Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dan Karawang Pun Bergoyang

Karawang mengalami kelaparan karena kemunduran panen akibat hama wereng, musim kemarau dan pengairan yang kacau. dianjurkan petani beralih ke tanaman lain, mengusahakan padat karya atau transmigrasi.

8 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARAWANG biasanya mensuplai, sesuai dengan julukannya sebagai "lumbung padi" Jawa Barat. Tapi minggu lalu bantuan pangan malah terpaksa dikirim ke kabupaten itu. Maka bupatinya, Tata Suwanta Hadisaputra pun berkata: "Saya sangat malu . . . " Tahun 1975, Bulog masih dapat mengumpulkan beras dari Karawang sebanyak 20.000 ton. Tidak banyak. Sesudah itu kemampuan Karawang menyediakan untuk Bulog makin menurun ke 17.000 ton tahun lalu, dan paling banyak cuma 1.200 ton tahun ini. Sudah jelas bahwa Karawang kini tidak lagi merupakan suatu daerah penghasil beras yang utama. Akibatnya mungkin akan terasa bagi Jakarta yang selama ini terbiasa nenyedot beras Karawang. Kemunduran Karawang belakangan ini terutama karena banyak tanaman padi yang diserang hama wereng dan disiksa pula oleh musim kemarau tahun ini. Kebetulan di beberapa tempat sedang diadakan rehabilitasi irigasi hingga mengacaukan pengairan sawah. Banyak pula sawah yang terkena banjir tahun lalu tidak sepenuhnya bisa ditanami. Para petani yang ketika itu dilanda banjir, karena terpaksa menebar benih beberapa kali, telah terlambat mengikuti jadwal-tanam. Bila ketinggalan jadwal, maka pengairan irigasi sukar diperoleh. Meskipun batas Musim Tanam 1977 (15 Juni) sudah lewat, masih banyak petani yang memaksakan diri menanam padi, yang pasti akan gagal lagi. Bupati Tata Suwanta mengatakan bahwa sudah tiba saatnya untuk menganjurkan petani supaya beralih ke tanaman lain, terutama bila jadwal-tanamnya untuk padi terlambat. "Tapi mereka ini bandel," katanya. "Mereka bisa beruntung dengan palawija, tapi keuntungan itu mereka gunakan lagi untuk menanam padi yang kemudian rusak pula akibat wereng." Pestisida Palsu Wereng dan sebagainya itu telah mengakibatkan sedikitnya 40.000 jiwa kekurangan makan. Mereka berasal lima kecamatan - Rawamerta, Pedes, Batujaya, Cilamaya dan Klari. Adalah desa Rangdu, kecamatan Pedes. yang paling menderita di Karawang ini. Said Muchsin dari TEMPO telah meninjau ke sana dan melaporkan: "Selama hidup saya, baru sekarang saya mengalami nasib sial," ujar Haji Maksudi, 63 dari Rangdu. Dia terbilang petani kaya yang memiliki sampai 80 Ha. Bayangkan betapa pula jeleknya nasib banyak petani lain yang memiliki areal jauh lebih kecil, bahkan sekecil 0,5 Ha. Maksudi mengatakan bahwa tidak ada petunjuk Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang diabaikannya. Semua sudah dipatuhi, katanya, dari cara bertanam jadwal-tanam bibit, cara pemberantasan hama, dan sampai kepengunaan irigasi. "Tidak cukup 1 - 2 petani saja yang disiplin," kata Tata Karmita, 23, dari PPL. Sebagian besar petani rupanya tidak mematuhi aturan, katanya, sebab antara lain mereka masih terus menanam benih sesudah batas 15 Juni, dan tidak pula semua menggunakan benih Varitas Unggul Tahan Wereng (VUTW). Tapi VUTW, menurut Maksudi, sangat kekurangan hingga jenis Pelita dan IR 26 yang ditanam petani. Kebetulan Rangdu kata petugas PPL sudah jadi basis wereng sejak rendengan 1977. Jadi, Pelita dan IR tak akan tahan." Alat pemberantasan hama (hand sprayer) tidah pula mencukupi untuk Randu cuma wereng cepat berkembang biak. Pemberantasannya harus diulang sampai 4 kali dan serentak. Maksudi memang mampu menyemprot sesuai dengan petunjuk PPL Namun usahanya sia-sia belaka karena tetangganya tidak menyemprot. Serangan wereng memang sudah sejak 1975 tapi kali ini terberat. Haji Imron petani Rangdu lainnya mengeluh karena obat semprot Basudin. Teodan dan Furadan tidak mempan melawan hama. "Boleh jadi obat itu dipalsukan orang" tutur seorang dari Kanwil Deptan Jabar Para pemalsunya pernah ditangkap tahun lalu di Bandung tapi nyatanya dilepas tanpa hukuman. Pestisida palsu itu disebarkan mereka bukan hanya di Karawang, melainkan juga di sekitar Bandung, Jawa Tengah dan Lampung. Suhanda, petani di desa Balonggan di kecamatan Jatisari, pernah ditawari pestisida oleh penjaja yang tidak dikenal dengan harga murah. "Tapi saya ragu-ragu membelinya," katanya. Karena tidak jadi beli sama sekali, panennya gagal. Maret 1977, seorang petani di desa Karangsinom 5 km dari Cikampek, tak tahan hati melihat tanamannya habis dimakan wereng. Dia dijumpai mati menggantung diri di sawahnya. Terdapat beberapa kasus bunuh diri lainnya. Tapi jika masih hidup, banyak di antara mereka yang gagal itu pergi mencoba nasib ke Jakarta atau ke Lampung sebagai transmigran spontan. Maka terdapat desa, Rangdu umpamanya, kini jadi sepi. Anak-isteri mereka ditinggal dan diserahkan pada nasib masing-masing. Ada isteri yang menjual genteng gubuknya untuk bisa membeli singkong. Dan ada pula wanita yang kebetulan dijumpai oleh Solichin GP, sekretaris Pengendali Operasionil Pembangunan (Sekdalobang) Bina Graha minggu lalu. "Untuk apa enceng itu?" Solichin bertanya. Ombeng, nama wanita berusia 50 tahun itu, sedang mengambil daun eceng gondok di sawah yang kering di Rangdu. "Untuk makan, pak," jawabnya. "Kadang-kadang dicampur bubur." Ketika Sekdalobang itu bertanya lagi, dia menjawab bahwa suamiya sudah pergi ke Sumatera. Dialog demikian dilakukannya juga di kampung sekitarnya. Jawaban yang diperolehnya hampir sama: Kurang makan. Untuk mengurangi penderitaan mereka, Bulog mendrop 1000 ton bahan pangan, termasuk jagung. Dirjen Bantuan Sosial Depsos, Harun Alrasyid, juga telah menyerahkan 75 ton beras dan dana Rp 1,5 juta untuk 5 kecamatan yang paling menderita di Karawang. Kepala Bulog, Bustanil Arifin, bermaksud membentuk "Bank Pangan" di Karawang. Dengan bank itu, beras Bulog diharapkannya akan bisa disalurkan sebagai pinjaman kepada petani yang boleh membayar kembali sesudah panen. Jika tak mampu, katanya, petani bisa memperoleh beras Bulog dengan cuma-cuma. Namun kepala Bulog jtu kuatir kalau krisis Karawan ini akan berlarut, hingga "Bank Pangan cept diperlukan untuk menyalurkan bantuan. Masa paceklik diduga keras akan terjadi Januari s/d April nanti. Musim tanam rendengan dimulai medio Nopember sedang banyak petani akan masih sukar mencari modal untuk menggarapnya. Sementara itu, pemerintah akan menggalakkan proyek padat karya di Karawang, guna membuka kesempata kerja. Para petani yang turut dala padat karya biasanya menerima upah bahan pangan. Perum Otorita Jatiluhur nampaknya akan diminta menggunakan padat karya itu untuk memperbaiki saluran air. Semua ini biaya Rp 2 - 3 milyar diperlukannya. "Ini tak mungkin ditangguhkan lagi, " kata Bupati Tata Suwanta, "supaya banjir pada musim hujan nanti tercegah." Di Karawang saluran irigasi sekunder belum semuannya selesai. Banyak pula saluran tertier yang tidak terpelihara antara lain karena campur tangan pihak PUTL hanya sampai saluran sekunder. Jika hujan, dikuatirkan akan banjir lagi. Tapi jika Oktober ini tidak hujan, kata Mohammad Toha, sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), bukan hanya Karawang melainkan juga daerah persawahan Jawa bagian utara lainnya akan kritis sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus