Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan hingga kini belum ada proyek food estate (lumbung pangan) yang terbukti berhasil dan bermanfaat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Program food estate ini tidak punya plusnya tapi banyak minusnya. Artinya semua hal itu minus. Ini bukan penilaian subjektif kami, tetapi ini berangkat dari sisi historical,” ujar Uli kepada Tempo, dikutip Ahad, 14 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurutnya, kegagalan ini terbukti sejak dari era Soeharto dengan Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare sawah, program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE) di Papua pada era Susilo Bambang Yudhoyono, hingga sejumlah proyek food estate di era Jokowi.
“Dari semua itu, kami tidak pernah menemukan cerita keberhasilan di food estate,” ujarnya. Yang terjadi justru pemborosan uang negara dan kerusakan lingkungan.
Lebih lanjut, Uli menyoroti kebijakan struktural pemerintah yang kemudian ‘membunuh’ kemampuan masyarakat, khususnya petani, dalam memproduksi pangan. “Kebijakan nasional kita itu juga membunuh kedaulatan kita dalam konteks pangan. Kenapa? karena sampai hari ini, pangan yang tersedia di meja makan kita, bersumber dari tangan-tangan petani dan lahan-lahan produktif petani.”
Lahan para petani justru terancam dan bahkan dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang secara sepihak menetapkan lahan produktif tersebut menjadi Hak Guna Usaha (HGU), misalnya untuk perkebunan sawit, pertambangan nikel, batu bara, dan sebagainya.
Menurut Uli, para pengurus negara, seharusnya berperan untuk menyusun suatu instrumen kebijakan yang dapat memastikan perlindungan terhadap lahan produktif rakyat serta memastikan rakyat memiliki tanah.
Pemerintah juga wajib memastikan praktik lokal dan pengetahuan lokal masyarakat dalam menyediakan pangan harus dilindungi oleh negara melalui instrumen kebijakan yang struktural. “Itu yang perlu dilakukan setelah koreksi kebijakan mendasar dan kemudian belajar dari sebuah kegagalan itu,” kata dia.