Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Video...asyiik

Video menimbulkan pengaruh baik dan buruh dari berbagai pihak. macam-macam ukuran video buatan jepang belum tentu dapat dipakai di indonesia. (md)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA seri, seri pendek ataupun seri panjang, semua habis dilahap keluarga Sumbogo. Mereka itu terbilang ganas dalam hal yang satu ini: video. "Ini satu-satunya hiburan saya," ujar Sumbogo--bukan nama asli--pensiunan Departemen Tenaga Kerja yang tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Para cucu dan anaknya lelaki yang remaja ikut menikmnati video, bahkan dalam ke asyikan menggebu vang hampir tidak kenal waktu. Biar subuh, biar menjelang tengah malam, kalau demam video merasuk, maka tiga generasi dalam keluarga rukun bersatu. Intim! Dalam saat-saat seperti itu perangkat video dengan VTR (Videotape Recorder) dan VCR (Videocassette Recorder) nampaknya berfungsi bagaikan pemersatu keluarga. Juga anak-anak jadi betah di rumah. Malah, ujar Ny. Neneng di Bandung, "Video dapat merangsang mereka belajar." Atau seperti kata Ny. Arwah Setiawan, "Anak-anak kami tidak ada yang anjlok nilai rapornya." Istri humoris yang terkenal itu, seperti juga Ny. Irin Pribadi--keduanya tinggal di Jakarta--mengatur ketat jadwal video untuk seluruh anggota keluarga. Di rumah Arwah waktu putar sesudah makan malam, sedangkan keluarga Irin memilih hari Sabtu dan Minggu saja. Pada waktu yang menyenangkan itu, pada orangtua berada dekat dengan anak-anak. Sambil menonton mereka mendengarkan celetukan yang biasanya lucu-lucu dan spontan. Rasanya tidak berlebihan kalau video disebut juga sarana yang menciptakan kebersamaan-sesuatu yang semakin langka, bahkan hilang--dari tengah keluarga yang bermukim di kota-kota. Kini, lewat video, kebersamaan itu kembali. Apakah dengan demikian orang kemudian boleh meniru Gepeng dan berkata, "Untung ada video (?)" Masalahnya tidak sesederhana itu, tentu saja. Produk elektronika mutakhir tersebut bisa menyebarkan pengaruh yang baik dan buruk. Sementara pengaruh baiknya masih diragukan, pengaruh buruknya konon sukar dibantah. Karena itu untuk "pengamanan", tidak sedikit instansi pemerintah disiagakan. Antara lain Kejaksaan Agung, Ditjen Bea Cukai, Badan Sensor Film dan Kantor Pos Besar kelas 1, di samping Departemen Perdagangan yang mengawasi segala bentuk perniagaan video dan Departemen perindustrian yang mengawasi segala jenis kegiatan produksi rekaman video. Agaknya dalam hal merepotkan pemerintah. video kalah cuma dari beras saja. Dan kalau ditilik lebih dalam, benda yang satu itu memang tidak mudah mengurusnya. Meskipun pernah ramai plus sedikit ricuh, Kejaksaan Agung dan BSF nampak bersungguh-sungguh membatasi berbagai akibat negatif yang bisa ditimbulkan oleh video. Kejaksaan Agung biasanya bertindak lebih awal, memberangus semua rekaman video yang dianggap membahayakan ideologi dan moral lan casila. Kewaspadaan ipoleksos bagai manapun harus diutamakan tentu, tapi bagaimana kewaspadaannya terhadap, misalnya, One X Double X dan Triple X? Atau yang disebut blue film dan, menurut orang Medan, film cabul? Sudah merupakan rahasia umum bahwa film biru, kalau anda mau, bisa didapatkan dengan mudah. Lewat pelayanan dari rumah ke rumah, Ny. Neneng tiap minggu memesan 34 film, tidak terkecuali yang cabul. "Tapi putarnya di kamar, kalau anak-anak sudah tidur," kata nyonya ini tanpa sembunyi-sembunyi. Dia tidak menjelaskan apakah judul yang dipilihnya termasuk One, Double atau Triple X. Putra bungsu keluarga Sumbogo, yang berusia 18 tahun, diberi hak penuh untuk menonton film biru, satu sikap demokratis sang ayah. Dan ia tidak kalah sopan dengan Ny. Neneng. "Pesawat tv dan video saya bawa ke kamar. Pintu saya kunci," tutur siswa SMA kelas 3 itu seraya tersenyum-senyum. Di rumah keluarga Arwah aturan mainnya lain lagi. Bila film 17 tahun ke atas diputar, anak-anak yang masih SD dan SMP dilarang keluar kamar. Dan mereka patuh. Kok bisa ya, ternyata? Memang banyak cara yang ditempuh sebuah kaset video 17 tahun ke atas sebelum ia sampai ke tangan konsumen. Masalahnya bukan lagi karena kelalaian BSF atau kecerobohan Kejagung. Dua lembaga ini sudah cukup hati-hati. Bahkan "Cium yang menggairahkan saja tak akan diluluskan," kata Soekanto, Wakil Ketua Pelaksana BSF. Apalagi karena, katanya, ada sejenis perangkat video yang bisa "menahan" sebuah adegan hingga bisa ditonton berlama-lama. Ketrampilan video yang begini jelas tidak rnungkin ditemukan di bioskop. Penyelundupan dan penyebaran film mungkin saja terjadi. Petugas Polri Kosekta 2112 Belawan, Sum-Ut, baru-baru ini memergoki 10 wanita yang sedang menonton film "gituan" di rumah Hajjah Samsiah (bukan nama sebenarnya). Dua di antaranya berusia 19 tahun. Karena perbuatan itu, terpaksa Ny. Samsiah bersama wanita yang memiliki kaset porno tersebut menginap semalam di Kosekta. Adapun tetangganya, pengusaha kedai kopi, menuturkan bahwa untuk pemutaran tersebut Samsiah memungut bayaran--tiap malam bisa terkumpul Rp 3.000. Sebuah usaha sampingan yang lumayan, namun wanita itu membantah. "Pemutaran itu untuk mengetahui perbuatan cabul saja," kilahnya. Tidak jelas apakah petugas Polri bertindak karena film cabul atau karena pemungutan bayaran. Tapi kenyataannya ialah belum ada perangkat undang-undang yang secara lengkap dan tuntas menyangkut video, termasuk hal pemanfaatannya. (Yang baru ada: UU No. 4/PNPS/1963 yang mengatur pengawasan dan penyensuran). Dengan demikian, tindakan petugas pemerintah bisa berbeda sifatnya. Barangkali sesuai dengan cuaca dan "warna" setempat. Itulah. Kalaupun banyak kisruh terjadi, entah di mana saja, yang menyangkut pemakaian dan perdagangan video, itu pun terpulang pada kekosongan dalam hal UU tersebut. Bahwa perangkat video semakin lama semakin membiakkan pelbagai usaha sampingan, jelas bukan hal baru. Samsiah barangkali hanya meniru praktek orang di pelosok Jakarta yang menghidangkan acara video dengan bayaran Rp 25 per orang. Tapi seorang bintang seperti Rima Melati, yang mengaku gemar pada kamera, sejak 8 bulan terakhir berkecimpung dalam bisnis video. Desember ini, misalnya dalam resepsi perkawinan putri Ir. Ciputra di Hotel Horison Jakarta, Rima dengan trampil dan lincah beraksi dengan kameranya. Bintang film berusia 43 tahun ini merekam resepsi itu lewat video Betamax. Selain mengelola 3 restorannya, Rima Melati telah memvidcokan 3 upacara perkawinan, 2 seminar, 3 fashoshow dan beberapa acara pelantikan pejabat. "Tapi yang terakhir ini bukan karena koneksi," ungkapnya tanpa ditanya. Itu belumlah apa-apa jika dibandingkan dengan koleksi video Dicky Wp, dari perusahaan Audio Visual Indonesia. Selama 2 tahun sudah ia dalam bisnis "peliputan" lewat video. Dicky, 41 tahun, drop out FKG Trisakti, telah menghasilkan 100 kaset liputan. "Rata-rata seminar satu," ujarnya. Untuk 1 kaset dengan masa putar 2 jam, tarifnya Rp 400.000. Dan Dicky, yang bekerja secara profesional, bisa menggunakan 2 kamera. Kalau perlu ia dibantu seorang asisten juru kamera. Banyak keluarga pejabat memesan jasanya. Mungkin karena hasil karyanya dikerjakan rapi lengkap dengan sentuhan artistik, sesuatu yang agak sulit ditemukan barangkali dalam kerja massal oleh perusahaan lebih besar seperti Video Tara. Tapi baik Rima maupun Dicky tidak sempat bercerita tentang pajak pendapatannya. Mungkin juga belum terjaring oleh dinas pajak. Masih ada lagi yang belum jelas, alias gelap? Jawabnya, ya. Soenarto Wirjowidagdo, Ketua Umum Aspevi (Asosiasi Perusahaan Industri Rekaman Kaset Video Indonesia) mensinyalir bahwa kaset video gelap yang beredar lebih hanyak daripada yang resmi. "Sejumlah perusahaan video rental telah dibuka hanya sebagai kedok untuk mengedarkan kaset gelap itu," katanya. Sewa harian sebuah film Triple X yaitu film biru yang paling serm bisa mencapai Rp 3.000, menurut Soenarto. Untuk yang bukan gelap, sewanya Rp 1.000 per hari per kaset. Shelly, remaja putri dalam keluarga Bahder Djohan yang tinggal di kawasan Duren Tiga, Jakarta, pernah mengomel. Penjaja video keliling menawarkan padanya kaset Endless Love yang belum disensur. Adegan percintaan Brooke Shield di situ benar-benar kasar, hingga keluarga itu tidak tega menyaksikannya. Tapi agaknya tidak sedikit orang bisa asyik dengan adegan kasar. Karena itu pula penjaja seperti Zulkarnaen tidak khawatir akan kehilangan nafkah. Pemuda 28 tahun ini mulai keliling pukul 14.00 sampai 20.00, membawa 25 kaset video yang selalu habis dipinjamkan. Ia mengaku bekerja pada sebuah perusahaan rental di Glodok Plaza, Jakarta, yang baru 3 bulan berdiri dan amat dirahasiakan namanya. Mengapa? Mungkin karena perusahaan itu cuma kedok untuk peredaran kaset gelap. Hal lain yang juga tidak banyak diketahui orang, menurut Soenarto, ialah usaha produksi kaset kosong untuk video yang sudah diprakarsai di dalam negeri. Namanya Mascot, harganya sekitar Rp 3.500, setengah harga kaset impor. Mutunya tidak bisa dijamin, tutur Soenarto. "Biasanya para pembajak video menggunakan kaset jenis ini karena mereka tidak peduli dengan mutu rekaman." Mascot memang pernah diproduksi oleh PT Madya, Jalan Daan Mogot KM 18, Jakarta. Ina, karyawan di situ mengakuinya. Tapi entah mengapa kemudian Madya beralih ke produksi untuk tari, recorder biasa. Dalam hal rekaman kaset video, yaitu pencetakan copy film baru yang sudah lolos BSF, sejauh yang dapat dikutip dari Soenarto, semua rapi adanya. Aspevi yang dipimpinnya, dengan delapan perusahaan anggota, mencetak 300 kaset tiap judul. Itu berarti tingkat produksinya 15.000 kaset per bulan. Namun sebagian mutu pencetakannya tidak prima. Ada kalanya dicetak dari copy film yang jelek, sedangkan kalau dari negatif film, kata Soenarto, hasilnya akan jauh lebih bagus. Dalam hal ini yang paling dirugikan tentu saja konsumen. Adapun usaha rental (penyewaan) narnpaknya tidak mungkin rugi. Bisnis itu, menurut Soenarto, justru kebal terhadap resesi. Diperhitungkannya kini di Indonesia ada 1.500 pengusaha rental separuhnya idak memiliki izin usaha. Dan cntah dari mana, Soenarto bisa menyatakan daerah Ja-Bar teratas dengan 600 video rental, menyusul Jakarta dengan jumlah 400. Sisanya terbagi antara beberapa kota besar, khususnya di Jawa dan Sumatera. Segi gelap melekat juga pada perdagangan pesawat video. Menurut B. Ichsani, ketua Umum Gabungan Elektronika, pastilah "barang selundupan", bila VTR yang dijual orang di bawah harga Rp 600 ribu. Ichsani yang juga dikenal sebagai agen tunggal Toshiba ini mengemukakan alasan baliwa harga impor VTR merk, Sony dan Toshiba Rp 760 ribu perbuah Karena itu pula Ichsani menghimbau agar bea masuk VTR diturunkan. Jamien A. Tahir, anggoa direksi PT National Gobel berpendapat sebab penyelundupan berasal dari persaingan tak sehat. Dikatakannya harga VHS di atas Rp 600 ribu, sedangkan harga Sony (Betamax) lebih murah. Tapi Sony yang masuk resmi tetap saja berharga Rp 760 ribu per buah. "Penyelunlupan ini merupakan lingkaran setan," ujar Jamien Tahir. Terpisah dari video selundupan, pemilik bioskop tercatat sebagai pihak yang terpukul sekali. "Tahun 1981 jumlah pengunjung bioskop menurul 20% dan tahun 1982 menurun lagi 10%," kata John Tjasmadi, Ketua GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia). Konon GPBSI pernah minta agar pengusaha tidak menyewakan film yang sedang diputar di bioskop. "Tapi ternyata mereka sendiri kewalahan menghadapi film baru yang beredar secara gelap," ujar Tjasmadi pula. Lalu GPBSI harus bagaimana? Tjasmadi mengadakan introspeksi gedung bioskop harus dibuat lebih nyaman dan harga tanda masuk diturunkan. "Tahun depan mudah-mudahan sudah terlaksana," tuturnya. Bahwa harga tanda masuk bioskop yang tinggi menurunkan arus penonton, ini wajar sekali. Bahwa harganya bisa diturunkan, justru itu menimbulkan tanda tanya. Kalau memang bisa, mengapa baru akan dilakukan? Dari usaha video rental bisa dijajaki film apa saja yang laris. Supriyana di Kudus melaporkan film Mandarin/kung fu, Indonesia dan India paling laku. Juga kira-kira begitu terdengar di Yogya, landung, dan Jakarta. Trend selera yang disimpulkan dari hasil wawancara ini tidak jauh berbeda dengan data yang diberikan Kadiono, Sekretaris BSF. Menurut pejabat ini, dari yang lolos sensur BSF, film Mandarin di tempat teratas, menyusul film Eropa-Amerika, baru kemudian film Indonesia. (lihat grafik). Dominasi film kung fu memang mengkhawatirkan banyak pihak. Anakanak di bawah 10 tahun menjadi amat keranjingan, malah juga terpancing untuk berbuat agresif. Serial kung fu tak asing bagi mereka seperti Princess Cheun Ping (25 seri), Patriot Wong (22 seri), The Wonder Lady (9 seri). Sesungguhnya tidak sedikit anggota masyarakat yang mengharapkan agar kaset video juga dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, misalnya, pelajaran matematika. Perhatian Dep. P & K sedang ditunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus