Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Dangdut goyang terus pop kok loyo

Musik dangdut kini merajai bisnis kaset. lantaran itu, bisnis musik pop indonesia jadi loyo. "ini kenyataan pasar, bung!" kata pengedar kaset di glodok, jakarta.

16 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DANGDUT bergoyang terus. Musik pop jadi loyo. Bahkan Musika Studio, perusahaan rekaman kelas wahid yang kondang memproduksi lagu-lagu "elite" milik Chrisye, Trio Libels, atau Ruth Sahanaya, kini ikut-ikutan berdangdut. Musika terpaksa memangkas jumlah produksi lagu pop dari tiga menjadi satu per bulan. Itu pun tanpa kepastian kapan diedarkan. Sebab, sejumlah kaset, seperti album Jamal Mirdad, Denny Malik, dan Hetty Koes Endang yang sudah siap diedarkan, terpaksa ditunda. "Menunggu situasi menguntungkan," kata staf bagian promosi Musika, Henry Sinyang. Latah? "Ini kan bisnis. Jadi, lumrah saja kami ikut meramaikan dangdut," komentar Henry. Hal yang sama dialami Naviri Record. Perusahaan rekaman yang pernah memproduksi kaset lagu Fariz R.M. dan Imaniar ini sejak dua tahun silam mengubah haluan. Khusus memproduksi dangdut. Meski belum sampai mati angin, musik pop jelas terdesak. Karena, menurut Direktur Utama Naviri, Dharmawan, harga kaset dangdut relatif lebih murah ketimbang lagu pop. Dan ketika dangdut sedang boom seperti sekarang ini, posisi musik pop jadi serba repot. Dari bawah didesak dangdut, dari atas ditekan kaset lagu Barat. Maka, tak ada pilihan lain kecuali mengerem pop. Sebab, ongkos produksi lagu pop terbilang mahal, sekitar Rp 40 juta per album. Sedangkan ongkos produksi dangdut, kata Dharmawan, paling banter Rp 5 juta. Coba saja, honor penyanyi baru cuma Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Honor musisi pengiring, yang bisa dicomot dari kampung-kampung itu, antara Rp 2 juta dan Rp 3 juta. Rekaman bisa diatur. Dharmawan bahkan hanya perlu satu musisi yang ahli memainkan berbagai alat musik. Misalnya, hari ini pengisian suara bas dan gitar, besoknya disisipkan suara drum atau organ. Musisi serba bisa itu dikasih honor Rp 1 juta. Bagaimana kaset digarap, tak soal buat Naviri. Toh kalau lagu disukai, kaset bakal meledak. Tengok saja lagu Mabuk Judi. Siapa yang kenal penyanyinya, Cucu Chayati? Dia pendatang baru. Tapi, karena lagunya disukai, kaset pun laris sampai 300.000 biji. Cucu mendapat hadiah mobil Kijang dari Naviri. Tapi tak semua produser memakai cara kerja Naviri, walau memang mereka lebih suka memburu penyanyi baru karena honornya murah. Di bidang perdangdutan, JK Record, perusahaan rekaman yang dikenal cerdik menjaring penyanyi cantik bersuara standar itu, lebih berpengalaman. Tahun 1988 JK menggebrak dunia dangdut lewat penjualan 800.000 kaset lagu Di Mana Ada Kamu Di Situ Ada Aku, yang dinyanyikan Heidy Diana. Ini rekor dangdut yang mungkin tak tertandingi sampai saat ini. Selain mengincar penyanyi baru, JK juga berhasil menggaet penyanyi ternama Camelia Malik -- honornya Rp 30 juta per album -- yang diam-diam juga diincar Musika. Ini terang bukan bisnis murah. Soalnya, khusus untuk lagu ini para penciptanya terdiri dari musisi pop seperti Deddy Dhukun, Achmad Albar, dan Ian Antono. Bahkan penata musik untuk album terakhir Camelia yang berjudul Kedapkedip ini dikerjakan oleh Harry Anggoman, anggota grup rock Gong 2000. Namun, tak jelas apakah kontribusi para pencipta lagu itu ke dunia dangdut karena musik pop sedang lesu atau mereka ingin meningkatkan kualitas dangdut. Nyata bahwa TVRI menjadi media ampuh untuk promosi. Aneka Ria Safari, Aneka Ria Safari Nusantara, Irama Masa Kini, Kamera Ria, Album Minggu, dan Panggung Hiburan Anak-Anak, selalu ramai dangdut. Begitu ramainya sampai pernah terjadi, dalam acara Album Minggu, dari 16 lagu, yang pop cuma satu. Inilah yang bikin pemirsa jengkel, sampai muncul surat pembaca yang menuding TVRI kejam karena tak memberi porsi adil bagi penggemar musik bukan dangdut. Padahal, ia juga membayar iuran TV. TPI juga mempunyai sarana dangdut, Nuansa Musik dan Musik Musik. Tiket tampil di TPI lebih murah (tapi resmi), yakni Rp 2,5 juta plus bonus sekali tampil lagi. Sedang di TVRI lebih mahal (dan setengah resmi), sekali tampil harganya Rp 4-5,5 juta. RCTI, yang semula melarang dangdut, belakangan ikut menayangkan video clip dangdut, misalnya dari penyanyi pendatang baru Basofi Sudirman, wagub DKI yang juga Ketua DPD Golkar DKI. Tak jelas berapa mesti membayar, tentunya paling mahal dibandingkan dua stasiun televisi tadi. Sebetulnya, di kalangan koordinator acara TVRI sudah ada aturan main, yakni tayangan dangdut tak boleh lebih dari 30%. Kenyataanya dangdut mendominasi hampir 75% acara musik. "Dangdut sedang trendy. Kami menyesuaikan dengan selera masyarakat," kata Kepala Seksi Perencanaan Musik dan Hiburan TVRI, Hoediono Drajat, kepada Heri Wardoyo dari TEMPO. Tak ada yang bisa meramalkan sampai kapan dangdut mendominasi pasar. Tapi Camelia Malik menganggap Indonesia sudah saatnya membawa dangdut go international. Mia, begitu ia akrab dipanggil, adalah penyanyi dangdut pertama yang tampil di Shibuya Hall, Jepang. Penggemar dangdut di Jepang, katanya, amat besar. Kalau tidak, mana mau mereka mengundang penyanyi-penyanyi Indonesia. Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus