Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membaca tulisan "Sabtu atau Ahad, apa Salahnya?" (TEMPO, 18 April 1992, Agama), terbayang oleh saya betapa bingungnya umat Islam Indonesia waktu itu. Sebagian ada yang ikut salat Ied pada hari Sabtu karena khawatir haram bila tetap berpuasa. Lainnya tetap berpuasa karena belum pasti hari Sabtu itu 1 Syawal. Bagi umat Islam di negara-negara nonmuslim hal itu lazim terjadi karena tidak adanya otoritas yang mempersatukan mereka. Tapi mengapa hal itu bisa terjadi di Indonesia, yang pemerintahnya mempunyai otoritas yang bisa mempersatukan umat? Kalau semua pihak bisa bekerja sama, mestinya kesaksian melihat hilal seperti yang dilakukan pengamat NU itu bisa dilaporkan kepada Pemerintah untuk menjadi bahan pertimbangan. Terlepas dari kesulitan menginformasikan kesaksian melihat hilal kepada Pemerintah, hal penting yang harus dilakukan sebelum mengumumkan kepada masyarakat luas adalah menentukan terpercaya atau tidaknya kesaksian itu. Saya sendiri mempertanyakan kesahihan kesaksian tim NU itu. Menurut hisab yang saya lakukan dengan data dari Astronomical Almanac, bulan terbenam lebih awal daripada matahari di sebagian besar wilayah Indonesia, kecuali Sumatera Utara dan Kalimantan Utara. Untuk daerah Jawa Timur, misalnya, matahari terbenam sekitar pukul 17.36, sedangkan bulan sudah terbenam pukul 17.33. Bagaimana hilal bisa teramati selama 11 menit pada Jumat 3 April itu? Data kesaksian yang menyatakan ketinggian hilal 2,8 derajat saya kira bukan hasil pengukuran langsung, tetapi hasil perhitungan dari data 11 menit itu (11 menit/24 jam x 360 derajat). Menjadi pengamat hilal pada saat ini harus benar-benar terlatih. Soalnya, banyak obyek yang tampaknya bercahaya seperti hilal. Pengamat yang tak terlatih dan tak dibekali data posisi matahari dan hilal yang cermat akan mudah terkecoh oleh obyek seperti awan, perahu nelayan, pesawat terbang, atau obyek lain yang kebetulan berada dekat tempat matahari terbenam. Konfirmasi yang harus dilakukan adalah menanyakan posisi dan bentuk hilal yang terlihat itu. Juga tentang dipakai atau tidaknya teropong untuk meyakinkan bahwa itu benar-benar hilal. Tanpa konfirmasi itu, saya khawatir kesaksian hanya disebabkan kekeliruan saja. Dari pengalaman yang membingungkan itu, saya rasa metode rukyatul hilal harus ditinjau lagi. Saat ini rukyatul hilal dihadapkan pada masalah yang jauh lebih banyak daripada zaman awal perkembangan Islam. Orang-orang dulu sangat terlatih mengenal alam, paham betul mana hilal awal Ramadan dan mana hilal akhir Syaban. Sekarang tak banyak lagi orang yang memperhatikan langit. Gangguan pengamatan juga lebih banyak. Polusi udara dan cahaya menghambat pengamatan hilal dari dalam kota. Pesawat terbang atau perahu layar di kaki langit, misalnya, bisa saja tampak seperti hilal. Kalau demikian, perlu dicari tempat pengamatan yang relatif bebas dari gangguan itu, yaitu jauh dari kota. Tapi sulit menyampaikan informasi dengan cepat. Sempitnya waktu dalam pengambilan keputusan sering membuat kurang hatihati dalam mengkonfirmasikan sahih tidaknya kesaksian hilal. T. DJAMALUDDIN Dept. of Astronomy Kyoto University Sakyoku Kyoto Japan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo