Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASAR dunia boleh gonjang-ganjing. Tapi para pelaku bisnis kargo lokal tetap tenang. Maklumlah, meski kompetisi sangat ketat, bisnis angkutan barang di dalam negeri tak selesu di pasar internasional. Pada triwulan pertama tahun ini, data PT Angkasa Pura II menunjukkan total pengiriman barang melalui udara 102,98 ribu ton, turun 12 persen dibanding periode yang sama tahun lalu (117,1 ribu ton). ”Bisnis logistik domestik tak terlalu terimbas krisis,” ujar Ketua Gabungan Forwarder, Logistik, dan Ekspedisi Perwakilan Khusus Bandara Soekarno-Hatta Arman Yahya.
Tahun ini, angkutan barang melalui udara diperkirakan tidak banyak berubah dibanding tahun lalu, yakni senilai Rp 3 triliun. Wakil Presiden Operasi RPX Holdings yang juga Ketua Umum Asosiasi Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia, Muhammad Kadrial, malah mematok target pertumbuhan 20 persen tahun ini, sama dengan 2008. Tarif perusahaan itu juga tidak akan diturunkan. ”Pemotongan tarif tidak otomatis meningkatkan penjualan perusahaan,” katanya.
Saat ini, bisnis kargo udara di Indonesia hanya dikuasai segelintir perusahaan. Pemain lokal itu antara lain RPX Holdings; Caraka, yang menggandeng DHL; PT Pos Indonesia, yang bermitra dengan TNT; Titipan Kilat (Tiki) dan Tiki JNE; serta Pandu Siwi Logistic. Mereka menguasai 80 persen pasar. Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita menyebutkan Tiki memimpin pasar dengan 20 persen, disusul Caraka (5-8 persen) dan Pandu Siwi (5 persen).
Kendati demikian, Sekretaris Eksekutif Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia DKI Jakarta Budi Wiyono mengatakan banyak perusahaan kargo lokal mulai khawatir. Ini bukan karena krisis, melainkan lebih karena gencarnya perusahaan multinasional ikut mencicipi gurihnya pasar lokal. Selain memiliki fasilitas pergudangan sehingga mengurangi biaya sewa, perusahaan asing bisa ”menalangi” biaya-biaya selama proses kepabeanan (baik resmi maupun pungli), yang kemudian dimintakan ke importir.
Alhasil, para raksasa dunia bisa mengirit waktu pengiriman. Sebaliknya, para pemain lokal terkungkung di dalam negeri karena tidak memiliki banyak modal untuk mengembangkan jaringan.
R.R. Ariyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo