Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tjahjono Kesandung Kerikil

Direktur Utama Indosat Tjahjono Surjodibroto mundur. Selain gara-gara dividen, sejumlah langkah Tjahjono dinilai merugikan Indosat. Bagaimana nasib direksi dan komisaris yang lain?

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB proyek pemipaan gas dari Natuna Barat ke Singapura tetap saja terkatung-katung. Hingga akhir pekan lalu, pemerintah belum menentukan sikap, apakah menyetujui keinginan DPR agar kemenangan McDermott Indonesia dalam tender pemipaan gas itu dibatalkan atau mendukung Pertamina dengan mengukuhkan McDermott sebagai pemenang yang sah. Melalui sebuah surat yang agak membingungkan, pemerintah malah menegaskan sikapnya yang tidak jelas. Surat yang dikirimkan Sekretaris Pengendalian Operasi Pembangunan Sintong Panjaitan itu merupakan jawaban atas pertanyaan Martiono Hadijanto. Pekan terakhir Agustus lalu, Direktur Utama Pertamina itu minta petunjuk Presiden bagaimana mestinya menjawab permintaan DPR. Dan Presiden, entah mengapa, melalui Sintong, cuma menjawab singkat, "Atas instruksi Presiden, proyek pipanisasi gas Natuna Barat harus diteruskan sesuai dengan jadwal, melalui tender yang terbuka dan transparan, sehingga pemenangnya terbebas dari tuduhan korupsi, kolusi, dan nepotisme." Surat singkat ini, oleh pihak-pihak yang berselisih, diartikan secara berbeda. Bagi Pertamina, surat itu jelas merupakan petunjuk bahwa tender yang dimenangi McDermott sudah final. Menurut jadwal, proyek pemipaan itu ditargetkan kelar dua tahun lagi, sehingga pada 2001 kelak sudah siap membawa gas dari sumur Natuna ke Singapura. Tender ulang hanya akan mengulur jadwal proyek empat sampai enam bulan ke muka, dan akibatnya target penyelesaian bisa molor lebih lama. Lagi pula, McDermott merupakan peserta tender yang memberikan penawaran biaya paling murah. Ini bisa menjadi petunjuk bahwa tender sudah digelar secara adil dan terbuka. Tapi, bagi DPR, surat Sintong itu justru menjadi petunjuk bahwa tender proyek pemipaan Natuna ini harus diulang. Soalnya, dalam PT McDermott Indonesia masih terdapat penyertaan modal pengusaha Mohamad Hasan, teman main golf Pak Harto. Menurut anggota DPR, Bob masih punya 18,46 persen saham di McDermott. "Masa, orang yang sudah bertahun-tahun merugikan negara masih juga diberi kesempatan," kata anggota Komisi V, Priyo Budi Santoso. Priyo juga mengungkapkan bagaimana perilaku McDermott di masa Orde Baru yang merugikan negara. Dalam banyak proyek, McDermott memberikan penawaran tertinggi tapi tetap saja menang tender. Dalam tender proyek North Sumatra Offshore 1997, misalnya, McDermott menang kendati memberikan penawaran biaya tertinggi melebihi Saipem dan Bouygues Offshore. Priyo yakin, pada sembilan proyek Pertamina yang kini ditangani McDermott sejak 1990, perusahaan yang berbasis di AS ini selalu mendapatkan perlakuan istimewa. Di proyek Natuna Barat, Komisi V juga melihat ada kejanggalan. McDermott semula menawarkan US$ 510 juta, lebih tinggi ketimbang Saipem (US$ 373 juta), Buana Mekanika (US$ 383 juta), dan Nippon Steel Construction (US$ 485 juta). Tapi, entah mengapa, tiba-tiba tawaran McDermott meluncur jatuh sampai US$ 335 juta. Setelah diselidiki, DPR menyimpulkan bahwa McDermott memangkas biaya survei berkat informasi orang dalam. Salah satu pemimpin konsorsium pemilik proyek (Conoco-Gulf dan Primer) ternyata bekas direksi McDermott. Atas dasar itulah DPR merekomendasikan agar kontrak tersebut dibatalkan dan dilakukan tender ulang tanpa menyertakan McDermott. Tapi naga-naganya Pertamina tetap akan mempertahankan McDermott. Menurut Martiono, selain penawaran McDermott terendah, risiko penalti jika kontrak dibatalkan sangat besar. Kerugian lain, jika Indonesia melewati tenggat 14 April 2001, Sembawang Gas sebagai pembeli akan memutus kontrak pembelian. Martiono menjelaskan, penalti yang harus dibayar Pertamina mencapai US$ 368,6 juta. Jika Sembawang juga membatalkan jual-beli, Indonesia bakal kehilangan pendapatan US$ 3,6 miliar sampai US$ 7 miliar selama 22 tahun. "Jika kontrak itu tak jadi, setiap tahun gas senilai US$ 100 juta terbakar percuma," katanya. Walhasil, titik terang pipa Natuna ini agaknya masih jauh. Padahal, makin lama persoalan ini digantung, risiko Pertamina dan pemerintah Indonesia kian besar. Risiko yang paling besar, investor akan melihatnya sebagai ancaman kepastian berusaha. Pilihan memang tak banyak dan waktu sudah mendesak. Tapi Priyo dan anggota Komisi V lainnya juga tak mau menyerah. "Jika tak selesai sekarang, periode nanti akan kami gugat lagi," katanya. Mardiyah Chamim, Dewi Rina Cahyani, Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus