Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Petani Terjepit Regulasi

25 Februari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo Siswoyo enggan menandatangani notulensi rapat pembahasan rancangan aturan pembatasan impor tembakau. Berlangsung di kantor Kementerian Perdagangan pada Oktober tahun lalu, Budidoyo menilai aturan yang dibahas pada pertemuan itu salah sasaran. "Yang jadi masalah, tembakau lokal ini kurang," kata Budidoyo saat ditemui Rabu pekan lalu. "Kalaupun terserap, harganya tak sesuai dengan harapan petani." Itu sebabnya, ia mengusulkan pemerintah lebih dulu memangkas rantai tata niaga tembakau, bukan membatasi impor.

Produksi tembakau Tanah Air tak pernah mencukupi kebutuhan industri rokok dan cerutu. Tembakau yang dihasilkan dari luas area kebun 206.337 hektare pada 2016 hanya 196.154 ton. Sedangkan kebutuhan rata-rata industri mencapai 250-300 ribu ton per tahun. Walhasil, industri harus mengimpor 52 ribu ton tembakau kering dari berbagai negara.

Petani lokal sebetulnya telah menanam tembakau Virginia dan burley di beberapa wilayah. Namun hasilnya tak cukup menopang kebutuhan. Pada 2015, perkebunan tembakau milik rakyat di Jawa Timur, Bali, dan Lombok hanya menghasilkan 38.371 ton tembakau Virginia. Adapun produksi tembakau Burley di Jawa Timur hanya 1.417 ton. Padahal, menurut Budidoyo, semua pabrik rokok menggunakan dua jenis tembakau itu sebagai campuran.

Mahalnya ongkos produksi tanam tembakau juga membuat petani makin tertekan. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan, selain tak bisa ditanam di sembarang ketinggian, tembakau memerlukan pengeringan khusus. Biaya pengeringan tembakau Virginia cukup mahal dibanding harga jual produksi sehingga banyak petani merugi. Di Lombok, petani tak bisa lagi menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar pengasapan. "Banyak petani tembakau Virginia di Jawa Timur kini memilih menanam tembakau Jawa," ujar Soeseno.

Menurut Soeseno, setiap pabrik rokok menggunakan campuran 7-17 jenis tembakau dalam setiap produksi. Tembakau varietas lokal, seperti tembakau Jawa, kasturi, paiton, dan besuki, biasanya dipakai untuk tambahan aroma. Itu sebabnya petani khawatir, apabila tembakau varietas asing, seperti Virginia, Burley, dan Oriental, dibatasi, serapan tembakau varietas lokal ikut berkurang. "Kalau tiga ini dikurangi, pasti tembakau lain akan dikurangi juga komposisinya."

Petani juga kesulitan menjual harga hasil panen mereka dengan harga tinggi. Rata-rata harga tembakau di tingkat petani adalah Rp 40-60 ribu per kilogram. Mereka tak dapat menyetor langsung kepada pabrik. Petani harus menyetor tembakaunya kepada pengepul, pedagang besar, lalu kepada grader.

Grader inilah yang akan menilai kualitas tembakau berdasarkan elastisitas, aroma, dan warna. Grader juga mampu melakukan pengeraman tembakau bertahun-tahun agar kualitasnya makin bagus. Harga tembakau kering di tingkat ini meningkat 30-50 persen dari harga pokok petani. "Rantai pemasaran panjang membuat petani berada di posisi paling lemah," kata Soeseno.

Ketimbang membatasi impor, AMTI dan APTI meminta pemerintah segera mewajibkan program kemitraan kepada perusahaan rokok. Dengan pembinaan teknis dari industri, kesejahteraan petani akan lebih terjamin. Rantai niaga tembakau hanya tersisa tiga lapis, yaitu dari petani, vendor atau grader, lalu pabrik. Petani tak perlu khawatir merugi jika hasil panennya tak bagus karena telah memiliki pembeli tetap.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia Muhaimin Moefti mengatakan sebagian perusahaan rokok telah melaksanakan program kemitraan. Bentoel, misalnya, menjalankan pembinaan terhadap petani sejak 1970. Sampoerna dan Djarum melakukan hal serupa. Perusahaan merasa untung lantaran mendapat suplai sesuai dengan kualitas yang diinginkan. "Tak ada masalah selama ada lahan, petani, dan dukungan pemerintah daerah."

Putri Adityowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus