Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBIT pada November tahun lalu, polemik impor tembakau masih panas hingga berganti tahun. Kehebohan itu merembet sampai ke ruang rapat Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Pada akhir Januari, Enggar mengundang sejumlah asosiasi petani dan masyarakat pertembakauan.
Dalam rapat tersebut, Enggar menjelaskan isi pengaturan impor tembakau yang ia teken pada 2 November 2017. Rapat mulanya adem-ayem sampai kemudian Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno bicara. Dalam rekaman rapat yang diperoleh Tempo, Soeseno mengkritik habis kebijakan Enggar. "Apa Bapak bisa menjamin kesejahteraan petani naik setelah impor tembakau diatur? Kenapa tidak diatur kemitraannya dulu?" kata Soeseno kepada Enggar.
Ditentang habis, Enggar sempat naik pitam. "Bapak ini mewakili petani atau perusahaan?" Tidak mau memperpanjang perdebatan, Enggar buru-buru menutup rapat. Belakangan, ia sadar APTI sudah terbelah dua: yang dibina perusahaan rokok dan tidak. Di hadapan peserta rapat, dia bilang akan mengundang perwakilan APTI lainnya. "Ternyata saya salah mengundang." Soeseno mengakui perdebatan dia dengan Enggar. "Menteri memang mengatakan seperti itu," ujarnya.
Sejak terbit pada November tahun lalu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau langsung memantik polemik. Industri rokok keberatan. Sebab, Kementerian Perdagangan mewajibkan perusahaan pengimpor tembakau-juga berlaku untuk importir umum-menyerap dulu tembakau petani lokal. Jenis tembakau impor yang diatur merupakan komponen pokok dalam sebatang rokok yang beredar di pasar: Virginia, Burley, dan Oriental. Jenis Virginia dan Burley sudah bisa ditanam di Indonesia, tapi produksinya belum mencukupi.
Aturan itu terbit setelah Kementerian Perdagangan melihat banyak hal ganjil dalam industri rokok nasional. Indonesia punya keunikan produk dalam bentuk sigaret kretek-Dewan Perwakilan Rakyat memasukannya sebagai warisan budaya dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertembakauan. Tapi kretek zaman sekarang banyak menggunakan tembakau impor. "Tren impor tembakau meningkat terus," ucap Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Tembakau Virginia mendominasi impor. Pada 2015, nilai impornya mencapai US$ 221,7 juta dengan volume 38.180 ton. Disusul jenis Oth sebanyak 12.300 ton dengan nilai US$ 90,2 juta, tembakau Oriental sebanyak 8.700 ton senilai US$ 61,3 juta, dan tembakau Burley 4.430 ton senilai US$ 26,512 juta.
Industri rokok keberatan dengan pengaturan itu. Dengan jalan memutar, mereka menolak melalui asosiasi-asosiasi. Di antaranya Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Ketua Umum Gaprindo Muhaimin Moeftie mengakui asosiasinya menyurati Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution untuk meminta aturan itu ditunda. "Kami tembuskan ke Presiden," kata Moeftie di kantornya, gedung Sucofindo, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu.
Disurati dari mana-mana, Darmin kemudian meminta Enggar menunda aturan impor tembakau tersebut. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan surat Darmin itu masuk pada awal Januari. "Memang diminta menunda, tapi kami jalan terus," kata Oke di kantornya, Selasa pekan lalu. Kementerian Perdagangan, menurut Oke, sudah melayangkan permohonan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai agar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2017 bisa segera diterapkan.
Asisten Deputi Peningkatan Ekspor dan Fasilitasi Perdagangan Internasional Kementerian Koordinator Perekonomian Sukma Ningrum mengatakan kementeriannya meminta penundaan tersebut bukan hanya karena desakan dari asosiasi. Terbitnya Peraturan Nomor 84 itu juga tanpa koordinasi dengan Kementerian Koordinator Perekonomian. "Padahal, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2017, itu mesti dikoordinasikan dulu," kata Ningrum, Kamis pekan lalu.
Instruksi presiden tersebut memang mengatur bahwa setiap kebijakan strategis dan berdampak luas yang akan dikeluarkan menteri harus dimintakan pertimbangan tertulis kepada menteri koordinator. Enggar mengakui koleganya di kabinet meminta Peraturan Nomor 84 ditunda. "Tapi sudah saya jelaskan ke Pak Darmin," katanya.
Enggar menyebutkan kewajiban menyerap tembakau lokal itu akan melindungi petani. Ia berharap, dengan adanya kewajiban serap itu, perusahaan mau tak mau akan memperbanyak mitra petani agar bisa mendapat pasokan tembakau lokal sesuai dengan standar pabrikan.
Penolakan datang dari Senayan, tempat Dewan Perwakilan Rakyat berkantor. Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Pertembakauan Firman Subagyo mengatakan Enggar mencolong start. "Enggar ini menyalip di tikungan, seolah-olah tampil jadi hero," ucapnya. Menurut Firman, kewajiban serap dan pengaturan impor sebetulnya sudah dimasukkan oleh Pansus ke RUU Pertembakauan yang menjadi usulan DPR sejak 2015. Usulan DPR juga diklaim lebih komprehensif karena memperhatikan tembakau dari hulu sampai hilir.
NIAT Kementerian Perdagangan mengatur impor tembakau sudah bulat sejak awal tahun lalu. Seorang pejabat di Kementerian Perdagangan mengatakan mereka mendapat informasi bahwa Philip Morris, pemilik PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), mengoperasikan ribuan hektare lahan tembakau di luar negeri. Hasilnya kemudian diimpor oleh Indonesia.
Kementerian Perdagangan geram karena jenis tembakau yang dibudidayakan Philip Morris bisa ditanam di Indonesia. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan membenarkan memang ada praktik culas perusahaan rokok, dengan cara mengimpor tembakau yang mereka budi dayakan sendiri di luar negeri. Bahkan, menurut Oke, ada tembakau khas Indonesia yang ditanam di luar negeri. "Mereka memanfaatkan pasar kita yang besar karena di luar sana sudah diusir-usir," ucapnya. "Tapi saya tidak mau sebutkan nama perusahaannya."
Enggar enggan menanggapi dugaan bahwa Philip Morris mengimpor tembakau dari kebun sendiri di luar negeri. "Sebaiknya konfirmasi ke mereka," ujarnya. Enggar mengatakan kebijakan perusahaan mempunyai kebun di luar negeri lalu mengimpornya ke Indonesia sebetulnya sah-sah saja. "Tapi izinkan kami mengatur impor mulai sekarang untuk melindungi petani lokal."
Head of Fiscal Affairs & Communications Sampoerna Elvira Lianita membantah kabar bahwa perusahaannya memiliki perkebunan tembakau di luar negeri untuk memasok kebutuhan impor. "Perusahaan kami tidak pernah dan tidak memiliki perkebunan tembakau di Cina ataupun di negara lain, termasuk di Indonesia," ujarnya dalam jawaban tertulis. Menurut Elvira, mayoritas pasokan tembakau Sampoerna berasal dari petani mitra melalui program sistem produksi terpadu. Elvira mengklaim perusahaannya sudah bermitra dengan 27.500 petani tembakau dengan luas lahan 24.500 hektare.
Munculnya nama Philip Morris-yang juga produsen Marlboro-sebagai alasan di balik penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2017 merebakkan isu persaingan pabrikan rokok. Pemilik saham Sampoerna itu tercatat sebagai penguasa pasar sigaret kretek mesin berkadar nikotin dan tar rendah-lebih dikenal dengan rokok mild. Ini adalah jenis rokok yang rakus tembakau impor karena ringan dan mudah terbakar.
General Affairs Pabrik Rokok Sukun, Agus Sardjono, mengatakan, di setiap batang rokok mild, ada 40 persen tembakau impor. "Maksimal segitu," tuturnya, Rabu pekan lalu. Komposisi impornya lebih tinggi lagi di rokok putih. Tapi, menurut Agus, pengaturan impor tembakau tidak hanya memukul Philip Morris dan industri rokok putih. Pengaturan itu juga menembak industri rokok kretek, termasuk Sukun. Alasannya, ujar grader tembakau tersebut, sigaret kretek mesin jenis full flavor alias kretek filter pun rakus tembakau impor. "Komposisinya 30 persen impor," kata Agus. "Jadi semua kena."
Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, mengatakan meningkatnya impor tembakau dimulai setelah Philip Morris mengakuisisi Sampoerna pada 2005. Kenaikan impor juga seiring dengan naiknya pamor sigaret kretek mesin (SKM). Mengacu pada data Badan Kebijakan Fiskal, pangsa pasar kretek mesin mencapai 73 persen dari 438 miliar batang rokok yang diproduksi pada 2015. Kretek tangan hanya menggenggam 21 persen, sisanya 6 persen rokok putih. Total kenaikan pangsa pasar kretek mesin sebesar 10 persen mulai 2010 sampai 2015.
Pamor SKM makin naik karena keberhasilan industri membentuk selera konsumen. Pabrikan, kata Ahsan, juga lebih menyukai kretek mesin karena irit tenaga kerja, tidak boros buruh seperti kretek tangan. "Semua iklan rokok sekarang menyasar anak muda. Tidak ada yang menyasar konsumen kretek tangan," ujar Ahsan. Efeknya berganda. Tenaga kerja makin sedikit, kebutuhan tembakau lokal makin sempit.
Saat ini, kata Ahsan, dari 73 persen pangsa sigaret kretek mesin, sebanyak 63 persen dikuasai perusahaan golongan I, yaitu dengan produksi di atas 3 miliar batang per tahun. Di spot inilah berkumpul 14 perusahaan jumbo, termasuk Philip Morris, Djarum, dan Gudang Garam. "Trennya sama saja sampai sekarang," ujar Ahsan di kantornya, Selasa pekan lalu.
Ahsan, yang rajin meneliti industri rokok nasional, menyimpulkan, 14 perusahaan itulah yang menguasai pasokan tembakau. "Pasar input ini tidak bisa bersaing sempurna," tuturnya. Dampaknya, posisi tawar petani tembakau kian rendah. Praktik jual-beli tembakau saat ini, menurut Ahsan, juga tidak menguntungkan petani. Sebab, kualitas tembakau ditentukan oleh selera grader dari pabrik.
Ahsan menyebutkan, itulah anomali industri rokok nasional. Yang menanam tembakau petani lokal, yang merokok konsumen nasional, tapi yang banyak dipakai tembakau internasional. "Tidak mungkin perusahaan rokok jadi sinterklas dengan membeli daun tembakau lokal yang lebih mahal," ujarnya.
Khairul Anam, Putri Adityowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo