Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEJOLAK pasar finansial global sudah mereda. Tapi investor yang menaruh uang di Indonesia masih harus waspada. Setelah pasar global kembali stabil, ada dua indikator penting yang masih bergerak negatif: kurs rupiah dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah bertenor 10 tahun yang menjadi rujukan pasar.
Nilai rupiah pelan-pelan terus merosot. Kamis pekan lalu, Bank Indonesia menjual US$ 1 dengan harga Rp 13.733-sebulan sebelumnya masih Rp 13.400. Sedangkan yield obligasi pemerintah terus menanjak menjadi 6,6 persen pada akhir pekan lalu. Jika yield melonjak, berarti harga obligasi turun. Dus, kepercayaan investor kepada pemerintah menurun. Pasar menilai ada risiko lebih besar untuk memberi pinjaman kepada Indonesia sehingga menuntut imbal hasil yang lebih besar. Pada awal tahun ini, yield ini cuma 6 persen.
Setidaknya ada tiga hal yang kini menjadi perhatian investor. Pertama, pergulatan antarpartai dalam pencalonan presiden membuat investor mulai mengambil langkah lihat dan tunggu. Kedua, kecenderungan kenaikan bunga di Amerika. Ketiga, likuiditas global yang mengering. Tak ada lagi dana berlimpah masuk ke pasar finansial menelan berbagai aset dengan agresif.
Resultante dari ketiga faktor itu membuat Indonesia menjadi "korban" ketika ada pergeseran dana investasi. Pasar negara berkembang memang masih menjadi tujuan investasi favorit. Namun pergeseran alokasi investasi juga terjadi di dalam keranjang sesama negara berkembang. Ada persaingan keras dalam perebutan dana investor. Di Asia, India dan Cina masih menjadi tujuan favorit. Sedangkan Indonesia kini harus bersaing ketat dengan empat negara sesama anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang dianggap satu kelas, yakni Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Posisi Indonesia makin menurun kendati sudah mengantongi peringkat layak investasi dari semua lembaga pemeringkat utama. Sejak 2013, menurut laporan Financial Times Confidential Research, tiga negara ASEAN pesaing Indonesia menikmati pertumbuhan masuknya aliran dana investasi portofolio, terutama Thailand. Vietnam menurun sedikit, tapi bisa dibilang relatif stagnan. Dana investasi portofolio justru mengalir keluar dari Indonesia dalam jumlah signifikan, hampir US$ 100 miliar.
Itu semua menunjukkan bahwa, dalam percaturan pasar finansial global, ekonomi Indonesia sedang berada dalam tekanan. Sepertinya cadangan devisa yang kini mencapai US$ 130 miliar masih cukup untuk menjadi amunisi sehingga tekanan itu tidak meledak menjadi krisis. Tapi, masalahnya, tekanan buat Indonesia terus membesar. Sumber masalahnya belum teratasi.
Biang keladi persoalan adalah defisit neraca transaksi berjalan yang secara konsisten terjadi sejak berakhirnya booming komoditas pada 2011. Sejak 2012 sampai sekarang, neraca transaksi berjalan Indonesia negatif. Tahun lalu, misalnya, tercatat minus US$ 17,3 miliar. Banyak teori mengatakan neraca transaksi berjalan yang negatif tidak menjadi masalah sepanjang sumber defisit itu merupakan aset produktif yang akan melonjakkan produktivitas negara itu pada jangka panjang.
Di sinilah perlu ada penelitian yang cermat. Betulkah ekonomi Indonesia mampu memikul defisit neraca transaksi berjalan yang begitu konsisten dan sampai seberapa lama? Dalam jangka pendek, dampak defisit ini sudah langsung terasa dalam bentuk penurunan nilai rupiah yang persisten. Kepercayaan investor sepertinya juga terganggu. Itulah yang tecermin pada tingginya yield. Di Thailand, yield instrumen yang setara hanya 2,44 persen versus Indonesia 6,6 persen. Yang paling krusial, semoga tekanan yang terus membesar itu betul-betul dapat terbendung, tidak meledak menjadi krisis.
Yopie Hidayat - Kontributor Tempo
Kurs | |
Pembukaan 16 Februari 2018 13.570 | 13.570 |
Rp per US$ | 13.670 |
Pembukaan 23 Februari 2018 |
IHSG | |
Pembukaan 16 Februari 2018 | 6.615 |
6.608 | |
Pembukaan 16 Februari 2018 |
Inflasi | |
Bulan sebelumnya | 3,61% |
3,25% | |
Januari 2018 YoY |
BI 7-Day Repo Rate | |
4,25% | |
18 Januari 2018 |
Cadangan Devisa | |
29 Desember 2017 | US$ 130,196 miliar |
Miliar US$ | 131,980 |
31 Januari 2018 |
Pertumbuhan PDB | |
2017 | 5,05% |
5,4% | |
Target 2018 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo