Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKO Susanto bingung. Satu kapal miliknya sudah tiga bulan lebih ngendon di Pelabuhan Perikanan Dobo, Kepulauan Aru, Maluku. Dua puluh anak buah kapal itu terpaksa menganggur. Sudah sejak sebelum Lebaran kapal berbobot 111 gross tonnage tersebut tak boleh berlayar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko, juragan kapal asal Tegal, Jawa Tengah, bingung karena kapal jaring insang (gill net) miliknya tak kunjung mendapat surat izin penangkapan ikan (SIPI). Ia mengaku sudah mengurus semuanya ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, termasuk membayar pungutan hasil perikanan tahun 2017 yang nilainya hampir Rp 100 juta. "Setahu saya, kalau sudah keluar bukti pembayaran, SIPI maksimal keluar 10 hari," kata Eko saat ditemui di rumahnya, Rabu pekan lalu. Eko mengurus SIPI kapalnya sejak tiga bulan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegelisahan tidak hanya melanda nelayan dan pemilik kapal yang sudah lama mengurus SIPI. Pelaksana tugas Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal, Riswanto, mengatakan, sejak One Single Submission (OSS) atau sistem perizinan terpadu secara online berlaku pada 9 Juli lalu, pengurusan SIPI makin ketat. Para nelayan diminta melengkapi dokumen hasil tangkapan ikan. Mereka harus merevisi dokumen (logbook) berdasarkan catatan nakhoda kapal.
Ada 250 kapal ikan asal Tegal yang mengurus SIPI dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) setelah OSS berlaku. Semuanya belum memperoleh SIPI ataupun SIKPI. Menurut Riswanto, sebagian pemilik kapal nekat berlayar. Sebagian lagi terpaksa bersandar di pelabuhan. Rabu pekan lalu, kapal-kapal itu berjubel di Pelabuhan Jongor, Tegalsari, Tegal.
Nasib serupa dialami Soe, 36 tahun. Soe-begitu dia meminta namanya disebut-sudah tidak melaut sejak Juli lalu. Soe adalah anak buah kapal milik Wartono. Selama kapal Wartono tidak melaut, Soe yang merawatnya. "Saya juga yang mengurus SIPI dan SIKPI-nya," tuturnya di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Soe sedang rehat di sekitar Tempat Pelelangan Ikan Unit I Pelabuhan Juwana, Ahad dua pekan lalu.
Kapal yang Soe awaki biasanya melaut sampai ke perairan Papua. Pada Juli lalu, ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan membuka counter pengukuran ulang kapal ikan, Soe ditugasi bosnya mengurus SIPI dan SIKPI. "Kapan SIPI atau SIKPI turun, ya belum tahu," ujarnya. Soe mengaku tidak mungkin nekat melaut. "Rawan ditangkap."
Sudah bolak-balik Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan tidak akan menerbitkan SIPI dan SIKPI bila pemilik kapal tidak merevisi laporan hasil tangkapan ikan mereka. Dalam sebuah video saat Susi menghadiri Festival Muara Baru 2018, Juli lalu, yang tersebar luas, dia mengatakan tidak akan menerbitkan SIPI dan SIKPI sebelum pemilik kapal datang memperbaiki laporan tersebut. "Tidak bisa intimidasi dengan bakar kapal," ucap Susi dalam potongan video itu. "Negara tidak keluarkan izin, akhirnya terbakar kapalnya. Mau bakar 100 kapal juga silakan."
Sejumlah peristiwa kebakaran kapal ikan di pelabuhan ditengarai sebagai buntut tak kunjung keluarnya SIPI dan SIKPI. Kebakaran dipicu penumpukan kapal di pelabuhan. Salah satu kebakaran terhebat terjadi di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, 9 Juli lalu. Sebanyak 39 kapal ikan terbakar di teluk tersebut.
Hasil investigasi bersama Kementerian Kelautan dan Kementerian Perhubungan menemukan ada 700 kapal di pelabuhan itu, jumlah yang berlebih untuk kapasitas Benoa yang cuma bisa menampung 300-400 kapal. Adapun 173 dari 700 kapal itu adalah kapal eks asing yang sebagian besar tak bertuan.
Susi kembali menunjukkan sikapnya tidak menerbitkan SIPI sebelum pemilik kapal merevisi laporan hasil tangkapan sesuai dengan kenyataan. Masih lewat video, tapi kali ini melalui kanal resmi milik Kementerian di YouTube, Susi menampik anggapan bahwa penerbitan SIPI lama karena kementeriannya memperlambat perizinan.
Menurut Susi, setelah membebaskan pajak hasil tangkapan ikan sepanjang 2016 dan memutihkan mark-down ukuran kapal, pemerintah menginginkan tangkapan tahun 2017 dilaporkan dengan benar. "Jangan berbohong," ujar Susi dalam video yang diunggah pada pertengahan Agustus lalu itu. "Masak, kapal purse seine ukuran 150 gross tonnage hasil tangkapannya 26 ton dalam satu tahun?"
Kementerian Kelautan menemukan kebohongan dalam laporan hasil tangkapan setelah memelototi dokumen perizinan yang diajukan pemilik kapal. Kementerian, kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar, turun ke lapangan dan mewawancarai ratusan pemilik kapal di sembilan lokasi yang mengajukan permohonan izin. "Ternyata mayoritas tidak benar laporan hasil tangkapannya. Malah tidak wajar," tuturnya, Kamis pekan lalu.
Menurut Zulficar, ada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86/ KEPMEN-KP/2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan yang mengatur hasil tangkapan minimal berdasarkan sejumlah indikator. Angka minimal itu mengacu pada alat tangkap; ukuran, bahan. dan kekuatan mesin kapal; jumlah trip per tahun; kemampuan tangkap rata-rata per trip; dan wilayah penangkapan ikan. Namun, dalam laporan pemilik kapal ketika mereka mengurus SIPI dan SIKPI perpanjangan atau baru, kata Zulficar, angka hasil tangkapan sepanjang 2017 jauh di bawah angka minimal tersebut. "Padahal ikan saat ini jauh lebih banyak dibanding beberapa tahun sebelumnya."
Riswanto mengaku agak bingung terhadap kebijakan Kementerian Kelautan yang mengharuskan pemilik kapal merevisi laporan hasil tangkapan mereka. Menurut dia, selama ini angka hasil tangkapan kapal berasal dari rekapitulasi di tempat pelelangan ikan. "Tidak pernah ada masalah selama ini," ucap Riswanto.
Di Pelabuhan Juwana, tiga kapal milik Rohman Kebo sudah tiga bulan tak melaut. Rohman masih mengoperasikan tiga kapal cantrang dengan ukuran masing-masing 90, 96, dan 60 gross tonnage. Ketiganya telah diukur ulang dan mengantongi surat keterangan melaut (SKM) serta surat pernyataan melaut (SPM).
Rohman adalah satu dari sekian banyak pemilik kapal yang telah mengantongi SPM dan SKM tapi tetap tak bisa mengirim kapalnya ke tengah laut. Rohman adalah Ketua Paguyuban Nelayan Cantrang Kecamatan Juwana. Menurut dia, ada 170 kapal yang tergabung dalam paguyuban itu dan sebagian besar tak bisa melaut karena belum mengantongi SIPI dan SIKPI.
Rohman dan anggota paguyuban mengukur ulang kapal masing-masing pada April lalu di Tempat Pelelangan Ikan Unit I Juwana. Rohman membeli alat pendeteksi kapal (vessel monitoring system/VMS) seharga Rp 60 juta untuk ketiga kapalnya. Dia pun melunasi pajak tangkapan ikan tahun 2017 senilai Rp 80 juta. Pajak lain, yaitu penggunaan VMS, yang mencapai Rp 6 juta per bulan, juga dia bayar. "Ada biaya administrasi Rp 2,9 juta juga untuk mengurus SIPI dan SIUP (surat izin usaha penangkapan ikan)," kata Rohman di rumahnya di kampung nelayan Desa Bendar, Pati, Ahad dua pekan lalu. "Tapi, sudah pajaknya mahal, eh, malah harus puasa begini."
Kementerian Kelautan tak goyah. Selama pemilik kapal tidak memberikan data tangkapan yang benar, SIPI dan SIKPI mereka tidak akan keluar. Menurut Zulficar Mochtar, para pemilik kapal yang mengurus SIPI dan SIKPI di Kementerian-dengan ukuran kapal di atas 30 gross tonnage-kini mulai melengkapi dan memperbaiki dokumen laporan tangkapan. "Kalau sudah lengkap dan memadai, tentu izin segera keluar," ujar Zulficar. Itu juga yang menjadi janji Menteri Susi Pudjiastuti.
Khairul Anam, Putri Adityowati, Fitria Rahmawati (Pati), Muhammad Irsyam Faiz (Tegal)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo