Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Indonesia mencatat pertumbuhan kredit UMKM masih melambat. Pertumbuhan kredit UMKM pada Juli hanya sebesar 5,1 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) dibanding pada Juni yang tumbuh 5,6 persen yoy.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny mengatakan kurangnya sosialisasi dan rumitnya prosedur kredit membuat penyaluran kredit UMKM turun.
OJK akan menerbitkan peraturan tentang kemudahan akses pembiayaan bagi UMKM. Di antaranya membuka peluang pemanfaatan Innovative Credit Scoring (ICS) dalam menilai kelayakan pembiayaan.
SUDAH enam tahun belakangan Faiq Septian Firdaus berbisnis pakaian olahraga di Yogyakarta. Berbekal dana simpanan dan pinjaman dari keluarga, ia membeli mesin produksi pertamanya pada 2018. Biaya menjadi tantangan untuk mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM miliknya itu.
Pada 2020, ia pernah mencoba mengajukan kredit via Pegadaian. Namun tidak membuahkan hasil karena terhambat domisili pada kartu tanda penduduk yang bukan di Yogyakarta. Dia pun mencoba mengakses pembiayaan di luar kredit usaha rakyat (KUR). Namun bunga pinjamannya dianggap memberatkan, yakni 10 persen, bahkan lebih.
Menurut Faiq, KUR sebenarnya relatif terjangkau karena bunganya rendah, bisa 3-4 persen. “Namun persyaratannya tidak mudah,” ujarnya kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia berharap akses pembiayaan bagi UMKM dapat dipermudah karena segmen usaha mikro juga menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian.
Baca juga:
Faiq tidak sendirian. Syarif, pedagang burger di area Binus University, Jakarta Barat, juga tidak mengajukan kredit perbankan. Pada awal membangun usaha kecilnya, Syarif mengandalkan uang simpanan dan bantuan dari keluarga terdekatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syarif tidak menutup kemungkinan akan mengajukan kredit usaha di kemudian hari. Dia hanya belum paham alur pengajuan kredit. “Pastinya ada rencana. Tapi syaratnya seharusnya dipermudah,” katanya saat ditemui di lokasi jualannya kemarin.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny mengatakan kurangnya sosialisasi dan rumitnya prosedur kredit membuat penyaluran kredit UMKM turun. Menurut dia, banyak pelaku UMKM yang belum memahami persyaratan program kredit usaha.
Hermawati mengatakan banyak UMKM tidak mengajukan KUR karena beberapa kewajiban, seperti lolos Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) ataupun Sistem Informasi Kredit Program (SIKP). Sementara itu, UMKM kurang mendapat sosialisasi soal SLIK dan SIKP. Padahal peran UMKM sangat vital bagi perekonomian.
Kamar Dagang dan Industri Indonesia mencatat jumlah UMKM pada 2023 mencapai 66 juta atau naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 65 juta. UMKM menyumbang 61 persen dari produk domestik bruto Indonesia atau setara dengan Rp 9.580 triliun. UMKM menyerap 117 juta pekerja atau 97 persen dari total tenaga kerja.
Kredit perbankan dibutuhkan agar UMKM bisa mengembangkan usahanya. Namun Bank Indonesia mencatat pertumbuhan kredit UMKM masih melambat. Berdasarkan data analisis uang beredar BI, total penyaluran kredit perbankan pada Juli 2024 sebesar Rp 7.430,5 triliun. Dari jumlah tersebut, kredit UMKM hanya Rp 1.375 triliun. Pertumbuhan kredit UMKM pada Juli hanya 5,1 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) dibanding Juni yang tumbuh 5,6 persen yoy.
Porsi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan juga turun dalam beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, kredit UMKM hanya 19,36 persen dari total kredit keseluruhan atau turun dari tahun sebelumnya yang sebesar 19,6 persen. Tren penurunan porsi kredit UMKM terjadi sejak 2021 yang sebesar 19,74 persen. Persentase kredit UMKM tersebut masih jauh dari target Presiden Joko Widodo sebesar 30 persen tahun ini.
Lesunya kredit sektor UMKM juga diakui Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Sunarso. Ia menyebutkan tantangan BRI ke depan berupa melemahnya permintaan atau demand yang menyebabkan penurunan penyaluran kredit yang juga disertai penurunan kualitas kredit segmen mikro. “Atas hal tersebut, BRI saat ini melakukan strategic response untuk tumbuh selektif di segmen mikro disertai upaya perbaikan kualitas aset,” ujarnya saat paparan publik pada akhir Agustus 2024.
Pendapat anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi, setali tiga uang. Ditemui di Jakarta kemarin, ia mengatakan masalah tersebut sedang dibahas di lingkup internal OJK. “Sedang dibahas bagaimana kami sama-sama support untuk UMKM supaya target kredit UMKM tercapai,” ujarnya.
Intinya, ia melanjutkan, OJK berusaha mendorong peningkatan kredit UMKM, tapi tidak bisa dilakukan secara serampangan karena juga mempertimbangkan kerugian perbankan. Manajemen risiko dan analisis kredit diserahkan seluruhnya kepada bank untuk menentukan siapa yang layak mendapat pembiayaan.
Proses produksi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) membuat tas dari bahan kulit, di kawasan Kalibata, Jakarta, Januari 2024. TEMPO/Tony Hartawan
OJK juga punya tim akses percepatan keuangan di 536 daerah di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, hampir semua punya program yang mendukung UMKM dan kurasi sehingga diharapkan mampu mendorong kredit usaha.
Assistant Vice President BNI (2005-2009) Paul Sutaryono mengatakan tingkat kredit macet atau non-performing loan (NPL) ditengarai menjadi salah satu alasan penurunan kredit UMKM. “NPL UMKM yang mendekati ambang batas 5 persen mendorong bank lebih selektif dalam mengucurkan kredit,” tuturnya.
Berdasarkan data OJK, tingkat NPL UMKM pada akhir tahun lalu sebesar 3,71 persen. Sedangkan pada Juli 2024 di kisaran 4,04 persen. Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan pertumbuhan kredit UMKM yang mengalami perlambatan dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya serta berakhirnya pelonggaran restrukturisasi kredit terkait dengan pandemi Covid-19 menyebabkan rasio NPL kredit UMKM mengalami peningkatan.
Ke depan, OJK akan menerbitkan peraturan tentang kemudahan akses pembiayaan bagi UMKM. “Di antaranya membuka peluang pemanfaatan Innovative Credit Scoring (ICS) dalam menilai kelayakan pembiayaan,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
Menurut dia, jika diperlukan, lembaga jasa keuangan dapat menetapkan kebijakan khusus dalam menganalisis kelayakan terhadap calon debitor UMKM sehingga diharapkan dapat mendorong pembiayaan bagi UMKM secara lebih optimal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo