Di tengah riuh-rendah skandal Bank Bali, jajaran direksi Bank Lippo tiba-tiba nongol di DPR. Ada apa? Menjelaskan soal Lippogate? Ternyata tidak. Dalam pertemuan dengar pendapat dengan DPR, Selasa pekan lalu, manajemen Bank Lippo cuma ditanya soal kesiapannya menghadapi rekapitalisasi perbankan. Ihwal gosip Lippogate untuk sementara belum diutak-atik.
Setelah skandal Bank Bali alias Baligate yang menggegerkan itu, sebagian orang kini sedang mengorek-ngorek apa itu Lippogate. Selembar selebaran yang belakangan ini beredar luas menyebut bahwa bank swasta terbesar keempat itu memberikan sumbangan kepada satu partai politik dengan jumlah melebihi ketentuan. Orang pun kemudian berbisik, "Ada money politics di Lippo persis seperti Bank Bali."
Benarkah? Untuk sementara, memang, tak ada bukti yang kuat. Setelah melakukan penyelidikan yang mendalam, Direktur Bank Indonesia, Subarjo Joyosumarto, pekan lalu mengaku tak menemukan petunjuk ke arah tuduhan itu. Pengamat hukum perbankan Pradjoto, tokoh yang makin kondang gara-gara membongkar skandal Bank Bali, menyatakan hal senada. "Saya tak punya data," katanya. "Tapi saya setuju, jika ada petunjuk, segera diperiksa dan hasilnya dilaporkan terbuka."
Jadi, sekadar cipoa kosongkah Lippogate ini? Entahlah, tak ada jawaban yang meyakinkan. Sejumlah sumber TEMPO yang mengaku mengenal James Riady secara pribadi merasa yakin, putra mahkota sekaligus wakil ketua kelompok usaha Lippo itu bukan orang yang mengharamkan sumbangan politik.
Setahu saya, katanya, dalam pemilu lalu, James dan kelompok Lippo banyak memberikan dukungan dana kepada sejumlah partai politik peserta pemilu—bukan cuma yang tersebut dalam selebaran. Dengan jumlah yang begitu besar? "Kalau sumbangan seluruh unsur Lippo ditotal, mungkin malah lebih besar dari itu," katanya.
Bagi sumber ini, jurus James menyumbang partai politik dengan jumlah besar juga bukan cerita yang istimewa. Tujuh tahun lalu, pada 1992-1994, James bahkan mengakomodasi salah seorang anak buahnya, yakni John Huang, untuk memobilisasi dukungan dana untuk pemilu di Amerika Serikat. Ketika pemilihan presiden Amerika 1996 berlangsung, James dikenal dan dituduh secara luas sebagai salah satu penyokong dana untuk tim sukses Presiden Clinton.
Menurut sumber yang mengaku mengenal sepak terjang Lippo itu, memberikan dukungan finansial kepada partai politik, bagi keluarga Riady, seperti merupakan kewajiban. Banyak orang yang percaya, salah satu kunci sukses bisnis Lippo adalah kemampuannya membaca arah angin dan kedekatannya dengan kekuasaan.
Agaknya, memberikan dana politik atau tidak, yang pasti, keberhasilan Lippo melayari gejolak (ekonomi dan politik) selama ini memang telah menimbulkan tanda tanya—dan juga iri hati. Lihat saja fakta ini: dari sekian banyak kelompok usaha yang bermain dalam bisnis properti dan keuangan, siapa yang bisa selamat dari krisis? Mungkin tidak banyak yang menyadari, di antara konglomerasi yang bergerak di kedua sektor "kuburan" itu, cuma Lippo yang bisa selamat secara misterius.
Misterius? Ya. Selama masa krisis, publik telah menyaksikan bagaimana sejumlah konglomerasi raksasa yang terlihat begitu kuat akhirnya jungkir-balik karena bermain dalam dua sektor usaha yang menjadi kartu mati selama krisis: properti dan keuangan. Kelompok usaha Dharmala (dengan Bank Dharmala, asuransi, sekuritas, dan lembaga pembiayaan serta perusahaan properti Putra Surya Perkasa), misalnya, dengan cepat tenggelam tak ketahuan rimbanya. Begitu juga Grup Ciputra (Bank Jaya, Bank Ciputra, dan sederet perusahaan properti), dan kemudian kelompok usaha Danamon (Bentala dan Bank Danamon) serta Grup Modern.
Bahkan, kelompok usaha Sinar Mas, yang juga berkutat dengan sektor keuangan (Bank Internasional Indonesia, Sinar Mas Multi Artha) dan properti (Duta Pertiwi), juga berada dalam posisi yang gawat. Tapi, untunglah, Sinar Mas masih punya penyelamat berupa tambang dolar dari perusahaan pulp, kertas, dan minyak sawit (Tjiwi Kimia, Indah Kiat, dan Filma). Tapi bagaimana caranya Lippo (yang memiliki Lippo Cikarang, Lippo Karawaci, Lippo Development, Lippolife, Bank Lippo, dan Lippo Securities) bisa selamat? Siapakah yang menyelamatkannya?
Ketika bank-bank raksasa seperti BCA dan Danamon harus menyerah dan diambil alih pemerintah, Bank Lippo justru tenang-tenang saja. Begitu juga ketika belasan perusahaan properti bangkrut atau tak kuat membayar utang, hampir semua anak perusahaan properti Lippo justru tak pernah meleset membayar utang. "Ini benar-benar ajaib," kata seorang bankir Jepang seperti dikutip Financial Times. Lippo, yang diduga masuk dalam kloter pertama perusahaan yang mampus, ternyata malah kalis dari bahaya.
Melihat misteri itu, biasanya dengan gampang orang mengaitkan sukses kelompok usaha yang dirintis Mochtar Riady ini dengan kedekatannya kepada kekuasaan. Tapi, menurut James, Lippo selamat karena kebetulan dan nasib baik. "Itu karena kami memasuki masa krisis bukan dengan utang, tapi dengan banyak uang (modal)," katanya.
Agaknya, Lippo memang cukup cepat merespons perubahan. Ini bisa dilacak sejak pertengahan 1997, ketika untuk pertama kalinya baht Thailand kena gempur para spekulan uang. Pada saat itu pula, ketika tanda-tanda krisis baru lamat-lamat dan para pejabat Indonesia masih petentang-petenteng dengan "fundamental ekonomi yang kuat", Lippo sudah mengambil ancang-ancang.
Ketika itu Lippo mengurangi sebanyak mungkin pengeluaran dalam dolar. Mereka memecat banyak sekali pegawai ekspatriat (terutama di Lippo Securities). Selain itu, mereka juga menunda semua rencana ekspansi (Lippo Industries dan sebagian proyek properti) serta memperkecil skala usaha.
Khusus di sektor keuangan, mereka melakukan pembenahan serius, misalnya mengurangi exposure dolar dalam pos aset Bank Lippo (porsi kredit dolar Lippo kurang dari 25 persen total kredit ketika bank lain lebih dari 35 persen) dan mengumumkan rencana injeksi kapital (rekapitalisasi) untuk memperkuat posisi modal Bank Lippo. Semula, investor pasar modal mencemooh langkah Lippo itu sebagai upaya yang berlebihan. Tapi belakangan pelbagai jurus itulah yang menghindarkan Lippo dari hantaman krisis.
Sebuah visi bisnis yang tajamkah? Atau "bocoran" dan garansi dari mereka yang punya kuasa? Atau wangsit yang tiba-tiba turun dari langit? Entahlah. Yang pasti, teka-teki seperti itu masih saja terus bergaung sampai saat ini, lantaran jurus-jurus berani masih juga digelar Lippo.
Bayangkan, ketika persyaratan, skenario, dan aturan main rekapitalisasi bank belum lagi jelas, akhir 1998, dengan nekat Bank Lippo menerbitkan saham baru senilai Rp 4,7 triliun. Ketika itu Lippo berhasil menjala Rp 1 triliun (21,4 persen dari total tambahan modal) dari pemegang saham lama (Rp 890 miliar dari keluarga Riady dan Rp 110 miliar dari publik). Mereka seperti tak peduli, apakah pemerintah akan memenuhi janji menginjeksi Rp 3,7 triliun tambahan modal atau tidak.
Celakanya, April 1999, ketika pemerintah belum juga membayar jatahnya, audit terbaru ternyata menunjukkan Lippo memerlukan suntikan modal yang lebih besar: Rp 8,7 triliun. Apa akal? Lippo pun merancang satu skenario penerbitan saham baru tahap kedua. Entah bagaimana ceritanya, tapi belum lagi rencana penambahan modal itu kelar dan diumumkan, Mei 1999, tiba-tiba pemerintah sudah menghadiahkan injeksi modal Rp 7,7 triliun kepada Lippo. Kebutuhan tambahan modal tertutup sudah.
Cuma, masalahnya, karena saham baru telah terpesan habis (pemerintah sudah setor Rp 7,7 triliun dan publik Rp 1 triliun), bagaimana jika pemegang saham publik ingin membeli saham baru yang akan diterbitkan kelak? Jika pemesanan melebihi jatah yang ditawarkan (oversubscribe) Lippo tentu harus mengembalikan uang pemerintah. Manajemen Lippo agaknya tak ingin uang yang sudah kadung masuk mesti dikembalikan.
Lalu apa akal? Gampang. Lippo menawarkan saham cadangan alias greenshoe, kali-kali permintaan lebih besar daripada penawaran. Dengan trik ini, Lippo bisa menjala tambahan modal lebih besar tanpa harus mengembalikan suntikan kapital dari pemerintah. Singkat kata, bukan mustahil, untuk program rekapitalisasi kali ini, Lippo menerima suntikan modal pemerintah lebih banyak dari semestinya. Hebatnya, dengan akal-akalan yang terang-terangan seperti ini pun, pemerintah dan juga DPR tidak pernah protes.
Jadi, apa yang membuat Lippo lolos dari hadangan krisis dan tumbuh begitu pesat? Visi, wangsit, atau beking?
Lea Tanjung, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini