Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perry Warjiyo akan menjadi Gubernur Bank Indonesia dua periode.
Bank Indonesia akan dihantui kebijakan burden sharing anggaran.
Kepercayaan pelaku pasar keuangan menjadi beban berat Perry Warjiyo.
MENJADI calon tunggal pilihan Presiden Joko Widodo, Perry Warjiyo hampir pasti menjabat Gubernur Bank Indonesia untuk kedua kali. Seharusnya ini menjadi momentum bagi pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengembalikan tatanan ekonomi yang ideal setelah habis-habisan bermanuver di masa pagebluk Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi pengangkatan kembali Perry Warjiyo mengingatkan kita pada pelbagai langkah yang ia lakukan pada periode pertama jabatannya. Di masa itu, bank sentral melahirkan kebijakan kontroversial, yaitu berbagi beban (burden sharing) anggaran dengan pemerintah. Dalam kebijakan ini, Bank Indonesia harus membeli obligasi negara di pasar perdana. Bagi bank sentral di seluruh dunia, membeli surat utang dengan kupon rendah di pasar perdana adalah hal tabu. Sebab, bank sentral seperti dipaksa mencetak uang demi membiayai belanja pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui skema burden sharing, dalam tiga tahun terakhir pemerintah dan Bank Indonesia menggelontorkan anggaran Rp 1.104,85 triliun. Dana jumbo ini dipakai untuk menambal defisit anggaran yang menembus 6,1 persen pada 2020 serta 4,65 persen dari produk domestik bruto pada 2021. Angka itu jauh di atas batas 3 persen yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Bagi pemerintah, skema emisi surat berharga yang langsung dibeli oleh bank sentral menguntungkan. Sebab, pemerintah bisa leluasa menentukan imbal hasil jauh di bawah kupon yang berlaku di pasar. Tapi lain cerita dengan Bank Indonesia. Selain harus mengeluarkan anggaran besar, bank sentral menghadapi banyak risiko, terutama hilangnya kepercayaan pelaku pasar keuangan. Jika sudah begini, ada risiko penurunan nilai tukar rupiah dan melambungnya imbal hasil obligasi, yang dampak buruknya bakal panjang.
Pemerintah dan Bank Indonesia mengklaim tahun ini kebijakan burden sharing akan berhenti. Tapi ada pertanyaan besar karena skema ini menjadi langgeng setelah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Dengan aturan ini, pemerintah bisa kapan saja meminta Bank Indonesia kembali berbagi beban fiskal.
Di sinilah Perry Warjiyo menghadapi pertaruhan besar. Sebagai gubernur bank sentral dua periode, dia menghadapi dua pilihan berat: mampu menjaga independensi otoritas moneter atau malah tunduk pada rencana pemerintah. Apalagi pemerintah makin ugal-ugalan menggelontorkan anggaran, dari membiayai pembangunan ibu kota baru, berbelanja senjata besar-besaran, hingga menambal modal perusahaan pelat merah yang menggarap proyek rugi. Bank Indonesia akan terus dihantui aturan burden sharing karena bakal dipaksa menanggung belanja tersebut, meski secara tak langsung.
Artikel:
Perry harus mampu menjawab pelbagai keraguan ini. Dia mesti bisa mengembalikan muruah Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang independen. Sebab, bank sentral yang tunduk kepada pemerintah akan menjadi sentimen negatif bagi sistem perekonomian kita.
Tugas Gubernur Bank Indonesia pun kian berat karena ia mesti melanjutkan berbagai rencana baru, seperti menerbitkan rupiah digital yang bakal mengubah sistem pembayaran ke arah yang baru. Beban lain yang tak boleh terabaikan adalah menjalankan peran rutin sebagai nakhoda kebijakan moneter dan menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah ancaman resesi global.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo