Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUNAWAY BRIDE
Sutradara: Gary Marshall
Pemain: Julia Roberts, Richard Gere, Joan Cusack
Produksi: Touchstone Pictures
WANITA itu jelita, tinggi, langsing, mandiri, atraktif, dan menjadi magnet seluruh lelaki di Kampung Hale. Hanya satu kelemahan Maggie Carpenter (Julia Roberts). Dia hanya bisa bertahan mengenakan baju pengantin selama sekitar lima menit. Dan selebihnya, dia akan berlari meninggalkan calon mempelai pria melongo di muka altar.
Maggie Carpenter.
Siapa yang tak mengenal perempuan yang sudah tiga kali membatalkan pernikahannya tepat di muka ratusan pasang mata, wartawan, dan calon mempelainya itu?
Apa yang kau cari wahai, perempuan? Demikianlah kira-kira misi reporter dan kolumnis Homer Eisenhower Graham atau Ike Graham (Richard Gere) dari New York ke kampung itu: mengais-ngais fakta tentang kehidupan pribadi Maggie Carpenter.
Semula, film yang segera saja mengibar-ngibarkan bendera reuni tiga serangkai Julia Roberts, Richard Gere, dan sutradara Gary Marshall itu berkesan sebagai film hiburan tipikal Hollywood yang hanya mengandalkan kesuksesan nama besar dan harapan tolol kepada sebuah sekuel. Apalagi beberapa peran pembantu dalam film Pretty Woman juga dilibatkan dalam film ini. Maka, film ini betul-betul berkesan sebagai upaya pengulangan sukses box office.
Alhamdulillah, Gary Marshall tak sebodoh itu, dan tampaknya sudah mulai mempelajari keindahan kehidupan sehari-haridan bukannya mimpi Hollywoodsebagai representasi karyanya. Setting film di sebuah perkampungan yang akrab dengan warganya yang betul-betul ''kampung" (artinya: sangat ramah, saling mencintai, dan tentu saja selalu ingin tahu urusan orang), profesi Richard Gere sebagai reporter kere yang selalu kehilangan pekerjaan, dan Julia Roberts yang berprofesi sebagai ''pekerja bengkel" sangat kontras dengan dunia Pretty Woman, yang serba gemerlapan, serba berlian, dan serba Rodeo Drive.
Hal kedua yang membuat film ini jauh lebih menarik, lebih layak tonton, dan bisa dianggap penggarapannya lebih serius adalah karena sutradara Marshall sudah lebih matang dalam menggarap dialog, penyuntingan adegan, dan bahkan ''romantisasi" percintaan sekalipun. Perkawinan memang tidak menjadi bahan ejekan. Tetapi film ini juga menekankan bahwa perkawinan bukan sekadar main rumah-rumahan. Ada komitmen, ada tanggung jawab, dan ada kejujuran soal perasaan. Jika hal-hal itu tak mampu dipenuhi, sebaiknya mundur teratur karena pada akhirnya perkawinan akan menjadi panggung sandiwara. Dan Ike adalah salah satu dari mereka yang ''mundur" dari panggung sandiwara itu. Perkawinannya dengan Ellie (Rita Wilson), istrinya yang terdahulu, bubar dan berakhir dengan persahabatan.
Film ini juga mencoba membuat humor tentang kegagalan. Setiap kegagalan (perkawinan ataupun pembatalan perkawinan) bukan akhir segalanya. Para lelaki yang patah hati atau ditinggal tak pernah hidup dalam dendam yang membara. Mereka semua tetap bersahabat dengan Maggie.
Tentu saja akhir film ini bisa ditebak. Saat Ike meliput, ia sendiri jatuh cinta pada narasumbernya yang sudah siap akan mengawini seorang pelatih sepak bola. Tetapi, ketika calon mempelai yang bernama Maggie Carpenter itu berjalan menuju altar untuk mengawini sang reporter , apa yang terjadi? Larikah dia untuk keempat kalinya?
Gary Marshall menyelesaikan film ini dengan cerdas. Tentu saja ending-nya tak terlalu orisinal karena sutradara Mike Newell sudah melakukan ending yang superlucu seperti itu dalam film Four Weddings and a Funeral. Gary juga melakukan beberapa pengulangan adegan Pretty Woman yang sia-sia, seperti adegan tawar-menawar antara Julia Roberts dan Richard Gere soal ''harga sewa", sementara di dalam film ini mereka tawar-menawar soal ''ongkos wawancara", dengan gaya dan dialog yang mirip.
Tetapi, dengan berbagai gambar sinematografi yang cantik (pernikahan di atas bukit tanpa mengenakan sepatu, dan ratusan burung yang serempak beterbangan) serta original soundtrack dari Eric Clapton yang menggedor-gedor, sutradara Gary Marshall memberi kejutan yang menyenangkan. Film Runaway Bride memang sebuah romantisisme, sebagaimana biasanya isi resep umum Hollywood, tetapi dia tetap sebuah film yang gurih dan layak tonton.
Leila S.Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo