KARAWANG biasanya mensuplai, sesuai dengan julukannya sebagai
"lumbung padi" Jawa Barat. Tapi minggu lalu bantuan pangan
malah terpaksa dikirim ke kabupaten itu. Maka bupatinya, Tata
Suwanta Hadisaputra pun berkata: "Saya sangat malu . . . "
Tahun 1975, Bulog masih dapat mengumpulkan beras dari Karawang
sebanyak 20.000 ton. Tidak banyak. Sesudah itu kemampuan
Karawang menyediakan untuk Bulog makin menurun ke 17.000 ton
tahun lalu, dan paling banyak cuma 1.200 ton tahun ini. Sudah
jelas bahwa Karawang kini tidak lagi merupakan suatu daerah
penghasil beras yang utama. Akibatnya mungkin akan terasa bagi
Jakarta yang selama ini terbiasa nenyedot beras Karawang.
Kemunduran Karawang belakangan ini terutama karena banyak
tanaman padi yang diserang hama wereng dan disiksa pula oleh
musim kemarau tahun ini. Kebetulan di beberapa tempat sedang
diadakan rehabilitasi irigasi hingga mengacaukan pengairan
sawah. Banyak pula sawah yang terkena banjir tahun lalu tidak
sepenuhnya bisa ditanami. Para petani yang ketika itu dilanda
banjir, karena terpaksa menebar benih beberapa kali, telah
terlambat mengikuti jadwal-tanam. Bila ketinggalan jadwal, maka
pengairan irigasi sukar diperoleh.
Meskipun batas Musim Tanam 1977 (15 Juni) sudah lewat, masih
banyak petani yang memaksakan diri menanam padi, yang pasti akan
gagal lagi.
Bupati Tata Suwanta mengatakan bahwa sudah tiba saatnya untuk
menganjurkan petani supaya beralih ke tanaman lain, terutama
bila jadwal-tanamnya untuk padi terlambat. "Tapi mereka ini
bandel," katanya. "Mereka bisa beruntung dengan palawija, tapi
keuntungan itu mereka gunakan lagi untuk menanam padi yang
kemudian rusak pula akibat wereng."
Pestisida Palsu
Wereng dan sebagainya itu telah mengakibatkan sedikitnya 40.000
jiwa kekurangan makan. Mereka berasal lima kecamatan -
Rawamerta, Pedes, Batujaya, Cilamaya dan Klari. Adalah desa
Rangdu, kecamatan Pedes. yang paling menderita di Karawang ini.
Said Muchsin dari TEMPO telah meninjau ke sana dan melaporkan:
"Selama hidup saya, baru sekarang saya mengalami nasib sial,"
ujar Haji Maksudi, 63 dari Rangdu. Dia terbilang petani kaya
yang memiliki sampai 80 Ha. Bayangkan betapa pula jeleknya
nasib banyak petani lain yang memiliki areal jauh lebih kecil,
bahkan sekecil 0,5 Ha. Maksudi mengatakan bahwa tidak ada
petunjuk Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang diabaikannya.
Semua sudah dipatuhi, katanya, dari cara bertanam jadwal-tanam
bibit, cara pemberantasan hama, dan sampai kepengunaan irigasi.
"Tidak cukup 1 - 2 petani saja yang disiplin," kata Tata
Karmita, 23, dari PPL. Sebagian besar petani rupanya tidak
mematuhi aturan, katanya, sebab antara lain mereka masih terus
menanam benih sesudah batas 15 Juni, dan tidak pula semua
menggunakan benih Varitas Unggul Tahan Wereng (VUTW). Tapi
VUTW, menurut Maksudi, sangat kekurangan hingga jenis Pelita
dan IR 26 yang ditanam petani. Kebetulan Rangdu kata
petugas PPL sudah jadi basis wereng sejak rendengan 1977. Jadi,
Pelita dan IR tak akan tahan."
Alat pemberantasan hama (hand sprayer) tidah pula mencukupi
untuk Randu cuma wereng cepat berkembang biak.
Pemberantasannya harus diulang sampai 4 kali dan serentak.
Maksudi memang mampu menyemprot sesuai dengan petunjuk PPL Namun
usahanya sia-sia belaka karena tetangganya tidak menyemprot.
Serangan wereng memang sudah sejak 1975 tapi kali ini terberat.
Haji Imron petani Rangdu lainnya mengeluh karena obat semprot
Basudin. Teodan dan Furadan tidak mempan melawan hama. "Boleh
jadi obat itu dipalsukan orang" tutur seorang dari Kanwil Deptan
Jabar Para pemalsunya pernah ditangkap tahun lalu di Bandung
tapi nyatanya dilepas tanpa hukuman. Pestisida palsu itu
disebarkan mereka bukan hanya di Karawang, melainkan juga di
sekitar Bandung, Jawa Tengah dan Lampung.
Suhanda, petani di desa Balonggan di kecamatan Jatisari, pernah
ditawari pestisida oleh penjaja yang tidak dikenal dengan harga
murah. "Tapi saya ragu-ragu membelinya," katanya. Karena tidak
jadi beli sama sekali, panennya gagal.
Maret 1977, seorang petani di desa Karangsinom 5 km dari
Cikampek, tak tahan hati melihat tanamannya habis dimakan
wereng. Dia dijumpai mati menggantung diri di sawahnya. Terdapat
beberapa kasus bunuh diri lainnya. Tapi jika masih hidup, banyak
di antara mereka yang gagal itu pergi mencoba nasib ke Jakarta
atau ke Lampung sebagai transmigran spontan. Maka terdapat desa,
Rangdu umpamanya, kini jadi sepi. Anak-isteri mereka ditinggal
dan diserahkan pada nasib masing-masing. Ada isteri yang menjual
genteng gubuknya untuk bisa membeli singkong. Dan ada pula
wanita yang kebetulan dijumpai oleh Solichin GP, sekretaris
Pengendali Operasionil Pembangunan (Sekdalobang) Bina Graha
minggu lalu.
"Untuk apa enceng itu?" Solichin bertanya. Ombeng, nama wanita
berusia 50 tahun itu, sedang mengambil daun eceng gondok di
sawah yang kering di Rangdu. "Untuk makan, pak," jawabnya.
"Kadang-kadang dicampur bubur." Ketika Sekdalobang itu bertanya
lagi, dia menjawab bahwa suamiya sudah pergi ke Sumatera.
Dialog demikian dilakukannya juga di kampung sekitarnya.
Jawaban yang diperolehnya hampir sama: Kurang makan.
Untuk mengurangi penderitaan mereka, Bulog mendrop 1000 ton
bahan pangan, termasuk jagung. Dirjen Bantuan Sosial Depsos,
Harun Alrasyid, juga telah menyerahkan 75 ton beras dan dana Rp
1,5 juta untuk 5 kecamatan yang paling menderita di Karawang.
Kepala Bulog, Bustanil Arifin, bermaksud membentuk "Bank
Pangan" di Karawang. Dengan bank itu, beras Bulog diharapkannya
akan bisa disalurkan sebagai pinjaman kepada petani yang boleh
membayar kembali sesudah panen. Jika tak mampu, katanya, petani
bisa memperoleh beras Bulog dengan cuma-cuma. Namun kepala Bulog
jtu kuatir kalau krisis Karawan ini akan berlarut, hingga "Bank
Pangan cept diperlukan untuk menyalurkan bantuan. Masa paceklik
diduga keras akan terjadi Januari s/d April nanti. Musim tanam
rendengan dimulai medio Nopember sedang banyak petani akan
masih sukar mencari modal untuk menggarapnya.
Sementara itu, pemerintah akan menggalakkan proyek padat karya
di Karawang, guna membuka kesempata kerja. Para petani yang
turut dala padat karya biasanya menerima upah bahan pangan.
Perum Otorita Jatiluhur nampaknya akan diminta menggunakan padat
karya itu untuk memperbaiki saluran air. Semua ini biaya Rp 2 -
3 milyar diperlukannya. "Ini tak mungkin ditangguhkan lagi, "
kata Bupati Tata Suwanta, "supaya banjir pada musim hujan
nanti tercegah."
Di Karawang saluran irigasi sekunder belum semuannya selesai.
Banyak pula saluran tertier yang tidak terpelihara antara lain
karena campur tangan pihak PUTL hanya sampai saluran sekunder.
Jika hujan, dikuatirkan akan banjir lagi. Tapi jika Oktober ini
tidak hujan, kata Mohammad Toha, sekjen Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI), bukan hanya Karawang melainkan juga daerah
persawahan Jawa bagian utara lainnya akan kritis sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini