Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tua-tua layarkan saja

Kapal niaga usia 25 th ke atas boleh dilayarkan lagi untuk menanggulangi krisis angkutan laut. sudah 200 kapal lebih dengan bobot mati 100 ribu ton dari berbagai ukuran dijadikan besi tua/scrapping.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI berita lama, Indonesia kekurangan kapal niaga. Tapi baru terungkap lagi _ dari rapat kerja antara Menteri Perhubungan dan Komisi APBN DPR RI, Kamis pekan lalu. Kendati begitu, Menteri Roesmin Nurjadin menyatakan, pemerintah tetap tak akan mencabut keputusan larangan beroperasi bagi kapal niaga berusia 25 tahun. Artinya, di atas kertas, kapal berusia 25 tahun dianggap sudah "uzur" dan harus segera dibesituakan (scrapping ). Sejak SK Menteri Perhubungan itu diberlakukan pada tahun 1984, sudah 200 kapal lebih, dengan bobot mati 100 ribu ton dari berbagai ukuran, yang "digergaji" dan dijual sebagai besi tua. Kini, dengan kenaikan volume barang dan kebutuhan ruangan kapal yang melonjak, pemerintah perlu mengambil sikap yang lebih "lunak". Dengan kata lain, memperbaiki keputusan scrapping agar lebih rasional. Misalnya menyetujui untuk mengoperasikan kapal niaga yang sudah tua, tapi tetap laik laut. Agak mengagetkan, memang. Malah ada suara sumbang yang menganggap pemerintah melanggar aturan sendiri. Dirjen Perhubungan Laut J.E. Habibie, ketika dihubungi Linda Djalil dari TEMPO, tegas-tegas menolak anggapan itu. "Ini bukan soal melanggar. Tapi, kita 'kan tidak boleh kaku dalam meninjau sebuah peraturan. Kita bisa menunda scrapping untuk kepentingan nasional," ujar Habibie. Fanny - begitu panggilan akrab dirjen ini -- juga menganggap scrapping perlu dilakukan secara bertahap. Sehingga, "Tetap ada keseimbangan antara pembebastugasan kapal dan jumlah kapal yang masih tersedia." Kebijaksanaan itu, kata Fanny, hanyalah salah satu alternatif untuk mencegah krisis ruangan kapal. Apalagi kini ekspor meningkat pesat, sementara, "Input kapal-kapal baru dan pengembangan armada nasional tidak memadai." Proyek pemerintah yang dinamai Proyek Caraka Jaya, sejak 1984 sampai akhir November 1987, belum juga menghasilkan sebuah kapal pun. Alternatif lain, membeli kapal dari luar negeri atau carter, masih dianggap mahal. Maka, alternatif memperpanjang umur kapal yang sudah 25 tahun tetap dianggap rasional. Dirjen Perla itu juga menyangkal adanya pilih kasih dalam menentukan kapal mana yang harus kena scrapping. Dikatakannya, untuk menentukan apakah kapal perlu dibesituakan atau tidak, selain usia, kelaikan lautnya juga perlu diperhatikan. Ini penting karena kecelakaan umumnya terjadi pada kapal berusia 25 tahun ke atas yang tidak terpelihara. Maka, pengusaha pelayaran menyokong agar kapal-kapal "jompo" dibesituakan saja. "Kami sangat mendukung program scrapping," tutur Ketua Umum INSA Hartoto Hardikusumo. Bagaimana dengan kapal tua yang dioperasikan terus? "Saya kira Dirjen bukan tidak konsekuen. Beliau masih memberi kesempatan pihak pelayaran melakukan scrapping sendiri. Tapi, masalah utama yang dihadapi Dirjen dan juga swasta adalah soal dana untuk membeli kapal baru, tutur Hartoto. Bos Andhika Lines ini menyebutkan kapal penderek log buatan 1974 saja, harganya berkisar dari US$ 650 ribu sampai US$ 1,3 juta. Sedangkan kapal buatan lokal sudah jelas lebih mahal. Sebagai pengusaha kapal, Hartoto menjual kapalnya ketika berusia 10 tahun. "Agar dapat harga yang baik," tuturnya. Menjual kapal dengan kondisi baik, surat dan asuransi lengkap, bisa saja dilakukan ke luar negeri. Sebaliknya, kapal yang akan dijadikan besi tua, konon, tak boleh dilempar ke luar negeri. Menurut sebuah sumber pelayaran pada Kompas, kapal yang sudah dipotong harus dijual ke PT Krakatau Steel, pengelola tunggal industri baja di Indonesia. Itulah yang meresahkan kalangan pelayaran, kata sumber tadi. Benarkah? Dirjen Habibie membantah. "Melakukan scrapping juga tak diharuskan di negeri sendiri. Di Taiwan atau Hong Kong boleh saja," katanya lugas. Toriq Hadad (Surabaya) dan Linda Djalil (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus