Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih Jauh di Natuna

Pemerintah tak bersikap tegas soal proyek pemipaan Natuna. Makin lama ditunda, risikonya makin besar.

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA Tjahjono Surjodibroto bergetar. Matanya berkaca-kaca. Melalui fasilitas konferensi jarak jauh, Direktur Utama Indosat itu mohon pamit. Kepada 2.000 karyawan Indosat yang tersebar di seluruh Indonesia, Kamis pekan lalu, Tjahjono minta dimaafkan kesalahannya. Di antara hadirin, sesekali terdengar isakan. Tapi, di tengah suasana haru itu, tiba-tiba sebuah suara tegas menyeruak, "Sudahlah, Pak, mundur saja sekarang." Pengunduran diri Tjahjono dari kursi nomor satu di Indosat agaknya menyulut pelbagai reaksi. Setengahnya menyayangkan keputusan itu, setengahnya lagi malah mendorong-dorong. Setyanto P. Sentosa, Asisten Menteri Negara BUMN, misalnya, termasuk kelompok yang pertama. Bekas direktur utama Telkom itu memprihatinkan mundurnya Tjahjono, yang dianggap telah sukses mendongkrak kinerja Indosat. "Dia cuma tersandung kerikil kecil," katanya. Kerikil apa yang membuat Tjahjono tergelincir? Menurut banyak sumber, ini merupakan buntut skandal dividen Indosat yang mulai terkuak Juli lalu. Menurut hasil audit khusus Prasetyo Utomo & Co (Puco), ditemukan sejumlah bukti penyimpangan prosedur. Ceritanya berpusar soal setoran dividen Indosat 1997 kepada pemerintah (sebagai pemegang 65 persen saham) senilai Rp 113 miliar. Dividen yang mestinya disetor awal Juli 1998 itu tak kunjung disetor. Sebaliknya, oleh Direktur Keuangan dan Administrasi Indosat, Herman Simandjuntak, dividen ini malah dikandangkan ke dalam deposito dan, ini dia, bunganya dibukukan dalam rekening lain atas nama pribadi Herman. Setelah mengendap setahun, 5 Juli lalu, barulah pokok dividen itu disetor kepada yang berhak. Lalu, bagaimana bunganya? Ditilep Herman dan Tjahjono? Tunggu dulu. Dari sini muncul kisah berliku. Menurut catatan Puco, dari bunga senilai Rp 20,4 miliar itu, sebagian besar, Rp 11 miliar, ditransfer ke rekening pribadi Herman di Bank Nusantara Parahyangan, Bandung. Sebagian kecil, Rp 467 juta, ditarik tunai, dan sebagian yang lain (Rp 257 juta) "disetor" ke beberapa rekening. Selain itu, ada Rp 100 juta yang disumbangkan kepada satu partai politik—tak jelas yang mana. Memang betul, setelah muncul ribut-ribut Juli lalu, bunga dividen yang sudah disetor ke mana-mana itu, bisa "dijaring" kembali. Manajemen Indosat menjamin, "Duit bunga itu tak berkurang satu sen pun dalam kas Indosat, dan siap ditransfer ke kas pemerintah." Jadi, secara finansial, tak ada yang dirugikan. Namun, menurut sumber TEMPO, ada-tidaknya uang yang hilang bukan poin utama. Sebagai perusahaan publik kaliber internasional, manajemen Indosat tak boleh menabrak pagar. "Saya tak yakin, kalau pers tak ikut ribut, apa betul uang itu bakal kembali?" katanya. Untuk segala kesalahan ini, Dewan Komisaris Indosat sudah mencopot Herman. Selaku nakhoda, yang pasti mengetahui sepak terjang Herman, Tjahjono sendiri cuma diberi peringatan keras. Tapi Tjahjono akhirnya memilih mengundurkan diri. "Ini pertanggungjawaban profesional," katanya, tanpa berkomentar lebih jauh. Tapi benarkah kesalahan Tjahjono cuma soal dividen? Sumber TEMPO menilai, yang terjadi sebenarnya lebih dari itu. Berbagai kesalahan investasi yang dilakukan direksi Indosat lebih memegang peran utama. "Skandal bunga itu cuma pemicu," katanya. Menurut sumber ini, di bawah Tjahjono, Indosat banyak terpeleset. Untuk proyek Menara Jakarta, misalnya, Indosat menanamkan Rp 10 miliar. Tapi, belakangan, megaproyek ini gagal diterjang krisis. Di AlphaNet Telecom Inc., Indosat memiliki 14,5 persen saham. Beberapa bulan lalu, perusahaan telekomunikasi Kanada ini gulung tikar dan mengakibatkan kerugian Rp 71,4 miliar bagi Indosat. Yang lebih parah, Tjahjono dinilai sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam pembelian obligasi konversi yang diterbitkan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) senilai Rp 50 miliar. Dari investasi ini, Indosat mestinya mendapat bunga Rp 5,5 miliar tiap semester. Tapi, nyatanya, kinerja TPI ambrol dan tak sanggup membayar bunga. Hanya saja, kalau benar itu persoalannya, Setyanto berpendapat, mestinya bukan cuma Tjahjono yang mundur. "Seluruh petinggi Indosat harus ikut bertanggung jawab," katanya. M. Taufiqurohman, I G.G. Maha Adi, Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus