Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Oh, dolar, nasibmu malang

Kejatuhan dolar as makin sulit dikendalikan. hilangnya kepercayaan terhadap dolar as sekarang ini berkaitan erat dengan penampilan ekonomi as, yang memburuk. utang luar negeri as us$ 200 milyar.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJATUHAN dolar Amerika tampak , makin sulit dikendalikan. Kendati, Bank Sentral Jepang, Inggris, Swiss, Jerman Barat, Prancis, Belgia, dan Belanda telah berusaha memborong dolar, di mata spekulan, mata uang AS itu seperti tak ada gunanya lagi. Senin pekan silam, nilai tukar US$ 1 terhadap Deutschmark dan yen masing-masing 1,77 dan 137. Bahkan kurs dolar terhadap yen itu tercatat paling rendah dalam 39 tahun terakhir. Selang beberapa hari kemudian, harga dolar memang beranjak naik lagi, tapi para pedagang valuta asing tak yakin bahwa dolar tak bakal turun lagi. Hilangnya kepercayaan orang terhadap dolar sekarang ini berkaitan erat dengan penampilan ekonomi AS, yang makin buruk. Dolar, yang telah didevaluasikan sejak September 1985, ternyata belum mampu mendorong ekspor AS. Neraca perdagangan luar negeri AS, yang mengalami detisit US$ 117,7 milyar pada 1985, tahun berikutnya membengkak sampai US$ 166,3 milyar. Akibatnya, AS, yang sampai 1984 merupakan pemberi kredit terbesar, kini malah memiliki utang luar negeri lebih dari US$ 200 milyar, dan dengan kewajiban membayar bunga sekitar US$ 20 milyar per tahun. Pada akhir masa jabatan Presiden Ronald Reagan, pada 1990, utang AS diperkirakan USS 500 milyar -- 1 trilyun, dengan kewajiban membayar bunga US$ 40 milyar -- 40 milyar per tahun. Melihat neraca perdagangan yang makin parah, dari mana AS mendapatkan dana untuk membayar utang luar negerinya? Ada kemungkinan mereka baru mencetak uang baru, atau terus menggali utang lebih banyak. Mengapa sampai terjadi demikian? Menurut bekas Kanselir Jerman Barat Helmut Schmidt, yang menulis di koran Jepang Keizai Shimbun, awal Februari lalu, karena merasa urusan anggaran dan keuangan negara mereka tak ada sangkut pautnya dengan valuta asing. Sikap ini sudah berlangung lama -- sejak Presiden Lyndon B. Johnson memerintah. Adalah Johnson, pada 1973, yang menghancurkan sistem Bretton Woods (kesepakatan internasional tentang pengaturan sistem perdagangan dan pembayaran internasional, yang dibuat di Bretton Woods, Inggris, 1944), dan melepaskan posisi dolar sebagai batu timbangan valuta internasional. "Mereka pikir mereka mampu membiayai Perang Vietnam, dan sekaligus membiayai Masyarakat Agung (AS) tanpa perlu menaikkan pajak," tulis Schmidt. Padahal, waktu itu, secara ekonomis pemerinta AS harus menaikkan pajak untuk membiayai anggarannya, bukan dengan menarik tabungan negara lain. Keadaan serupa diterapkan pula oleh Presiden Reagan untuk membiayai anggaran Perang Bintang. Ketekoran anggaran bukannya ditutup dengan pajak masyarakat, melainkan dengan mengimpor tabungan negara-negara lain ke pusat bursa Wall Street dan bank-bank AS. Salahnya, kata Schmidt, pemerintah Jepang, Jerman, dan negara-negara lain membiarkan cadangan devisa mereka lari ke AS. Maka, akibat suku bunga serta penilaian tinggi terhadap dolar, timbul ekonomi biaya tinggi di AS, yang menyebabkan produksi mereka sulit mendapatkan pasar. Sejak 1985, keadaan berbalik Bank Sentral AS, Jepang, Jerman Barat, Inggris, dan Swiss, mulai sadar bahwa kurs dolar sudah tak beres. Lima negara itu, yang kemudian menjadi tujuh bersama Prancis dan Italia, mencoba menata kembali sistem keuangan dan perdagangan dunia. Itu pun setengah-setengah. "Tak ada aksi besar bisa muncul dari mereka," tulis Shmidt. Bekas kanselir itu meramalkan bahwa kurs dolar akan terus merosot sampai 120 yen, dan 1,60 Deutschmark. Bila ramalan itu benar, ekonomi Indonesia akan ikut parah. Sekarang ini saja, merosotnya nilai dolar secara relatif mengurangi pendapatan devisa Indonesia, apalagi ekspor barang-barang hasil pertanian (seperti karet, kopi, teh, kelapa sawit), dan pertambangan minyak bumi, timah, dan tembaga) dijual dalam dolar. Selain itu, bergesernya posisi AS dari negara kreditur menjadi debitur, bakal menyulitkan Indonesia untuk meminjam dalam bentuk dolar. Maka, akhir-akhir ini pinjaman pemerintah semakin banyak dalam bentuk yen, baik dari pemerintah Jepang maupun dari sindikat bank-bank komersial. Tapi hal ini cukup membuat kening beberapa pengamat ekonomi berkerinyut. "Saya tak yakin manajer keuangan (negara) kita cukup menguasai masalah pembengkakan utang dalam yen itu," kata pengamat ekonomi Anwar Nasution.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus