Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Penyapu kerikil di pintu jepang

Jepang hendak melicinkan impor komoditi non migas lewat office of trade and investment ombudsman (oto). Pasar Jepang akan dirangsang untuk menerima barang-barang impor, khususnya dari negara berkembang.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA di Indonesia ada paket deregulasi untuk merangsang ekspor, di Jepang sebaliknya. Di sana kerikil-kerikil penghambat impor justru hendak disingkirkan. Salah satu badan yang diandalkan untuk tugas itu adalah Office of Trade and Investment Ombudsman (OTO). Pekan silam delegasi dari OTO datang ke Jakarta, dipimpin Soshichi Miyachi, 56 tahun. Mereka antara lain bertemu dengan pengurus Kadin Indonesia dan pejabat BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional). OTO, menurut Miyachi-san, didirikan 30 Januari 1982 oleh Yasuhiro Nakasone - PM Jepang waktu itu. Ketuanya yang pertama adalah (bekas) Menlu Saburo Okita. Kini pengurus OTO adalah pejabat-pejabat berstatus wakil menteri dari 15 departemen, dipimpin Wakil Ketua Menteri Kabinet. "Dengan demikian, OTO bisa mempengaruhi kebijaksanaan perdagangan Jepang," tutur Miyachi. Di samping itu, dewan penasihat OTO diperkuat oleh enam anggota dari kalangan swasta, terdiri atas dua profesor ekonomi, dua bankir, seorang pengusaha (dewasa ini diwakili Akio Morita, bos Sony Corp.) dan seorang wartawan: Miyachi. Dia sarjana ekonomi politik lulusan Waseda - Waseda terkenal sebagai motivator politik ekonomi terbuka sejak zaman restorasi Meiji menjabat wakil pemimpin redaksi di jurnal ekonomi NIKKEI. Miyachi menjelaskan bahwa ekonomi Jepang sekarang sedang giat merangsang pasar dalam negeri, dan untuk itu pemerintah menganggarkan lebih dari 6 trilyun yen (1987). Pasar Jepang akan dirangsang untuk menerima barang-barang impor, khususnya dari negara berkembang. Sebab, cadangan devisa Jepang cukup berlimpah, dewasa ini diperkirakan sekitar US$ 70 milyar. Demi kelancaran impor, OTO ditugasi meneliti hambatan-hambatannya, antara lain dengan mempelajari keluhan para importir Jepang atau eksportir dari luar. Sejak beroperasi 1982, OTO telah menerima 336 keluhan, paling banyak (97) menyangkut barang-barang impor dari AS, dan barang dari Eropa (72). "Dari Indonesia kami baru menerima satu keluhan saja. Tapi jangan-jangan kurangnya keluhan, karena OTO belum dikenal," tutur Miyachi-san. Ia tak ingat isi keluhan terhadap barang Indonesia, tapi keluhan lain umumnya unik dan lucu. Sebuah perusahaan Singapura mengeluh, karena turis Jepang tak boleh menenteng oleh-oleh daging sapi eks Amerika, yang dijual di Singapura. Ada importir Jepang keberatan karena UU melarang impor gelas bir berwarna. Ada pula eksportir Korea yang meminta agar standardisasi Korea juga diakui Jepang. Keluhan ala Korea itu bukannya tidak terdengar di Indonesia. "Jika eksportir di sini menemukan hambatan-hambatan menyangkut prosedur pabean seperti itu, sampaikan ke Sekretariat OTO. Tak perlu bayar. Bisa diposkan lewat konsulat Jepang atau Jetro," kata Miyachi, simpatik. Kemungkinan besar, berbagai keluhan akan bisa melenturkan peraturan yang serba kaku. Buktinya, dari 319 keluhan yang sudah diproses OTO, 81 kasus ternyata hanya karena kesalahpahaman dan 103 kasus lagi berguna untuk meninjau kembali kebijaksanaan pemerintah. Namun, Miyachi perlu mengingatkan bahwa konsumen Jepang yang koceknya tebal itu hanya mencari barang yang terbaik. Artinya, kalau hanya berdasarkan standardisasi, belum dijamin akan disukai orang Jepang. Toh produk elektronik Korea, seperti VCR, bisa masuk karena mutunya cukup bagus. Beberapa produk Indonesia, seperti batere, tekstil, dan pakaian jadi, juga sudah lebih leluasa masuk ke Negeri Sakura. Tentu saja OTO tidak bisa menyelesaikan segala macam keluhan. "Kalau menyangkut sengketa antarperusahaan, itu tidak bisa kami tangani. Juga soal tarif dan kuota, itu harus diselesaikan secara bilateral antarpemerintah," kata Miyachi. Komoditi nonmigas andalan Indonesia, kayu lapis, diakuinya peka. Kendati telah sering dikeluhkan, tarif kayu lapis Indonesia sampai sekarang belum juga diturunkan. Hanya April nanti, atase perdagangan Jepang di Jakarta, Toyohiko Shimada, menyatakan bahwa Jepang akan menyeragamkan tarif impor untuk kayu lapis, baik yang dari Indonesia maupun dari AS. Sejauh ini, kayu lapis Indonesia yang tipis tapi keras dikenal tarif 15,2% sedangkan kayu lapis AS yang tebal tapi lembek dikenai tarif 12%. Kelak, kayu lapis yang tipis (di bawah 6 mm) dikenai tarif 10%, lebih tebal dari itu dikenai tarif 15%. Kayu lapis Indonesia memang semakin laris di Jepang. "Primadona" ini telah menyebabkan impor nonmigas dari Indonesia tahun silam naik 71,3% dibandingkan impor tahun 1986. Sampai Oktober 1987, Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan Jepang sebesar US$ 4.257 juta, hampir menyamai surplus sepanjang 1986 yang tercatat US$ 4.643 juta. Tetapi angka itu jauh di bawah keuntungan tahun 1985 sebesar US$ 7.947 juta. Mungkinkah di Tahun Naga ini, ekspor Indonesia ke Jepang naik lagi mendekati nilai tahun 1985? Jelas, itu akan bergantung pada lajunya ekspor nonmigas di pasar Jepang, dan terutama kemauan Jepang menerima harga minyak Indonesia sesuai dengan patokan OPEC. (Lihat: Minyak). M.W.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus