Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Detective Dee and the Mystery of the Phantom Flame
Sutradara: Tsui Hark
Skenario: Zhang Jialu, Chen Kuo-fu, Robert van Gulik
Pemain: Andy Lau, Carina Lau, Li Bingbing, Tony Leung Ka-fai
Cina, tahun 690 M.
Menjelang penobatan Maharani Wu sebagai kaisar perempuan pertama—dan satu-satunya—dalam sejarah Cina, terjadi beberapa peristiwa aneh. Dengan persiapan besar dan pembangunan patung Buddha, tiba-tiba saja, beberapa petinggi tewas. Peristiwa itu terjadi berturut-turut: ganjil dan mengerikan. Tubuh mereka begitu saja terbakar dan hangus menyisakan setumpuk abu.
Syahdan, Maharani Wu (Carina Lau) menugasi Detektif Dee (Andy Lau), seorang detektif yang dipenjara selama delapan tahun dengan tuduhan berkhianat kepada negara. Seperti tokoh detektif di zaman modern, tentu saja Dee tak populer di antara para petinggi (lelaki) yang tergiur akan satu hal: menumbangkan kekuasaan sang Maharani, karena mereka tak sudi dipimpin seorang perempuan. Hanya beberapa menit setelah dia diangkat sebagai investigator, ribuan panah menghajarnya.
Detektif Dee didampingi oleh Shangguan Wan’er (Li Bingbing), orang kepercayaan Maharani Wu, dan juga Pei Donglai (Chao Deng). Dee memulai investigasinya dengan gaya khas seorang detektif klasik: mencurigai orang-orang terdekat sang penguasa, termasuk Shangguan, perempuan cantik kepercayaan Maharani yang tangkas bertempur tapi jago merayu di tempat tidur.
Yang menarik dari film terbaru sutradara Tsui Hark ini, setiap langkah Detektif Dee melibatkan wuxia; tentu saja ada bantuan teknik CGI, tapi kelebatan dan libasan martial art Cina itu tetap menjadi daya tarik. Plot cerita yang berpusar pada "siapa yang mendalangi rangkaian pembunuhan" ini juga menggunakan teknik klasik: penonton tertipu dan dijebak ke beberapa titik dulu. Pembunuh sesungguhnya selalu dia yang tak disangka dan tampak baik hati pada awal cerita. Munculnya berbagai makhluk, seperti rusa yang mampu meramal atau manusia berwajah keledai, membuat film ini menjelma jadi ramuan thriller beraroma fantasi.
Carina Lau sebagai sang Maharani tak digarap sebagai seorang petarung seperti yang biasa kita lihat dalam film-film sebelumnya. Dia tampil anggun dan dingin. Sinar yang terpancar dari ekspresinya bukan kecantikan seorang dewi, melainkan kecemasan seorang perempuan yang kekuasaannya selalu didera musuh-musuhnya hanya karena persoalan gender. Sedangkan Andy Lau, dibanding penampilannya dalam House of Flying Daggers, dalam film ini tak memiliki ruang untuk lebih dramatik.
Pada akhirnya, setelah keberhasilan film Crouching Tiger, Hidden Dragon (Ang Lee) serta Hero dan House of Flying Daggers (Zhang Yimou), film-film silat Cina yang ingin melibatkan kedahsyatan dan keindahan wuxia menjadi epigon yang belum bisa mengulang—apalagi menandingi—gebrakan Ang Lee. Bukan hanya persoalan bagaimana martial art bisa disajikan seperti butir-butir puisi, tapi juga bagaimana membuat cerita dongeng masa lalu itu bisa tetap relevan dan melibatkan persoalan politik dan intrik istana dengan menarik.
Plot film ini—ditulis oleh tiga orang—sudah memberikan sesuatu yang menjanjikan: upaya makar di dalam Kekaisaran Cina dan mengendus dalangnya. Tapi membangun keingintahuan dan ketegangan tidak cuma membutuhkan kemampuan menggarap adegan perkelahian yang dahsyat, tapi juga memerlukan ketelitian menggabungkan cerita dan martial art dengan gambar (yang menarik dan relevan). Dalam hal ini, Tsui Hark berada di belakang Ang Lee dan Zhang Yimou.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo