Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terkepung Maskapai Teluk

Singapore Airlines bersaing dengan Etihad dan Emirates. Memperebutkan rute Australia dan ASEAN menuju Eropa dan Amerika.

5 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RABU dua pekan lalu semestinya menjadi penerbangan perdana bagi Singapore Airlines dengan rute Bandar Udara Changi-Soekarno-Hatta-Sydney. Tapi mimpi maskapai penerbangan Singapura itu terbang ke Negeri Kanguru melalui Jakarta tiga kali per minggu mesti ditunda. Padahal tiket penerbangan sebagian sudah ludes terjual.

Penundaan itu membuat manajemen Singapore Airlines putar otak mencari alternatif penerbangan bagi penumpang yang telanjur membeli tiket. "Kami menghubungi para penumpang yang sudah membuat reservasi dan membantu mendapatkan penerbangan lain," kata Edwin Chiang, General Manager Singapore Airlines Indonesia, kepada Tempo melalui surat elektronik, Jumat pekan lalu.

Ditundanya rute baru itu berkaitan dengan rencana PT Angkasa Pura II, otoritas Bandara Soekarno-Hatta, mengerjakan pengerasan landasan pacu. Dimulai per 1 Desember, pemeliharaan landasan pacu akan berlangsung hingga 15 bulan ke depan.

Gara-gara urusan ini, Menteri Koordinator Infrastruktur dan Menteri Transportasi Singapura Khaw Boon Wan melayangkan surat kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Menurut Khaw, penundaan rute baru ini setidaknya berimbas pada 15 ribu penumpang yang mesti dilayani di rute tersebut. "Saya mendesak Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mempertimbangkan kembali keputusannya," ujar Khaw dalam suratnya, awal November lalu.

Seorang pejabat Kementerian Perhubungan mengatakan pemerintah Singapura ngotot karena rute anyar ini akan menjadi sumber pemasukan baru bagi Singapore Airlines. Di tengah ketatnya persaingan memperebutkan pasar Australia dan Asia Tenggara menuju Eropa, Singapore Airlines tengah bertarung sengit menghadapi gempuran maskapai penerbangan negara Teluk, yakni Etihad Airways dan Emirates.

Direktur Utama Garuda Indonesia Arif Wibowo membenarkan kabar bahwa kedua maskapai Timur Tengah itu kian agresif menancapkan kuku bisnisnya di Australia dan Asia. Emirates, misalnya, telah menjalin kerja sama membentuk joint venture dengan Qantas sejak tiga tahun lalu.

Emirates bermitra dengan Qantas setelah maskapai penerbangan Australia ini mengakhiri kerja sama dengan British Airways, yang telah berlangsung selama 17 tahun. Perjanjian kerja sama antara Emirates dan Qantas berimbas pada pemindahan bandara transit dari Changi ke Dubai untuk penerbangan rute Australia-Eropa atau sebaliknya. Kedua maskapai ini memiliki 98 penerbangan per minggu antara Dubai dan Australia.

Kerja sama ini membantu Qantas mengurangi biaya penerbangan internasional sehingga bisa lebih berfokus pada penerbangan domestik. "Pelanggan Qantas bisa mengakses lebih dari 70 tujuan Emirates di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara," kata Gareth Evans, CEO Qantas International. Sebaliknya, bagi Emirates, kerja sama ini memperkuat posisinya di industri penerbangan dalam menghadapi persaingan melawan Etihad Airways dan Qatar Airways.

Dalam ekspansinya, Arif Wibowo mengatakan, Emirates cenderung membesarkan kapasitas bisnisnya. Itu sebabnya, maskapai Uni Emirat Arab ini terus menambah jumlah pesawat berbadan jumbo—seperti Airbus A380—hingga 120 unit.

Berbeda dengan Emirates, Etihad lebih banyak menjalin kerja sama dengan maskapai penerbangan domestik. Etihad, misalnya, delapan tahun lalu membeli saham Jet Airways India sebesar US$ 379 juta atau setara dengan 24 persen. Beberapa maskapai yang menjalin kerja sama dengan Etihad di antaranya Air Berlin dari Jerman, Alitalia dari Italia, Air Serbia, dan Air Seychelles, yang 40 persen sahamnya dimiliki maskapai pelat merah milik Uni Emirat Arab ini.

Sepak terjang Etihad dan Emirates yang agresif mengancam banyak maskapai di Amerika Serikat dan Eropa. Strategi yang dijalankan Emirates dan Etihad ini juga mulai menggerus dominasi Singapore Airlines di Asia Tenggara.

Akibatnya, Singapore Airlines mengurangi 10 pesawatnya yang berbadan jumbo karena keteteran menghadapi manuver bisnis maskapai penerbangan Timur Tengah. "Ada 10 pesawat yang dikembalikan padahal kontraknya belum habis," ujar seorang petinggi badan usaha milik negara. Singapore Airlines juga mulai memangkas harga tiket pesawat kelas premium.

Cara bertahan ini lumayan ampuh bagi Singapore Airlines untuk menghindari kerugian yang lebih dalam. Perusahaan penerbangan Negeri Singa ini memiliki sejumlah anak usaha. Salah satunya Silk Air, yang bersama Singapore Airlines berada di kelas full service. Adapun di kelas penerbangan berbiaya hemat, Singapore Airlines mengandalkan Scoot dan Tiger Airways.

Ketatnya persaingan menyebabkan kinerja total jumlah penumpang Singapore Airlines hanya tumbuh 1,6 persen pada tahun lalu. Pertumbuhan jumlah penumpang terbesar terjadi pada Scoot (28 persen) dan Silk Air (8 persen). Adapun jumlah penumpang Tiger Airways hanya tumbuh 0,2 persen. Dalam siaran pers Agustus lalu, pendapatan grup ini menurun sebesar US$ 79 juta menjadi US$ 3,654 miliar. Pendapatan dari penumpang menurun sebesar US$ 75 juta atau setara dengan 2,6 persen.

Arif Wibowo mengatakan dominasi Singapore Airlines bakal tambah tergerus jika perbaikan landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta kelar dan bisa menampung pesawat berbadan lebar. "Garuda bisa langsung terbang ke Eropa tanpa harus transit di Changi," tuturnya.

Menurut Arif, ketatnya persaingan bisnis Singapore Airlines dan maskapai negara Teluk tidak terlalu mempengaruhi Garuda karena perusahaan pelat merah ini memiliki pasar domestik yang kuat. "Populasi kita yang besar membuat Garuda bisa bertahan," ucapnya.

Singapore Airlines tidak merespons pertanyaan terkait dengan persaingan bisnis dengan Etihad dan Emirates. Adapun Sekretaris Pertama Bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Sukumar Suresh, mengatakan permintaan Singapura agar pemerintah Indonesia memulihkan jumlah frekuensi penerbangan Jakarta-Singapura dan Singapura-Jakarta-Sydney bertujuan menjalankan kesepakatan yang sudah diteken kedua negara.

Kesepakatan itu berupa komitmen Singapura mendukung Indonesia mencapai target kunjungan wisata asing sebanyak 19 juta turis pada 2019. "Singapura dan Indonesia adalah tujuan wisatawan terbesar pada 2015. Kami berharap konektivitas udara terus menguntungkan kedua negara," katanya.

Akbar Tri Kurniawan (The Sydney Morning Herald)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus