Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat
*)Kontributor Tempo
SEPERTI kodok tercebur sumur, politikus Indonesia malah asyik bergelut berebut kekuasaan. Sementara pasar keuangan di negara-negara berkembang sedang berantakan, mata uang Turki, Malaysia, Filipina, Meksiko, termasuk Cina, seolah-olah berkejaran menyentuh titik nadirnya. Bayang-bayang krisis global gelombang ketiga, setelah Amerika Serikat 2008-2009 dan Eropa 2011-2012, semakin nyata.
Ada tiga soal yang membuat pasar finansial guncang. Pertama, suku bunga rujukan The Federal Reserve sangat mungkin akan naik pada 14 Desember ini. Kedua, antisipasi pasar bahwa ekonomi Cina setiap saat bisa terpuruk. Terakhir, spekulasi investor terhadap program Donald Trump setelah menjadi Presiden Amerika Serikat bulan depan.
Ketiga perkara ini memicu arus mudik dolar ke Amerika. Financial Times menghitung, mengutip data Institute of International Finance, uang yang meninggalkan negara berkembang mencapai US$ 24,2 miliar selama November saja, US$ 16,1 miliar dari pasar obligasi, dan US$ 8,1 miliar dari pasar saham.
Pulangnya dolar Amerika menimbulkan ancaman serius lantaran banyak negara berkembang selama ini menikmati betul banjir dolar murah. Pemerintah dan korporasi tak segan menumpuk utang karena bunganya rendah. Kembalinya dolar membuat imbal hasil obligasi di banyak negara melonjak. Pemerintah dan korporasi kini harus membayar bunga jauh lebih mahal jika berutang. Usai sudah era dolar murah dan melimpah.
Rentetan dampaknya sungguh menakutkan. Bunga tinggi membuat banyak perusahaan merugi. Defisit anggaran negara menggelembung. Muncullah lingkaran setan. Karena butuh uang, baik korporasi maupun pemerintah terpaksa tetap berutang kendati bunganya terbang. Pada suatu titik, proses berantai ini akan tumbang. Banyak korporasi bangkrut dan lebih celaka lagi jika negara turut bertekuk lutut meminta ampunan dari pemberi utang.
Skenario buruk ini bisa saja menimpa salah satu negara berkembang. Yang paling menakutkan investor adalah jika korbannya justru Cina, ekonomi terbesar kedua di dunia. Saat ini rasio total utang Tiongkok terhadap produk domestik bruto sudah mencapai 280 persen. Renminbi sangat tertekan, sedang berkutat di titik terendah dalam delapan tahun terakhir. Untuk mempertahankan renminbi, cadangan devisa Cina sudah berkurang US$ 1 triliun dalam tempo 18 bulan, menjadi US$ 3,12 triliun. Jangan silau dengan nilai cadangan yang tampak begitu besar karena nilai utang Cina hampir sepuluh kali lipat cadangan tersebut.
Jika Cina atau mungkin saja negara berkembang lain terpuruk krisis, sudah pasti ada efek penularan. Itulah karakter utama krisis keuangan global. Indonesia sebagai sesama negara berkembang sangat mungkin terkena imbas. Krisis 1998 bermula dari Thailand. Indonesia, yang awalnya terlihat baik-baik saja, justru paling keras terkapar ketika krisis menular.
Sekarang, penurunan nilai rupiah masih lebih landai ketimbang ringgit atau renminbi. Nilai cadangan devisa Indonesia juga masih stabil. Ada pula arus dana masuk dari repatriasi kekayaan peserta amnesti pajak yang turut menahan kemerosotan nilai rupiah. Situasi masih baik-baik saja.
Masalahnya, dalam sebulan terakhir ini justru terjadi pergulatan politik dengan pengerahan massa dalam jumlah besar di Jakarta. Adu kuat demokrasi jalanan ini berpotensi rusuh dan memperburuk persepsi investor tentang keamanan dan stabilitas Indonesia. Alih-alih bahu-membahu mengatasi krisis, politikus negeri ini ibaratnya malah berebut kembang api menyala di antara bubuk mesiu yang bertebaran.
KURS | |
Pekan lalu | 13.558 |
Rp per US$ | 13.582 |
Penutupan 1 Desember 2016 |
IHSG | |
Pekan lalu | 5.107 |
5.198 | |
Penutupan 1 Desember 2016 |
INFLASI | |
Bulan sebelumnya | 3,31% |
3,58% | |
November 2016 YoY |
BI 7-DAY REPO RATE | |
4,75% | |
17 November 2016 |
CADANGAN DEVISA | |
30 Septemb | US$ miliar 115,671 |
Miliar US$ | 115,037 |
31 Oktober 2016 |
PERTUMBUHAN PDB | |
2015 | 4,73% |
5,1% | |
Target 2016 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo