MEREKA bermodal kecil, tapi diizinkan oleh Bank Indonesia (Bl)
membuka usaha perbankan. Bank pasar, tentu saJa, yang melakukan
bisnis simpanpinjam secara kecil-kecilan. Di Denpasar ada 4 bank
semacam itu, dengan badan hukum khusus untuk usaha kaum pribumi.
Maskapai Andil Indonesia (MAI), demikian status badannya Bentuk
MAI ini hampir tak terdengar di Republik ini, malah nyaris punah
seperti macan di pulau Jawa Justru untuk menjaga kelestariannya
barangkali Bl memberi kesempatan untuk para pengusaha kecil di
bidang perbankan.
MAI dimulai hampir setengah abad yang lalu ketika seorang
Gubernur Jenderal kolonial Belanda iseng-iseng ingin mengetahui
apakah golongan pribumi memerlukan suatu bentuk badan usaha
yang mirip dengan NV kini PT. Dilihatnya "inlander" tak berani
pergi ke notaris untuk membentuk NV yang tersedia buat orang
Eropah. Maka lahirlah satu komisi penyelidik. Satu kelompok
dalam komisi itu berpendapat bahwa kaum pribumi cukup puas
dengan usaha secara perseorangan, sedang kelompok lainnya
mengatakan bahwa pengusaha pribumi pun butuh status hadan hukum.
Namun akhirnya pemerintah kolonial mensahkan rancangan ordonansi
MAI pada tahun 1939.
Dari NV, MAI meminjam unsur modal dan saham. Sedang dari
koperasi, ia mengoper ciri khas sebagai kumpulan orang-orang.
Dalam NV, paling berkuasa adalah siapa yang menanam modal
terbesar. Sebaliknya dalam MAI, walau pun banyak saham
seseorang, jumlah suaranya dalam rapat umum pemegang saham tetap
dibatasi.
Untuk mendirikan MAI, orang tak usah pergi ke notaris, melainkan
boleh menyusun sendiri naskah pendiriannya. Jika tak mampu
menyusunnya, orang dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan
Negeri. Ongkos pembentukan MAI murah sekali dibandingkan dengan
PT.
Adalah hukum yang paling dikenal para pendirinya berlaku bagi
MAI. Ia menyambut dengan tangan terbuka kecenderungan orang
Indonesia untuk berkoperasi. Orang yang berada langsung di
lingkungan para pembentuk MAI adalah pengayomnya, yaitu Ketua
Pengadilan Negeri setempat.
Potonan Eropah
Melihat keluwesan dan keserasiannya dengan usahawan pribumi, MAI
seharusnya dipilih mereka sebagai wadah untuk berusaha. Tidaklah
demikian kenyataannya. Orang Indonesia, terutama setelah
kemerdekaan, malah beramai-ramai membentuk PT, badan hukum yang
pada mulanya dipakai oleh golongan Eropah. Jumlah PT pada tahun
1975 yang memperoleh pengesahan Departemen Kehakiman: 3.319
(sekitar dua-pertiga di Jakarta). Tahun ini jumlahnya mungkin
tak banyak berbeda. Sedang di Jawa cuma ada 4 MAI, plus belasan
di Bali. MAI sungguh berada dalam proses kepunahan yang cepat.
Apakah karena MAI tidak memakai cap buatan luar negeri, maka ia
tak laku?
"Gejala (kepunahan) ini patut disayangkan," Nono Anwar Makarim
berkata kepada TEMPO. Nono, bekas pemimpin redaksi larian KAMI,
meriset soal wadah usaha di Indonesia untuk keperluan thesisnya
guna meraih gelar doktor dari Harvard. Ia berpendapat, Ordonansi
MAI jauh lebih unggul daripada sekumpulan pasal mengenai PT yang
terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang usianya
sudah lebih satu-seperempat abad. "Dan kalaupun isi dari PT yang
sekarang ada di Indonesia diteliti secara mendalam, maka
coraknya persis sama seperti yang dirumuskan oleh para perancang
Ordonansi MAI. Artinya, isi PT adalah tradisionil, hanya pakaian
hukumnya yang potongan Eropah. Dan itu pun potongan Eropah abad
ke-19."
Di Denpasar, menurut laporan koresponden Putu Setia kepada
TEMPO, Bank Indollesia telah memberi semacam pengarahan supaya
bank pasar memilih bentuk MAI agar jelas membedakan bahwa mereka
pribumi semua. Dari pihak BI inilah para pengusaha kecil pribumi
mengenal MAI. Sesungguhnya di antara mereka tak begitu faham apa
beda MAI dengan PT, CV dll, tapi terpenting adalah mendapatkan
izin BI.
Tidak ada persaingan sesama bank pasar di Denpasar, a.l. karena
agak terpisah letak masing-masing. Bank Pasar Seri Partha,
umpamanya, yang bertempat di pasar Kesiman melayani nasabah
pedagang. Sedang Bank Pasar Kamboja terutama didukung oleh para
guru dan karyawan P & K lainnya. Di Bank Pasar Para Semeton,
keluarga besar Puri (bangsawan) sangat menentukan. Ada pula kaum
veteran di Bank Pasar Uverad.
Direktur Wayan Gatha dari Seri Partha berkata: "Lebih baik kecil
tapi rukun dan bisa hidup. Tidak saling jegalmenjegal. Kantornya
nampak sederhana sekali. Sang direktur bepergian dengan sepeda
motor. "Maklum MAI," kata Gatha. Dibanding lainnya, bank ini
lebih maju - terbukti punya telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini