Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTUR Keuangan PT Pertamina (Persero) Arief Budiman sibuk memberi penjelasan kepada para kreditor tentang kondisi keuangan perusahaan, beberapa pekan terakhir. Ia berupaya meyakinkan pemberi pinjaman bahwa ekuitas perusahaan minyak dan gas milik pemerintah itu tak limbung, seperti yang belakangan banyak diberitakan media massa."Kami bertanggung jawab bukan hanya kepada rakyat, tapi juga lenders," kata Arief kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arief sibuk menepis isu bahwa Pertamina akan bangkrut. Ia menjelaskan, perseroan memiliki fasilitas pinjaman modal kerja untuk memenuhi kebutuhan keuangan jangka pendek. Nilainya hingga US$ 5 miliar atau lebih dari Rp 72 triliun. Karena itu, ia memastikan tak ada masalah dengan keuangan perusahaan, termasuk untuk mengambil alih pengelolaan ladang minyak dan gas yang habis masa konsesinya."Isu yang berkembang seolaholah kami tidak kuat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini arus kas Pertamina ditutup dari penghasilan ladang minyak JambaranTiung Biru di Blok Cepu. Proyek hulu yang dilengkapi dengan fasilitas pengolahan ini, menurut Arief, merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, yang sedang mendampingi Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menjajaki pasar surat utang mancanegara, juga sibuk mengklarifikasi isu finansial perusahaan. Melalui layanan pesan WhatsApp, ia meyakinkan bahwa neraca Pertamina masih sangat kuat. Keuntungan dalam tiga tahun terakhir hampir Rp 90 triliun, yang berarti retain earning alias saldo laba untuk modal investasi bertambah.
Masalah keuangan Pertamina dibeberkan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, dua pekan lalu, dalam"Aksi Bela Pertamina". Mereka berunjuk rasa di depan kantor Kementerian BUMN serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Serikat pekerja menyoal kebijakan pemerintah yang menyebabkan perseroan harus menanggung selisih harga jual dengan biaya penyediaan bahan bakar minyak penugasan, yakni solar dan Premium. Harga eceran dua jenis bahan bakar itu ditentukan pemerintah dan dievaluasi saban tiga bulan.
Khusus solar masih mendapat subsidi Rp 500 per liter dengan harga jual Rp 5.150 per liter. Adapun Premium tidak bersubsidi, tapi harganya dipatok Rp 6.450 per liter. Masalahnya, menurut juru bicara Federasi Serikat Pekerja, Hendra Tria Saputra, harga itu ditetapkan sejak April 2016. Pada saat itu, harga minyak mentah berkisar US$ 37 per barel. Padahal kini harganya telah melonjak menuju US$ 70 per barel.
Pendek kata, menurut mantan Direktur Utama Pertamina, Ari Soemarno, pendapatan Pertamina dihitung berdasarkan asumsi harga minyak mentah US$ 48 per barel dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018. Padahal pengeluarannya mengacu pada harga minyak internasional yang mencapai US$ 70 per barel. Hitungan sederhananya: dengan selisih harga US$ 22 per barel, dikalikan impor 800 ribu barel per hari, berarti US$ 17,6 juta per hari biaya yang harus ditanggung Pertamina.
Tekanan pada anggaran penyediaan bahan bakar juga terjadi karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terus merosot. Pada April 2016, kurs rupiah sekitar 13.200. Kini posisinya melemah menjadi 14.400an. Dengan begitu, beban yang ditanggung Pertamina karena perbedaan harga Premium dan solar makin besar."Ini membuat Pertamina merugi," ucap Hendra, beberapa waktu lalu.
Karena itu, kepada Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar, yang menerima perwakilan serikat pekerja, mereka menuntut pemerintah menaikkan harga bensin sesuai dengan harga keekonomian. Berdasarkan hitungan Pertamina, yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Maret lalu, solar seharusnya dijual Rp 8.350 per liter, sementara Premium Rp 8.600.
Ari menambahkan, keuangan Pertamina tertekan bukan karena tekor akibat biaya pengadaan bensin saja. Surat utang (global bond) perusahaan yang akan jatuh tempo juga turut membebani, meski tak sebesar tekanan ongkos penyediaan bensin. Masalahnya, dana pinjaman tersebut tidak memberi pengembalian seperti yang diharapkan.
Dana antara lain dipakai untuk mengambil alih Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia pada 2009. Aksi korporasi dilakukan melalui anak perusahaan, yakni PT Pertamina Hulu Energi, yang mengakuisisi 10 persen saham ROC Oil Ltd. Perjanjian jualbeli ditandatangani pada 1 Mei 2009 dengan modal Aus$ 66,2 juta atau sekitar Rp 568 miliar dengan asumsi mendapatkan 812 barel per hari.
Faktanya, pada 2009, blok ini hanya menghasilkan minyak mentah ratarata 252 barel per hari. Bahkan, pada November 2010, ROC Oil Ltd menyatakan Blok BMG ditutup setelah Beach Petroleum, Sojitz, dan Cieco Energy memutuskan menyetop produksi minyak mentah dengan alasan lapangan tidak ekonomis. Kasus ini tengah diselidiki Kejaksaan Agung. Mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, ditetapkan sebagai tersangka.
Duit hasil penerbitan surat utang juga dipakai untuk mengakuisisi unit bisnis ConocoPhillips di Aljazair yang bernama ConocoPhillips Algeria Limited. Nilai akuisisi mencapai US$ 1,75 miliar atau sekitar Rp 17,5 triliun. Lewat akuisisi ini, Pertamina menguasai 65 persen saham di Blok 405a yang memiliki tiga lapangan minyak utama, yaitu Menzel Lejmat North, Ourhoud, dan EMK. Masalahnya, nilai akuisisi dianggap terlalu mahal.
Arief Budiman tak membantah kabar bahwa surat utang turut menekan arus kas perusahaan. Tapi ia meyakinkan, guncangannya tidak sebesar beban biaya pengadaan bahan bakar penugasan. Ia menjelaskan, delapan surat utang Pertamina bernilai US$ 10 miliar."Kalau yang long term cuma 1011 dari total aset 50 itu relatif tak besar. Cash flow kami positif, kami mendapat laba."
Nicke Widyawati memastikan pemerintah telah setuju menambah subsidi tahun ini. Pemerintah juga memberikan 12 wilayah kerja hulu migas yang akan meningkatkan produksi sehingga mengerek pendapatan hulu Pertamina.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya meminta Pertamina mengambil langkah untuk menjaga kesehatan perseroan. Misalnya memperbaiki tata kelola perusahaan, melakukan efisiensi, mengurangi kebocoran, hingga menghilangkan korupsi di lingkup internal. Ia menyatakan pemerintah berkomitmen membuat neraca Pertamina tetap sehat, termasuk konsekuen dengan penugasan yang telah diberikan.
Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Gigih Prakoso mengatakan berbagai upaya efisiensi telah dilakukan. Salah satunya memangkas belanja modal yang dinilai kurang penting, seperti renovasi gedung dan pembangunan apartemen karyawan.
Pada 29 Juni 2018, Rini Soemarno menjawab surat Pertamina. Prinsipnya, ia menyetujui rencana aksi korporasi untuk menyelamatkan kondisi keuangan perseroan. Salah satunya melepas sebagian kepemilikan atau share down asetaset hulu selektif dengan tetap menjaga kendali. Selain itu, spin off bisnis Refinery Unit (RU) IV Cilacap dan RU V Balikpapan ke anak perusahaan serta membuka peluang masuk mitra usaha.
Langkah ini menuai banyak protes. Federasi Serikat Pekerja Pertamina menyampaikan kepada Rini bahwa pelepasan aset berupa share down aset hulu dan spin off bisnis refinery tidak akan menyelesaikan akar masalah.
Retno Sulistyowati, Fajar Pebrianto, Caesar Akbar
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo