Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hmm ... hidup sederhana

Menteri pplh emil salim menyerukan pola hidup sederhana mengingat keterbatasan sumber-sumber alam. pribadi yang menjadi panutan di masyarakat supaya menyesuaikan diri. grup pecinta alam menyebar luas.(ling)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT tahun yang lalu, beberapa hari setelah "peristiwa 15 Januari", pemerintah mencanangkan keharusan hidup sederhana -- terutama di kalangan pejabat tinggi. Kini seruan yang sama terdengar lagi. Mula-mula yang bicara adalah Dr. Emil Salim, dalam posisinya sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH). 27 Mei yang lalu, di depan anggota Perhumas, persatuan para ahli hubungan masyarakat, dan para tamu lain di salah satu ruang Hotel Hilton yang mewah, Menteri yang diminta berbicara itu menarik perhatian karena seruan hidupsederhananya itu. Datang terlambat lebih dari setengah jam, Emil Salim yang baru bertemu dengan Presiden mengungkapkan bahwa ada instruksi Kepala Negara buatnya. Yakni, agar ia menjabarkan pengertian "pola hidup sederhana", untuk mencari patokan guna melakukan tindakan dan sanksi bila terjadi penyelewengan. Sudah dapat diduga, bahwa reaksi pertama terhadap pernyataan itu paling sedikit bersifat angkat bahu. Apalagi ketika Emil Salim menyatakan, bahwa hidup sederhana itu "bukan sok melarat", melainkan "hidup yang wajar sesuai dengan lingkungan di mana seseorang berada." Sebab soalnya: lingkungan yang mana? Ada yang hidup di lingkungan daerah mewah seperti Kemang, Jakarta, ada yang di daerah miskin seperti di Mangga Dua. Dan keduanya toh sering ketemu di Jalan Hayam Wuruk. Dengan kata lain, hanya dengan menyebut "sesuai dengan lingkungan" saja, mana yang hidup sederhana atau mana yang mewah masih kabur -- dan bisa ditafsirkan macam-macam, sesuai dengan kebiasaan hidup seseorang. Seperti yang digambarkan oleh tokoh harikatur harian Kompas pekan lalu: Namun barangkali bisa diharapkan, bahwa pidato Presiden Soeharto Senin pekan ini dapat menjadi sekedar pegangan yang lebih jelas. Berbicara pada upacara pembukaan Seminar Nasional Pengembangan Lingkungan Hidup 5 Juni 1978 di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden menandaskan: " . . . jelaslah, bahwa pola konsumsi dan gaya hidup mewah di banyak negara-negara maju yang tinggi pendapatannya tidak akan mungkin didukung oleh kemampuan ekonomi Rakyat kita." Maka, kata Presiden, "menjadi sangat perlu untuk mengendalikan dan membina gaya hidup dan pola konsumsi yang lebih serasi dengan lingkungan hidup sosial rakyat kita." Dengan menyebut "rakyat", dan menyebut pula tingkat pendapatan yang di bawah US$ 200 per jiwa setahun nampaknya bagi Presiden itulah yang jadi tongkatpengukur. Lingkungan tempat kita hidup dengan begitu bukan lingkungan "tingkat tinggi" yang cuma sedikit itu, melainkan lingkungan luas yang jauh lebih melarat. Agaknya dengan kesadaran ini Menteri Emil Salim menyatakan, bahwa sasaran dari seruan (atau nanti tindakan juga?) pemerintah adalah dari golongan 20% penduduk yang tertinggi penghasilannya. Tapi toh tetap jadi pertanyaan, sejauh mana mereka yang tergolong kaya itu akan diarahkan supaya "sederhana". Sampai kini orang cuma dapat menduga-duga saja -- seraya agak ragu apa pemerintah bisa benar-benar "mengatur" kelompok puncak itu. Dengan kata lain, ukuran apa itu "sederhana" masih harus dirumuskan, sebelum -- lebih sulit lagi -- diterapkan. Namun ada tanda-tanda, bahwa perkara hidup sederhana itu akan dikaitkan secara serius dengan kesadaran tentang terbatasnya sumber-sumber alam. Pidato Presiden Soeharto di depan para ahli lingkungan awal pekan ini menunjukkan kecenderungan itu. Kepala Negara, setelah menyebut "pola konsumsi dan gaya hidup mewah," melanjutkannya dengan menyebut sumber-sumber alam "yang tidak dapat dipulihkan kembali setelah habis dipakai." Misalnya gas, minyak bumi, batu bara dan lain-lain. "Kita tidak dapat menambah sumber alam pemberian Tuhan Yang Maha Esa sesuka hati kita," kata Presiden. Dapatkah kemudian diramalkan, bahwa rumusan pemerintah dengan "hidup sederhana" adalah kurang-lebih "hidup yang tidak boros sumber alam"? Mungkin begitu -- apalagi mengingat bahwa ada faktor-faktor yang dapat diukur Secara obyektif dalam pengertian "boros sumber alam" itu. Sehingga pengertian "hidup sederhana" tidak terjatuh ke dalam ukuran yang aneh-aneh, misalnya pakai baju tambalan atau ogah makan ayam goreng. Dari kalangan yang sudah lebib lama menekum perkara lingkungan, kecenderungan ke arah mengkaitkan "kesederhanaan" dengan kehematan-makan-sumber-alam sudah pasti menggembirakan. Dr. Aprilani Soegianto, Ketua Umum Himpunan Lingkungan misalnya berkata: "Sudah lama kami sadari, bahwa cepat atau lambat bahan bakar fosil kita akan habis." Tapi tidak cuma itu saja. Dengan kesadaran akan keterbatasan sumber alam yang bisa menyeleweng dari "hidup sederhana bukan cuma orang seorang, tapi juga kecenderungan umum. Aprilani misalnya melihat dengan cemas "cara-cara pembangunan seperti sekarang". Yang jelas misalnya adalah pembangunan perkotaan. Di Jakarta, gedung-gedung didirikan ke atas, kian lama kian tinggi. Memang, diakui bahwa gedung-gedung jangkung itu timbul sebagai jawaban terhadap dilema antara persediaan tanah yang terbatas dengan kebutuhan akan pemukiman dan perkantoran. Memang, seperti diakui Aprilani, gedung-gedung itu menghemat "sumber alam yang utama," yakni tanah. Tapi banyak sumber alam lain jadinya diboroskan. Misalnya keharusan adanya lift dan penyejukan udara -- yang boros enerji itu (lihat: Teknologi) "Sekarang ini," kritik Aprilani, "gedung bertingkat semakin banyak berdinding tertutup kaca." Dari sudut enerji kata Aprilani pula, penggunaan kaca sangat tidak efisien. Sebab panas matahari di luar serta merta ditransfer ke dalam. Ini mengakibatkan perlu lebih banyak enerji lagi untuk mendinginkan gedung-gedung bertingkat itu. Seraya mengutip contoh Singapura -- yang 30% tenaga listriknya habis untuk penyejukan udara saja -- Dr. Aprilani Soegiarto menganjurkan pemerintah DKI mempelajari penggunaan enerji matahari untuk pendinginan gedung-gedung jangkung di Jakarta. Namun rupanya konstruksi gedung-gedung jangkung di kota besar Indonesia memang masih cenderung menggunakan model Amerika Serikat atau Eropa sebelum negeri-negeri kaya itu dihantam krisis enerji di awal 1970-an. Rumah-rumah mewah, yang dibangun begitu rupa hingga musti pakai AC, dengan peralatan listrik macam-macam juga telah menyedot enerji dalam porsi yang besar. Tapi yang lebih kurang sedap adalah mobil pribadi. Selama ini, pemerintah memang cenderung untuk tidak menggalakkan pemilikan mobil pribadi. Misalnya dengan anjuran merger produsen mobil disertai anjuran untuk mengalihkan produksi sedan ke jenis kendaraan niaga. Juga sementara itu, kehendak untuk menerapkan "hidup sederhana" dilakukan pula di situ. Ini terutama nampak dalam peraturan yang keluar satu minggu setelah "peristiwa 15 Januari", ketika puluhan mobil (tapi cuma yang bikinan Jepang) dirusak atau dibakar. Meskipun demikian, peraturan-peraturan di atas nampaknya belum dikaitkan dengan kesadaran yang didesak oleh terbatasnya sumber-sumber enerji serta kebersihan lingkungan. Dalam peraturan tahun 1974 misalnya dinyatakan larangan impor mobil sedan jenis Mercedez Benz 300 ke atas, atau yang berukuran silinder 5000 cc ke atas. Tapi, seperti dikatakan oleh seorang ahli lingkungan, "apalah artinya jika seorang yang tak boleh memakai Mercedez Benz 300, tapi sementara itu ia punya lima mobil Mercy 200?" Dari segi pengotoran udara akibatnya bisa lebih dahsyat. Makin banyak jumlah kendaraan bermotor dengan bensin, makin besar pengotoran yang terjadi -- dan makin boros enerji. Mendesaknya suatu beleid yang lebih rasionil di bidang kendaraan bermotor mungkin bakal disuarakan dalam Seminar Nasional pekan ini. Setiap tahun, sejumlah 78 ribu mobil baru meluncur dari bengkel perakitan di seluruh Indonesia. Semuanya terbagi atas 23 merek sedan dan 27 merek kendaraan niaga. Di Jakarta sendiri jumlah kendaraan bermotor tahun lalu saja sudah mencapai setengah juta, terdiri dari mobil dan yang beroda dua. Itu belum termasuk mobil tentara dan korps diplomatik. "Jakarta," kata seorang ahli, "sudah penuh dengan gas CO dan CO2, plus logam timah hitam (Pb) yang tercampur dalam bensin." BAGAIMANA cara mengatasinya? Para ahli lingkungan umumnya menganjurkan untuk melihat tauladan Singapura, yang banyak mendorong -- dengan peraturan yang ketat -- penggunaan alat transpor umum seperti bis dan taxi, sehingga jumlah kendaraan di jalanan jauh berkurang. Di Jakarta tindakan ke arah itu belum nampak. Bahkan dilarangnya becak beroperasi di pelbagai tempat, dengan alasan akan meruwetkan lalulintas, menyebabkan kecenderungan bermotor meningkat. Padahal, seperti dinyatakan oleh sementara pengritik, lalu lintas tidak berkurang ruwet bagi mereka yang tak punya mobil. Tapi toh eksplosi kendaraan bermotor itu tak terbatas di kota-kota. Tak dapat dimungkiri bahwa peran transportasi bermotor untuk umum, terutama Colt, banyak membantu perhubungan dan kehidupan ekonomi. Di Jawa kini hampir tak ada desa yang begitu terpencil, tak bisa di hubungi dengan cepat. Apalagi perbaikan jalan memang nampak di mana-mana. Namun pembangunan bukar saja memecahkan problim lama, tapi juga -- apa boleh buat -- menciptakan problim baru. Dan akibat buruk permotoran adalah salah satunya. Yang lebih buruk ialah, tentu saja, bila gara-gara kepingin seperti orang kota, anak-anak muda di desa mengikuti pola hidup yang sebenarnya tidak sehat. Dewasa ini sangat sering disinyalir, meskipun belum sampai diselidiki, banyaknya para pemilik tanah di pinggiran yang menjual sebagian besar miliknya kenapa para orang kaya di kota -- untuk menghadiahi anak laki-laki mereka dengan sepeda motor. Disinyalir pula bahwa dengan makin terbatasnya tanah, para petani undur ke hutan-hutan, serta menebangi kayu. Dalam hal itu, terjadi pula kerusakan lingkungan. Namun di pedesaan itu, kecenderungan lain untuk boros-sumber-alam terjadi di samping kian gundulnya hutan-hutan. Menurut Dr. Aprilani Soegiarto, itu merupakan akibat dari penggunaan bibit unggul. "Kerakusannya akan pupuk sintetis," kata Aprilani, "serta keharusan kita untuk melindunginya dengan pestisida yang juga berasal dari industri petro-kimia, menyebabkan pertanian akan sangat tergantung pada bahan bakar fosil pula." Oleh Aprilani kemudian diambil hasilpenelitian Lembaga Pusat Penelitian Pertanian di Bogor. Dari penelitian itu, dilihat bahwa "tingkat keborosan enerji seperti yang terjadi di Amerika, juga akan tercapai di Indonesia. Di Amerika, kata Aprilani, perbandingan antara enerji yang dimasukkan dengan enerji yang keluar tinggal 12. Di Indonesia masih 10. "Ini relatif lebih baik," kata Aprilani, "tapi jangan lupa hanya lima tahun sampai 10 tahun yang lalu angka yang sama tercatat di Amerika." Kiranya itulah sebab mengapa Lembaga Pusat Penelitian Pertanian sudah mulai bereksperimen kembali dengan pertanian gilir-tandur atau crop rotation. Metode ini tak terlalu tergantung pada pemasukan enerji dari luar -- salah satu cara pertanian yang menghemat enerji. Misalnya dengan penanaman kacang-kacangan, secara bergiliran dengan padi. Atau pemeliharaan ganggang di sawah yang dapat mengikat nitrogen secara alamiah, seperti yang pernah diusulkan oleh Dr. Gunawan Satari dari Universitas Padjadjaran. Tentunya konsekwensi saran semacam itu ialah mengubah orientasi yang selama ini terarah kepada naiknya produksi padi melalui monokultur padi unggul -- satu hal yang dikritik oleh sementara ahli lingkungan. Dan memang, seperti di negara-negara lain, kesadaran akan lingkungan, akan kelestarian sumber alam, mau tak mau bisa meninjau kembali pandangan hidup dan beleid kita yang semula. Namun barangkali tidak mengapa. Seluruh dunia nampaknya tengah menyadari ini dengan akut dan was-was -- dan mau tak mau pengaruhnya bisa sampai pula ke Indonesia. Di Jepang misalnya, di negeri yang melahirkan Honda dan Toyota itu, Ketua Lembaga Penelitian Lingkungan Tokue Shibata berkata "Otomobil, yang dulu merupakan lambang peradaban modern dan lambang status, kini berubah menjadi sebuah lambang tragedi yang seperti setan." Seperti halnya kini dua anak merupakan lambang fikiran maju, sepeda pun -- yang terlihat di Eropa dan Amerika -- demikian pula. Kemewahan rumah sakit kini digantikan dengan ketekunan berolahraga untuk kesehatan, dan makanan kalengan kini terasa memualkan, tak sebanding dengan sayur yang langsung dipetik dari halaman rumah. Hidup kembali "melarat"? Barangkali tidak. Kesederhanaan tiba-tiba menjadi persoalan hidup sehat, dan masuk akal. Sikap itu juga menyangkut apa yang disebut Presiden Soeharto sebagai "ikatan solidaritas antara generasi sekarang dengan generasi nanti." Dengan kata lain, suatu sikap "untuk tidak menghabiskan sumber-sumber alam hanya untuk keperluan sekarang ini, atau kebutuhan generasi masa kini." Presiden menyebut kata "solidaritas". Di Amerika pun akhir-akhir ini pernah terlihat orang memasang stiker atau huruf-huruf tempel: "Live simply that others may simply live" Hidup sederhana agar orang lain bisa hidup juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus