia. Pemasaran oleh
para agennya sampai ke Singapura, Malaysia dan Pilipina. Malah
di Negeri Belanda juga ada penggemarnya.
BKKBN, badan resmi yang mempromosikan KB, juga tertarik, tapi
bukan karena jamunya, melainkan karena capnya. Maka sudah sejak
1974 banyak bungkusan jamu cap Djago khusus dilampiri kondom.
Djago terjual, kontraseptif pun tersebar secara cuma-cuma.
BKKBN, menurut jurubicaranya, dengan demikian menghemat biaya
penyebarannya, "apalagi Djago mempunyai daya tarik tersendiri."
Salah satu keturunan Poa, kini bernama Panji Suprono, mengatakan
kepada pembantu TEMPO Metese Mulyono: "Kini memang ada
persaingan. Tapi itu lumrah. Satu hal kami pertahankan: Mutu dan
harga rendah." Suprono ini adalah generasi ke-2 yang memimpin
usaha Djago. Orangnya agak tinggi, bertubuh kecil, mengenakan
kacamata bening. Dia dan kaumnya tidak perlu lagi turut meracik
jamu. Namun mereka mengaku tidak lupa pada zaman Nyonya Dukun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini