Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROTES Otoritas Penerbangan Sipil Singapura setelah Kementerian Perhubungan mengurangi slot Singapore Airlines rute Jakarta-Singapura mengingatkan Budhi M. Suyitno pada peristiwa lebih dari satu dasawarsa lalu. Kala itu, pemerintahan baru berganti dari Presiden Megawati Soekarnoputri ke Susilo Bambang Yudhoyono. Menteri Perhubungan Hatta Rajasa memanggil Budhi, yang berstatus eselon I di Kementerian Perhubungan.
Panggilan itu terkait dengan rencana pengisian jabatan Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Hatta menyampaikan rencananya memberikan posisi itu kepada Budhi, yang lama berkarier di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. "Saya ditawari posisi dirjen," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Beberapa hari kemudian, Budhi menerima tamu di kantornya. Ia seorang pejabat tinggi Kedutaan Besar Singapura di Jakarta. Meski tak mengundang, Budhi menerimanya karena tamu itu pejabat kedutaan.
Keduanya berdiskusi tentang penerbangan. Diskusi yang berlangsung selama tiga jam itu membicarakan perjanjian layanan angkutan udara, penguasaan flight information region (FIR) atau wilayah informasi penerbangan, dan liberalisasi angkutan udara. "Saya seperti sedang menjalani fit and proper test sebagai Dirjen Perhubungan Udara," ujar guru besar bidang penerbangan ini.
Menurut Budhi, sang diplomat Singapura kurang suka terhadap pendapatnya yang menginginkan Indonesia harus merebut kembali FIR yang dikuasai Singapura. "Di udara, kita juga harus merdeka," katanya.
FIR adalah ruang udara yang dikuasai sebuah negara. Ada dua FIR yang dikendalikan Indonesia, yakni FIR Jakarta dan Makassar. Namun ada sebagian ruang udara di atas teritori Indonesia—Natuna, Batam, Bangka Belitung, ujung Kalimantan Barat, dan sedikit wilayah di Jambi—yang dikendalikan dari Singapura sejak 1946. Penguasaan ruang udara inilah yang diperjuangkan Budhi dalam setiap Regional Air Navigation Meeting.
Upaya Budhi agar Indonesia memperoleh kedaulatan penuh bukan kali itu saja dilakukan. Ketika menjabat Direktur Sertifikasi Kelaikan Udara Departemen Perhubungan pada 1993, Budhi ngotot agar Indonesia menguasai kembali ruang udara yang dikendalikan Singapura. Upaya itu gagal karena status Indonesia sebagai anggota Dewan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) belum cukup ampuh mempengaruhi negara lain. Sikap ngotot Budhi ini tidak disukai diplomat Singapura tersebut.
Entah kebetulan entah tidak, satu pekan kemudian Budhi batal ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Sebagai gantinya, Menteri Perhubungan di era Presiden Abdurrahman Wahid itu ditempatkan di Inspektorat Jenderal. Dihubungi sepanjang pekan lalu, Hatta Rajasa tidak merespons pertanyaan yang diajukan. Budhi menduga Otoritas Penerbangan Sipil Singapura punya perhatian khusus terhadap kebijakan penerbangan sipil di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan ruang udara dan slot frekuensi terbang.
Perhatian khusus ini pula yang dirasakan pejabat eselon III Kementerian Perhubungan yang bertugas menerbitkan izin slot penerbangan. Pejabat ini pernah sengaja memperlambat penerbitan izin slot frekuensi terbang Singapore Airlines untuk melihat reaksi Singapura. Hasilnya, pejabat Otoritas Penerbangan Sipil Singapura berkali-kali menghubungi dan mendatanginya.
Kedutaan Singapura tidak banyak berkomentar mengenai lobi-lobi pemerintahnya di Jakarta. Dalam keterangan tertulisnya, Sekretaris Pertama Bidang Politik Kedutaan Singapura Sukumar Suresh mengatakan Indonesia dan Singapura memiliki hubungan kerja sama yang saling menguntungkan di banyak sektor, termasuk penerbangan dan pariwisata.
Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo