Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perry Warjiyo kembali memimpin Bank Indonesia tapi dengan tugas berbeda.
Bank Indonesia kini harus ikut menjaga pertumbuhan ekonomi.
Tugas ganda membawa Bank Indonesia ke dalam dilema.
BERLAKUNYA Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) bakal menambah tugas Bank Indonesia. Tak hanya memegang kebijakan moneter, bank sentral diperintahkan regulasi itu ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tugas baru ini, menurut ekonom Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Agustinus Prasetyantoko, bakal menjebak BI dalam dilema. Prasetyantoko memberi contoh, saat nilai tukar rupiah turun, BI seharusnya merespons dengan menaikkan suku bunga. Tapi, dengan tugas barunya, BI tak bisa serta-merta mengerek bunga acuan lantaran dampaknya bisa mengerem pertumbuhan ekonomi dan mendorong inflasi. "Belum lagi ketika menghadapi protes pemerintah," katanya kepada Tempo pada Kamis, 2 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Celoteh Donald Trump pada 11 September 2019 atau semasa menjabat Presiden Amerika Serikat bisa menjadi contoh intervensi pemerintah terhadap bank sentral. Melalui Twitter, Trump mendesak The Federal Reserve selaku bank sentral menekan bunga acuan hingga 0 persen atau bahkan minus. "Amerika Serikat harus membayar bunga terendah. Tanpa inflasi! Hanya kenaifan Jay (Jerome) Powell dan The Fed yang tidak memungkinkan kita melakukan apa yang sudah dilakukan negara lain," katanya, menyindir Powell, pemimpin The Fed yang saat itu mengerek bunga acuan.
Meski tak separah masalah Trump, tantangan semacam itu bisa jadi dihadapi Perry Warjiyo, yang hampir pasti menjabat Gubernur Bank Indonesia untuk kedua kali. Jika tak ada aral melintang, Perry akan kembali menjalani uji kelayakan dan kepatutan di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat bulan ini, setelah ia dipasang sebagai calon tunggal gubernur bank sentral periode 2023-2028 oleh Presiden Joko Widodo. Di masa tugasnya kali ini, Perry mesti memegang banyak tanggung jawab, dari menjaga stabilitas nilai tukar, mengendalikan inflasi, menata sistem pembayaran, hingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pernyataan Perry pada Jumat, 3 Maret lalu, pun sarat dengan pesan tentang pertumbuhan ekonomi. Dalam seminar nasional "Bangkit Bersama dan Semakin Berdaya" di Hotel Alila Solo, Jawa Tengah, Perry mengatakan para petinggi negara kini harus makin jeli melihat berbagai peluang dan tantangan domestik serta global demi mengembangkan semua sektor ekonomi. "Presiden selama ini sering mengingatkan agar kita harus senantiasa berhati-hati, apalagi dunia sedang tidak ramah, tidak tahu kapan perang Rusia dan Ukraina akan berakhir. Kita juga melihat Amerika Serikat dengan Cina yang masih berseteru," ujarnya.
Semasa menjabat Gubernur BI periode 2018-2023, Perry memang dianggap bisa mengatur kebijakan moneter terutama ketika Indonesia menghadapi krisis pandemi Covid-19. Selain bisa mempertahankan bunga acuan BI-7 Day Repo Rate (BI-7DRR) dalam waktu lama, Perry akhirnya mengakomodasi kemauan pemerintah yang menghendaki bank sentral berbagi beban (burden sharing) untuk menanggung belanja negara yang membengkak. Caranya adalah membeli obligasi negara di pasar perdana. Nilai dari skema yang berlangsung pada 2020 sampai akhir 2022 ini mencapai Rp 1.104,85 triliun. Meski tujuannya menalangi belanja di masa krisis, burden sharing menjadi kontroversi lantaran dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap bank sentral.
Para analis boleh saja mempersoalkan skema ini, juga peran ganda yang bakal dijalani BI setelah Undang-Undang P2SK berlaku. Namun, bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, peran tambahan itu tak terhindarkan. Menurut dia, saat ini pemerintah dan bank sentral di seluruh dunia terus menyesuaikan hubungan dengan dinamika ekonomi global.
Sri Mulyani mengatakan, pada masa pandemi Covid-19, banyak bank sentral ikut membiayai belanja negara menggunakan skema yang sama dengan BI. "Konsekuensinya, sekarang rata-rata bank sentral memegang surat berharga negara sangat banyak," katanya kepada Tempo pada Jumat, 3 Maret lalu. Sri menilai peran tersebut tidak melanggar pakem independensi bank sentral. "Kita tidak mungkin hanya bicara inflasi dan nilai tukar kalau ekonominya porak-poranda," ucapnya.
Sri yakin, alih-alih mengganggu peran BI, tugas tambahan bakal membuat otoritas moneter itu makin komprehensif dalam menentukan kebijakan. Dia menegaskan bahwa BI tetap menentukan kebijakan moneter, tapi kali ini dengan tujuan lebih besar, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi. "Bukan hanya untuk stabilitas." Dia pun mengingatkan, meski pandemi Covid-19 mereda, konsekuensi belanja di masa krisis belum tuntas. "Kompleksitas masih akan muncul dalam berbagai bentuk."
Ujian untuk BI pun mulai tiba. Kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau Federal Funds Rate (FFR) kian melesat, seiring dengan kondisi perekonomian Negeri Abang Sam. The Fed terus menaikkan FFR sampai 4,75 persen dan pelaku pasar memperkirakan hingga akhir tahun ini angkanya menyentuh 5,5 persen. Melejitnya FFR mempengaruhi semua negara, terutama negara berkembang seperti Indonesia.
Jika ingin mengambil cara gampang, BI otomatis akan mengerek BI-7DRR supaya sesuai dengan kenaikan FFR, terutama demi menjaga nilai rupiah dan membendung larinya modal asing. Tapi kenaikan bunga bakal berdampak panjang pada ekonomi dalam negeri. Jika bunga kian tinggi, roda ekonomi akan melambat dan pada akhirnya pertumbuhan melorot. Tentu hal ini tak sejalan dengan tugas baru BI. "Kenaikan suku bunga akan mengganggu target pertumbuhan ekonomi yang tahun ini mencapai 5,3 persen," tutur Agustinus Prasetyantoko.
Di tengah kondisi ini, anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ecky Awal Mucharam, meminta Bank Indonesia mempererat koordinasi dengan pemerintah. BI, kata dia, harus berhati-hati merumuskan strategi agar tidak terjebak dalam konteks kebijakan moneter semata.
Adapun Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan Gubernur Bank Indonesia dituntut berinovasi dalam mencari opsi stabilisasi kurs mata uang, tidak hanya terpaku pada kebijakan konvensional seperti menyesuaikan suku bunga acuan. “Tapi ada kriteria lain, seperti berani menolak melanjutkan burden sharing atau cetak uang dalam rangka menyelamatkan defisit anggaran."
SEPTIA RYANTHIE, GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo