TANPA seri, seri pendek ataupun seri panjang, semua habis
dilahap keluarga Sumbogo. Mereka itu terbilang ganas dalam hal
yang satu ini: video. "Ini satu-satunya hiburan saya," ujar
Sumbogo--bukan nama asli--pensiunan Departemen Tenaga Kerja yang
tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Para cucu dan anaknya lelaki
yang remaja ikut menikmnati video, bahkan dalam ke asyikan
menggebu vang hampir tidak kenal waktu. Biar subuh, biar
menjelang tengah malam, kalau demam video merasuk, maka tiga
generasi dalam keluarga rukun bersatu. Intim!
Dalam saat-saat seperti itu perangkat video dengan VTR
(Videotape Recorder) dan VCR (Videocassette Recorder) nampaknya
berfungsi bagaikan pemersatu keluarga. Juga anak-anak jadi betah
di rumah. Malah, ujar Ny. Neneng di Bandung, "Video dapat
merangsang mereka belajar." Atau seperti kata Ny. Arwah
Setiawan, "Anak-anak kami tidak ada yang anjlok nilai rapornya."
Istri humoris yang terkenal itu, seperti juga Ny. Irin
Pribadi--keduanya tinggal di Jakarta--mengatur ketat jadwal
video untuk seluruh anggota keluarga. Di rumah Arwah waktu putar
sesudah makan malam, sedangkan keluarga Irin memilih hari Sabtu
dan Minggu saja.
Pada waktu yang menyenangkan itu, pada orangtua berada dekat
dengan anak-anak. Sambil menonton mereka mendengarkan celetukan
yang biasanya lucu-lucu dan spontan. Rasanya tidak berlebihan
kalau video disebut juga sarana yang menciptakan
kebersamaan-sesuatu yang semakin langka, bahkan hilang--dari
tengah keluarga yang bermukim di kota-kota. Kini, lewat video,
kebersamaan itu kembali. Apakah dengan demikian orang kemudian
boleh meniru Gepeng dan berkata, "Untung ada video (?)"
Masalahnya tidak sesederhana itu, tentu saja. Produk elektronika
mutakhir tersebut bisa menyebarkan pengaruh yang baik dan buruk.
Sementara pengaruh baiknya masih diragukan, pengaruh buruknya
konon sukar dibantah. Karena itu untuk "pengamanan", tidak
sedikit instansi pemerintah disiagakan. Antara lain Kejaksaan
Agung, Ditjen Bea Cukai, Badan Sensor Film dan Kantor Pos Besar
kelas 1, di samping Departemen Perdagangan yang mengawasi segala
bentuk perniagaan video dan Departemen perindustrian yang
mengawasi segala jenis kegiatan produksi rekaman video. Agaknya
dalam hal merepotkan pemerintah. video kalah cuma dari beras
saja. Dan kalau ditilik lebih dalam, benda yang satu itu memang
tidak mudah mengurusnya.
Meskipun pernah ramai plus sedikit ricuh, Kejaksaan Agung dan
BSF nampak bersungguh-sungguh membatasi berbagai akibat negatif
yang bisa ditimbulkan oleh video. Kejaksaan Agung biasanya
bertindak lebih awal, memberangus semua rekaman video yang
dianggap membahayakan ideologi dan moral lan casila.
Kewaspadaan ipoleksos bagai manapun harus diutamakan tentu, tapi
bagaimana kewaspadaannya terhadap, misalnya, One X Double X dan
Triple X? Atau yang disebut blue film dan, menurut orang Medan,
film cabul?
Sudah merupakan rahasia umum bahwa film biru, kalau anda mau,
bisa didapatkan dengan mudah. Lewat pelayanan dari rumah ke
rumah, Ny. Neneng tiap minggu memesan 34 film, tidak terkecuali
yang cabul. "Tapi putarnya di kamar, kalau anak-anak sudah
tidur," kata nyonya ini tanpa sembunyi-sembunyi. Dia tidak
menjelaskan apakah judul yang dipilihnya termasuk One, Double
atau Triple X.
Putra bungsu keluarga Sumbogo, yang berusia 18 tahun, diberi hak
penuh untuk menonton film biru, satu sikap demokratis sang ayah.
Dan ia tidak kalah sopan dengan Ny. Neneng. "Pesawat tv dan
video saya bawa ke kamar. Pintu saya kunci," tutur siswa SMA
kelas 3 itu seraya tersenyum-senyum.
Di rumah keluarga Arwah aturan mainnya lain lagi. Bila film 17
tahun ke atas diputar, anak-anak yang masih SD dan SMP dilarang
keluar kamar. Dan mereka patuh. Kok bisa ya, ternyata?
Memang banyak cara yang ditempuh sebuah kaset video 17 tahun ke
atas sebelum ia sampai ke tangan konsumen. Masalahnya bukan lagi
karena kelalaian BSF atau kecerobohan Kejagung. Dua lembaga ini
sudah cukup hati-hati. Bahkan "Cium yang menggairahkan saja tak
akan diluluskan," kata Soekanto, Wakil Ketua Pelaksana BSF.
Apalagi karena, katanya, ada sejenis perangkat video yang bisa
"menahan" sebuah adegan hingga bisa ditonton berlama-lama.
Ketrampilan video yang begini jelas tidak rnungkin ditemukan di
bioskop.
Penyelundupan dan penyebaran film mungkin saja terjadi. Petugas
Polri Kosekta 2112 Belawan, Sum-Ut, baru-baru ini memergoki 10
wanita yang sedang menonton film "gituan" di rumah Hajjah
Samsiah (bukan nama sebenarnya). Dua di antaranya berusia 19
tahun. Karena perbuatan itu, terpaksa Ny. Samsiah bersama wanita
yang memiliki kaset porno tersebut menginap semalam di Kosekta.
Adapun tetangganya, pengusaha kedai kopi, menuturkan bahwa untuk
pemutaran tersebut Samsiah memungut bayaran--tiap malam bisa
terkumpul Rp 3.000. Sebuah usaha sampingan yang lumayan, namun
wanita itu membantah. "Pemutaran itu untuk mengetahui perbuatan
cabul saja," kilahnya.
Tidak jelas apakah petugas Polri bertindak karena film cabul
atau karena pemungutan bayaran. Tapi kenyataannya ialah belum
ada perangkat undang-undang yang secara lengkap dan tuntas
menyangkut video, termasuk hal pemanfaatannya. (Yang baru ada:
UU No. 4/PNPS/1963 yang mengatur pengawasan dan penyensuran).
Dengan demikian, tindakan petugas pemerintah bisa berbeda
sifatnya. Barangkali sesuai dengan cuaca dan "warna" setempat.
Itulah. Kalaupun banyak kisruh terjadi, entah di mana saja, yang
menyangkut pemakaian dan perdagangan video, itu pun terpulang
pada kekosongan dalam hal UU tersebut.
Bahwa perangkat video semakin lama semakin membiakkan pelbagai
usaha sampingan, jelas bukan hal baru. Samsiah barangkali hanya
meniru praktek orang di pelosok Jakarta yang menghidangkan acara
video dengan bayaran Rp 25 per orang. Tapi seorang bintang
seperti Rima Melati, yang mengaku gemar pada kamera, sejak 8
bulan terakhir berkecimpung dalam bisnis video. Desember ini,
misalnya dalam resepsi perkawinan putri Ir. Ciputra di Hotel
Horison Jakarta, Rima dengan trampil dan lincah beraksi dengan
kameranya.
Bintang film berusia 43 tahun ini merekam resepsi itu lewat
video Betamax. Selain mengelola 3 restorannya, Rima Melati telah
memvidcokan 3 upacara perkawinan, 2 seminar, 3 fashoshow dan
beberapa acara pelantikan pejabat. "Tapi yang terakhir ini bukan
karena koneksi," ungkapnya tanpa ditanya.
Itu belumlah apa-apa jika dibandingkan dengan koleksi video
Dicky Wp, dari perusahaan Audio Visual Indonesia. Selama 2
tahun sudah ia dalam bisnis "peliputan" lewat video. Dicky, 41
tahun, drop out FKG Trisakti, telah menghasilkan 100 kaset
liputan. "Rata-rata seminar satu," ujarnya.
Untuk 1 kaset dengan masa putar 2 jam, tarifnya Rp 400.000. Dan
Dicky, yang bekerja secara profesional, bisa menggunakan 2
kamera. Kalau perlu ia dibantu seorang asisten juru kamera.
Banyak keluarga pejabat memesan jasanya. Mungkin karena hasil
karyanya dikerjakan rapi lengkap dengan sentuhan artistik,
sesuatu yang agak sulit ditemukan barangkali dalam kerja massal
oleh perusahaan lebih besar seperti Video Tara.
Tapi baik Rima maupun Dicky tidak sempat bercerita tentang pajak
pendapatannya. Mungkin juga belum terjaring oleh dinas pajak.
Masih ada lagi yang belum jelas, alias gelap? Jawabnya, ya.
Soenarto Wirjowidagdo, Ketua Umum Aspevi (Asosiasi Perusahaan
Industri Rekaman Kaset Video Indonesia) mensinyalir bahwa kaset
video gelap yang beredar lebih hanyak daripada yang resmi.
"Sejumlah perusahaan video rental telah dibuka hanya sebagai
kedok untuk mengedarkan kaset gelap itu," katanya.
Sewa harian sebuah film Triple X yaitu film biru yang paling
serm bisa mencapai Rp 3.000, menurut Soenarto. Untuk yang bukan
gelap, sewanya Rp 1.000 per hari per kaset.
Shelly, remaja putri dalam keluarga Bahder Djohan yang tinggal
di kawasan Duren Tiga, Jakarta, pernah mengomel. Penjaja video
keliling menawarkan padanya kaset Endless Love yang belum
disensur. Adegan percintaan Brooke Shield di situ benar-benar
kasar, hingga keluarga itu tidak tega menyaksikannya.
Tapi agaknya tidak sedikit orang bisa asyik dengan adegan kasar.
Karena itu pula penjaja seperti Zulkarnaen tidak khawatir akan
kehilangan nafkah. Pemuda 28 tahun ini mulai keliling pukul
14.00 sampai 20.00, membawa 25 kaset video yang selalu habis
dipinjamkan. Ia mengaku bekerja pada sebuah perusahaan rental di
Glodok Plaza, Jakarta, yang baru 3 bulan berdiri dan amat
dirahasiakan namanya. Mengapa? Mungkin karena perusahaan itu
cuma kedok untuk peredaran kaset gelap.
Hal lain yang juga tidak banyak diketahui orang, menurut
Soenarto, ialah usaha produksi kaset kosong untuk video yang
sudah diprakarsai di dalam negeri. Namanya Mascot, harganya
sekitar Rp 3.500, setengah harga kaset impor. Mutunya tidak bisa
dijamin, tutur Soenarto. "Biasanya para pembajak video
menggunakan kaset jenis ini karena mereka tidak peduli dengan
mutu rekaman."
Mascot memang pernah diproduksi oleh PT Madya, Jalan Daan Mogot
KM 18, Jakarta. Ina, karyawan di situ mengakuinya. Tapi entah
mengapa kemudian Madya beralih ke produksi untuk tari, recorder
biasa.
Dalam hal rekaman kaset video, yaitu pencetakan copy film baru
yang sudah lolos BSF, sejauh yang dapat dikutip dari Soenarto,
semua rapi adanya. Aspevi yang dipimpinnya, dengan delapan
perusahaan anggota, mencetak 300 kaset tiap judul. Itu berarti
tingkat produksinya 15.000 kaset per bulan. Namun sebagian mutu
pencetakannya tidak prima. Ada kalanya dicetak dari copy film
yang jelek, sedangkan kalau dari negatif film, kata Soenarto,
hasilnya akan jauh lebih bagus. Dalam hal ini yang paling
dirugikan tentu saja konsumen.
Adapun usaha rental (penyewaan) narnpaknya tidak mungkin rugi.
Bisnis itu, menurut Soenarto, justru kebal terhadap resesi.
Diperhitungkannya kini di Indonesia ada 1.500 pengusaha rental
separuhnya idak memiliki izin usaha. Dan cntah dari mana,
Soenarto bisa menyatakan daerah Ja-Bar teratas dengan 600 video
rental, menyusul Jakarta dengan jumlah 400. Sisanya terbagi
antara beberapa kota besar, khususnya di Jawa dan Sumatera.
Segi gelap melekat juga pada perdagangan pesawat video.
Menurut B. Ichsani, ketua Umum Gabungan Elektronika, pastilah
"barang selundupan", bila VTR yang dijual orang di bawah harga
Rp 600 ribu. Ichsani yang juga dikenal sebagai agen tunggal
Toshiba ini mengemukakan alasan baliwa harga impor VTR merk,
Sony dan Toshiba Rp 760 ribu perbuah Karena itu pula Ichsani
menghimbau agar bea masuk VTR diturunkan.
Jamien A. Tahir, anggoa direksi PT National Gobel berpendapat
sebab penyelundupan berasal dari persaingan tak sehat.
Dikatakannya harga VHS di atas Rp 600 ribu, sedangkan harga Sony
(Betamax) lebih murah. Tapi Sony yang masuk resmi tetap saja
berharga Rp 760 ribu per buah. "Penyelunlupan ini merupakan
lingkaran setan," ujar Jamien Tahir.
Terpisah dari video selundupan, pemilik bioskop tercatat sebagai
pihak yang terpukul sekali. "Tahun 1981 jumlah pengunjung
bioskop menurul 20% dan tahun 1982 menurun lagi 10%," kata John
Tjasmadi, Ketua GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh
Indonesia). Konon GPBSI pernah minta agar pengusaha tidak
menyewakan film yang sedang diputar di bioskop. "Tapi ternyata
mereka sendiri kewalahan menghadapi film baru yang beredar
secara gelap," ujar Tjasmadi pula.
Lalu GPBSI harus bagaimana? Tjasmadi mengadakan introspeksi
gedung bioskop harus dibuat lebih nyaman dan harga tanda masuk
diturunkan. "Tahun depan mudah-mudahan sudah terlaksana,"
tuturnya. Bahwa harga tanda masuk bioskop yang tinggi menurunkan
arus penonton, ini wajar sekali. Bahwa harganya bisa diturunkan,
justru itu menimbulkan tanda tanya. Kalau memang bisa, mengapa
baru akan dilakukan?
Dari usaha video rental bisa dijajaki film apa saja yang laris.
Supriyana di Kudus melaporkan film Mandarin/kung fu, Indonesia
dan India paling laku. Juga kira-kira begitu terdengar di Yogya,
landung, dan Jakarta. Trend selera yang disimpulkan dari hasil
wawancara ini tidak jauh berbeda dengan data yang diberikan
Kadiono, Sekretaris BSF. Menurut pejabat ini, dari yang lolos
sensur BSF, film Mandarin di tempat teratas, menyusul film
Eropa-Amerika, baru kemudian film Indonesia. (lihat grafik).
Dominasi film kung fu memang mengkhawatirkan banyak pihak.
Anakanak di bawah 10 tahun menjadi amat keranjingan, malah juga
terpancing untuk berbuat agresif. Serial kung fu tak asing bagi
mereka seperti Princess Cheun Ping (25 seri), Patriot Wong (22
seri), The Wonder Lady (9 seri).
Sesungguhnya tidak sedikit anggota masyarakat yang mengharapkan
agar kaset video juga dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan,
misalnya, pelajaran matematika. Perhatian Dep. P & K sedang
ditunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini